Selasa, 24 April 2012 0 komentar

Menuranikan Teks Hukum (Mimbar Mahasiswa Solopos, 24 April 2012)

Dunia hukum Indonesia baru saja berduka. Seorang anak bangsa bernama Bismar Siregar menghadap Sang Khalik pada Kamis (19/4). Bismar Siregar adalah seorang hakim. Semasa hidup, ia cenderung dianggap sebagai sosok hakim yang ”kontroversial”. Hal tersebut bisa dilihat dari putusan-putusan yang dia hasilkan.
Salah satu sikap kontroversial Bismar adalah keberaniannya menerobos asas hukum. Di saat hakim lain diikat asas ultra petita (hakim tidak bisa memutus melebihi apa yang dituntut), Bismar sering memutus perkara melebihi dari yang dituntut. Memang seperti itulah Bismar Siregar. Sikapnya ini yang sering dinilai kontroversial.
Bismar sangat sadar bahwa ada kesenjangan yang nyata antara teks hukum (undang-undang) dengan tujuan hukum. Ia sadar bahwa tidak selamanya teks hukum dapat mewujudkan tujuan hukum. Oleh karena itu Bismar selalu menanyakan kepada hati nuraninya sebagai seorang manusia jika memutus perkara.
Karier hakim Bismar Siregar dimulai dari jaksa di Kejaksaan Negeri Palembang (1957-1959) sampai menjabat sebagai hakim agung periode 1984-1995. Kasus yang pernah di tangani Bismar bervariasi.
Ia pernah mengubah hukuman bagi kepala sekolah yang mencabuli muridnya sendiri yang semula tujuh bulan berdasar vonis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungbalai menjadi tiga tahun di vonis banding Pengadilan Tinggi (PT) Sumatra Utara.
Masih di PT Sumatra Utara, Bismar pernah melipatgandakan hukuman hingga 10 kali terhadap terdakwa kasus narkoba bernama Cut Mariana dan Bachtiar Tahir menjadi masing-masing 15 tahun dan 10 tahun. Kekontroversialan Bismar tidak hanya itu. Masih banyak kisah kontroversi lainnya.

Tujuan Hukum
Merunut ke belakang, Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara hukum. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum.
Hal ini berkonsekuensi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan hukum. Hukum berisi aturan dan norma yang mengikat serta disertai sanksi dan diberlakukan secara ”paksa”.
Adapun tujuan hukum ada tiga tingkatan. Tingkat paling tinggi bernama keadilan, tingkat kedua bernaung kemanfaatan dan yang terendah adalah kepastian hukum.
Tujuan keadilan inilah yang sering tidak tercapai dalam dunia hukum Indonesia. Kecenderungan berhukum secara tekstual masih kental dalam hukum Indonesia (positivistik). Padahal, berhukum secara tekstual sering menimbulkan kekacauan nurani.
Kegagalan berhukum secara teks telah mengisyaratkan ”kegagalan” hukum itu sendiri dalam memecahkan suatu permasalahan. Kasus pencurian kakao oleh perempuan lanjur usia bernama Minah, kasus pencurian sandal jepit oleh remaja berisinial AAL di Palu adalah sebagian kecil contoh ”kegagalan” berhukum secara tekstual dalam bekerja.
Salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (lex dura sed tamen scripta, hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai dokumen tertulis.
Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan lain-lain (Satjipto Rahardjo, 2010:9).

Keberanian
Harus diakui berhukum secara tekstual mempunyai keterbatasan untuk memecahkan permasalahan. Berhukum secara tekstual bersifat kaku sehingga perlu sesuatu untuk disesuaikan agar tujuan hukum yang hakiki (keadilan) dapat tercapai.
Dalam hal ini diperlukan hakim yang mampu memformulasikan hukum tertulis yang kaku menjadi hukum yang mencerminkan tujuan hukum, terutama keadilan. Satu-satunya cara adalah jika hakim memutus suatu perkara harus menggunakan nuraninya sebagai manusia. Bismar adalah salah satu contohnya.
Keberanian Bismar untuk melibatkan nuraninya sebagai manusia dalam menangani perkara harus menjadi teladan bagi semua. Menempatkan posisi ”hukum untuk manusia” di tengah kultur profesional hukum tidaklah mudah.Mewujudkan keadilan melalui putusan hakim kadang kala terlampau sulit untuk dilakukan.
Hukum tertulis yang kaku dan sistem hukum yang tidak mengizinkan hakim untuk ”bermanuver” dengan nurani adalah hambatan menuju indahnya keadilan dalam berhukum.
Pola Bismar yang out of the box dan berbeda dengan hakim lain menjadikannya sebagai tokoh yang kontroversial. Namun, di balik kontroversi itu tersimpan nilai keadilan yang luar biasa. Tiada yang lebih indah dari nilai kebenaran.
Meminjam istilah Thoreau: daripada cinta, daripada uang, daripada keyakinan, daripada kemasyhuran, daripada kejujuran, berilah aku kebenaran. Kita tentunya berharap kebenaran yang hakiki akan menimbulkan keadilan yang hakiki pula.
Dalam memutus perkara, Bismar sering berdiskusi dengan istrinya. Ia mendiskusikan bagaimana jika suatu kasus dilihat dari kaca mata perempuan. Kepekaan emosi perempuan dalam menyikapi suatu permasalahan digunakan Bismar sebagai bahan renungan dalam menghadapi kasus.
Kecenderungan laki-laki untuk berpikir rasional dan kecenderungan emosional dari perempuan dipadukan oleh Bismar untuk mewujudkan keputusan yang lebih bijaksana. Namun, bukan berarti dia dipengaruhi oleh istrinya.
Posisi hakim di dunia sering diistilahkan satu kaki di neraka kaki yang yang lain di surga. Analogi tersebut pantas disematkan kepada hakim, dia ketuk palunya dapat menentukan nasib seseorang.
Bahkan kematian seseorang bisa ditentukan hakim. Hakim juga sering diistilahkan penjelmaan Tuhan di dunia ini. Analogi tersebut menempatkan profesi hakim menjadi sangat mulia jika dipegang oleh hakim yang berintegritas baik, namun profesi hakim menjadi sangat hina jika dipegang oleh hakim yang berintegritas buruk.
Bismar Siregar adalah pendekar hukum sejati. Akan tetapi, sehebat apa pun kemampuannya, Bismar tetap seorang manusia biasa. Bahwa setiap yang bernyawa pasti mengalami kematian, begitu pula manusia, begitu pula Bismar Siregar. Semasa hidupnya, Bismar memberi contoh bagaimana menerapkan hukum progresif. Hukum yang bertujuan untuk meraih keadilan.
Meski secara ragawi Bismar Siregar sudah mengalami kematian, namun berbagai pemikiran, keberanian serta integritasnya tidak boleh ikut mati dan terkubur di bumi Indonesia
Selasa, 27 Maret 2012 1 komentar

Profil pertama yang masuk koran :D

lagi seneng nih rekan blogger////profilku sebagai penulis nampang di koran nih :D









eagle always fliying alone
1 komentar
Tulisan terakhir yang dimuat :D judulnya Pengetatan Remisi Napi Korupsi Solopos, Selasa 13 Maret 2012
Rabu, 14 Maret 2012 0 komentar

Pengetatan Remisi Napi korupsi (Dimuat dalam Solopos 13 Mret 2012 Naskah belum diedit)

Ketuk palu hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada rabu 7 Maret 2012 menyatakan membatalkan SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi. Putusan PTUN itu menyatakan bahwa SK Menkum HAM tidak berlaku lagi. Sehingga aturan pemberian remisi kembali diberlakukan. Alasan majelis hakim, SK tersebut ditetapkan berdasarkan PP Nomor 32 tahun 1999 yang sudah tidak berlaku lagi. Selain alasan tersebut SK tersebut bertentangan asas-asas pemerintahan yang baik, serta tidak dilakukan berdasar prosedur serta ketentuan yang berlaku di bidang permasyarakatan.
Oleh Widodo Ekatjahjana dalam Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 5, Oktober 2010, Sengketa TUN merupakan sengketa hukum publik, maka putusan hakim PTUN pada dasarnya merupakan putusan yang memiliki sifat atau karakter hukum publik. Sifat atau karakter hukum publik pada putusan hakim PTUN inilah yang menyebabkan putusan hakim PTUN itu, tidak hanya berlaku dan mengikat pihak-pihak yang berperkara saja. Putusan hakim PTUN harus bersifat erga omnes – putusan hakim PTUN mengikat semua pihak, termasuk pihak-pihak yang tidak berperkara sekalipun. Dengan demikian pencabutan SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi berlaku juga bagi semua pihak (koruptor yang tak ikut menggugat juga tidak dikenai SK Menkum HAM tersebut).
Hal ini jelas merupakan tamparan keras bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya kasus korupsi. Jika diturut ke belakang, pemberian remisi sebenarnya adalah hak narapidana. Diatur didalam UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan remisi. Diatur lebih lanjut bahwa seorang napi jika berkelakuan baik selama dipenjara dan sudah menjalani hukuman selama enam bulan bisa diberikan remisi terhadapnya.
Namun, untuk kasus korupsi diberi perlakuan khusus. Narapidana korupsi tunduk pada PP No 28 Tahun 2006 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa remisi baru dapat dilakukan jika narapidan telah menjalani hukuman selama 1/3 masa tahanan.
 Dalam bingkai hukum, SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04  adalah sebuah bentuk terobosan hukum di Indonesia. Bentuk keluarbiasaan SK ini adalah berlaku surut. Sehingga banyak terpidana kasus korupsi “batal bebas” melalui pembebasan bersyarat. Sebut saja Ahmad Hafiz Zawai, BobbySuhardiman, Hengky Baramuli, Hesti Andi Tjahyanto, Agus Wijanto Legowo, Mulyono Subroto, H.Ibrahim, SH. Ketujuh orang tersebut “batal bebas” karena terbitnya SK Menkum HAM tentang pembatalan pembebasan bersyarat. Yang menarik, ditangan ketujuh orang tersebut pula lah SK Menkum HAM tentang pembatalan pembebasan bersyarat di kebiri melalui pengadilan PTUN Jakarta. Per tanggal 7 Maret 2012,  SK Menkum HAM tersebut dicabut. Sehingga pembebasan bersyarat kembali diberlakukan
Sejak awal terbitnya SK Menkum HAM telah menuai pro dan konntra. Legal standing SK ini banyak dipertanyakan. Bisa dikatakan bahwa SK ini adalah kontroversial. SK kontroversial ini dikeluarkan Menkum Ham saat dikomandoi Amir Syamsudin, politisi Demokrat. SK kontroversial ini sangat mendapat reaksi positif dari masyarakat. Bisa dikatakan SK ini adalah kebijakan populer.
Akan tetapi tanpa disadari, di dalam SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 secara otomatis merampas hak-hak warga negara yang lain. Hak seorang narapidana untuk mendapatkan remisi telah dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi oleh SK Menkum HAM tersebut, hak narapidana untuk mendapatkan remisi telah dihilangkan. Secara otomatis, muncul ketidakteraturan dalam hukum.
 Secara hierarki peraturan, SK Menkumham berada dibawah undang-undang. Jadi, segala pokok materi yang tercantum di SK Menkum HAM seharusnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. SK Menkum HAM yang ditetapkan dan dijalankan adalah bentuk pemaksaan kehendak dari penguasa tanpa mendasarkan dasar hukum yang jelas. Kita harus sepakat bahwa suatu peraturan-apapun bentuknya- tidak bisa dibuat tanpa adanya dasar hukum yang kuat.
Kepopuleran kasus korupsi memang seharusnya harus diikuti dengan aturan hukum yang populer juga. Namun bukan berarti harus melanggar prosedur yang ada. Memang, dunia hukum adalah dunia yang penuh dengan prosedur. Namun, prosedur yang ada, dibuat untuk menjamin tidak ada pihak yang dirugikan akibat munculnya hukum. Kalau sampai ada pihak yang dirugikan akibat munculnya hukum. Maka tujuan hukum mengenai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum tidak dapat tercapai. Dengan adanya prosedur yang jelas, bertujuan dapat mewujudkan ketertiban dalam hukum.
Munculnya SK Menkum HAM justru secara otomatis akan mereduksi ketertiban dalam hukum. Karena SK Menkum HAM berproses tidak secara tertib!
Menurut alm Prof.Tijp, hukum dan ketidaktertiban itu tidak saling meniadakan begitu saja melainkan kita harus mengakui bahwa masyarakat itu menerima suatu margin of tolerance atau leeways dalam penegakan hukum. Artinya, penegakan hukum “berkompromi” dengan keadaan tidak tertib di masyarakat. Itu berarti, dalam keadaan tidak-tertib hukum juga dapat bekerja, seperti juga dalam “keadaan tidak tertib” hukum itujuga tetap bekerja.
Ketidaktertiban SK Menkum HAM dalam dimensi hukum di Indonesia nyatanya telah mampu bekerja, meskipun hanya dalam hitungan bulan (mulai dari 16 November 2012 sampai 7 Maret 2012). Dengan demikian sudah terbukti bahwa hukum yang tidak tertib pasti dapat dengan mudah dipatahkan. Tujuan untuk mewujudkan suatu ketertiban oleh hukum tidak bisa dilakukan diatas ketidaktertiban dari hukum itu sendiri. Prosedural dalam berhukum menjadi sangat penting di sisi ini!
Langkah pengetatan remisi oleh Menkum HAM harus diapresiasi tinggi. Bagaimana pun juga, kebijakan Menkum HAM mengenai penghentian remisi adalah keputusan yang berani. Niatan untuk “memberi pelajaran” kepada para koruptor adalah langkah yang sensasional. Akan tetapi bakal lebih elegan lagi jika diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berproses berdasar peraturan yang berlaku.
Kita tentunya sangat sepakat jika korupsi harus hancur di negara ini dan para koruptor dikebiri dari bumi Indonesia. Akan tetapi kita tidak bisa melupakan aturan dan prosedur yang ada. Jangan sampai kita menegakkan hukum dengan melanggar hukum itu sendiri. Gagasan untuk mengetatkan remisi bagi para koruptor harus segera ditindak lanjuti oleh pihak terkait. DPR, pemerintah, masyarakat harus mendorong kosep pengetatan remisi ini menjadi peraturan yang berdasar hukum kuat. Jangan samapai, gagasan pengetatan remisi bagi para koruptor hanya sampai di ketuk palu hakim PTUN saja!
Selasa, 13 Maret 2012 0 komentar

Tulisan Pertama Di Koran :)

Agung Pambudi
Gak sengaja sihh nemu ini fille...jalan2 di mbah google, eh malah nemu koran yang muat pertama kali tulisanku..hehe

Koran solopos nihh yang muat aku..ada dihalaman 4..hihihi

Budaya menulis dikalangan mahasiswa bisa dikatakan jarang...Saya post file ini di blogku bukan untuk pamer, melainkan kalian yang membaca postingan ini agar terpacu untuk melakukun budaya menulis.Apalagi jika kalian mahasiswa :)
Melalui tulisan lah kita bisa ungkapkan kebenaran :).

ayo mari menulis


nihh link ke tulisan pertama :)

http://www.mediafire.com/?fg021gwffxrto1d






eagle always fliying alone
0 komentar

Tulisan Pertama Di Koran :)

Agung Pambudi
Gak sengaja sihh nemu ini fille...jalan2 di mbah google, eh malah nemu koran yang muat pertama kali tulisanku..hehe

Koran solopos nihh yang muat aku..ada dihalaman 4..hihihi

Budaya menulis dikalangan mahasiswa bisa dikatakan jarang...Saya post file ini di blogku bukan untuk pamer, melainkan kalian yang membaca postingan ini agar terpacu untuk melakukun budaya menulis.Apalagi jika kalian mahasiswa :)
Melalui tulisan lah kita bisa ungkapkan kebenaran :).

ayo mari menulis







eagle always fliying alone
Sabtu, 10 Maret 2012 0 komentar

putusan PTUN Jakarta terkait SK Menkumham...(kalah ni yee)

Putusan PTUN yang sedikit mengebiri SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi


nihh bisa tetem2 semua download dehh...dijamin menarikkk
:p
http://www.mediafire.com/?7bc4cvh9pdaqmuq

SK dari Menkumham bisa kandas di persidangan...ini nih kalau menerbitkan SK dengan jurus dewa mabuk...niat sihh oke tapi prosesnya hamsyongg...kalau sudah seperti ini, kita mengerti pentingnya suatu prosedur bukan? :)

Silahkan didownload dan baca deh :)
eagle always fliying alone
Jumat, 09 Maret 2012 0 komentar

To: Rio__Tips menulis di mimbar mahasiswa :)

Kalau  ditanya cara nya nulis di mimbar mahasiswa solopos, aku sih sih juga bingung gmn njelasinnya....Tapi kalau aku sih, pertama  pilih tema yang kira2 lagi hangat..kamu bisa liat berita ttg masalah apa yang lagi banyak dibicarakan..nah abis ntu kamu nulis deh..ya kira2 maksimal 6000 karakter deh (plus spasi)...abis ntu kirim aja ke email redaksi solopos...redaksi @solopos.com dan kamu CC ke redaksi@solopos.co.id..kalau aku sihh cuma gt...hehe..ni maap, c-box q ak apus, jadi aku buat postingan aja deh utk nanggepi pertanyaanmu :p


add FB q juga bisa---> gunkagungpambudi@gmail,com
Senin, 13 Februari 2012 0 komentar

Menumbuhkan Etika Berkendara (dimuat di Solopos edisi 14 Feb 2012, naskah belum diedit)

Kecelakaan di jalan raya kembali terjadi.  Setelah kecelakaan dahsyat di Tugu Tani Jakarta Pusat yang memakan 9 korban jiwa, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan kecelakaan lain yang tak kalah tragisnya. Jumat, 10 Februari 2012, di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat bus Karunia Bhakti mengalami kecelakaan beruntun yang menyebabkan nyawa 14 orang dan melukai 47 orang. Banyaknya kecelakaan yang terjadi harus memantik pemerintah dan stakeholder terkait agar melakukan evaluasi dan perbaikan.
Kompleksitas penyebab kecelakaan sangat tinggi. Sebagian diantaranya, jumlah kendaraan yang beredar dipasaran semakin meningkat. Akses masyarakat untuk mendapatkan kendaraan semakin dipermudah. Kredit kendaraan bermotor yang lunak semakin menambah parah kondisi lalu lintas di Indonesia. Apalagi sifat masyarakat Indonesia yang konsumtif semakin memperburuk situasi. Ibarat api disiram bensin semain menjadi. Sarana dan prasarana lalu lintas masih banyak mengalami kekurangan. Jalan yang kurang baik dan rambu yang kurang, banyak dengan mudah kita jumpai. Contoh diatas hanya sebagian kecil faktor penyebab kecelakaan.
Kecelakaan di jalan raya sepertinya sudah menjadi fenomena jamak terjadi di masyarakat. Korban pun akhirnya berjatuhan, tidak hanya harta-benda, nyawa pun turut menjadi korban. Padahal, peraturan mengenai lalu lintas selalu diperbarui dan berjumlah banyak. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah peraturan tebaru mengatur lalu lintas, belum lagi peraturan turunannya. Sepertinya sudah terlalu banyak peraturan yang mengatur, akan tetapi tidak serta merta menurunkan angka kecelakaan di jalan raya
Pensyaratan bagi pengemudi kendaraan bermotor untuk  memiliki Surat Ijin Mengemudi dari kepolisian juga belum terbukti efektif menurunkan angka kecelakaan. Fakta dilapangan, kecelakaan terjadi bukan hanya karena cakap atau ketidakcakapan pengemudi dalam berkendara. Melainkan banyak faktor yang berpengaruh dalam kecelakaan, diantaranya pengemudi, kendaraan ,rambu, cuaca dsb.
Perlu diketahui, SIM hanya menekankah teori-teori dasar berkendara. Bagaimana cara mengemudikan kedaraan yang aman. Padahal, dalam berkendara di jalan raya, pengemudi tidak hanya dituntut membutuhkan skill mengemudi. Lebih penting lagi, pengemudi harus mempunyai etika berkendara. Kemahiran pengemudi dalam menjalankan etika berkendara inilah yang paling berperan dalam meminimalisir kecelakaan di jalan raya.
Etika berkendara
Etika berkendara berisi bagaimana cara pengemudi bersikap dijalan raya. Sehingga dalam berkendara, pengemudi dapat menjaga keselamatannya sendiri dan pengemudi lainnya. Sehingga pengemudi dapat mengemudi dengan baik, benar, aman dan nyaman. Kesadaran terhadap keselamatan dan kenyamanan bersama inilah tujuan dari etika berkendara. Namun etika berkendara sangat susah diterapkan sewaktu dijalan raya. Kemampuan untuk berbagi jalanan dijalan raya sepertinya masih sulit terjadi. Rasa egois dan tidak mau mengalah justru sering muncul dijalan raya.
Etika berkendara mempunyai nilai lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang mengatur lalu lintas. Walaupun pada dasarnya sebagian etika berkendara tertuang dalam peraturan perundang-undangan itu. Permasalahannya, apakah masyarakat mau menjalankan peraturan tersebut? Itu yang menjadi pertanyaan besarnya.
Situasi sosial masyarakat sangat erat hubungannya dengan etika berkendara. Pelanggaran terhadap peraturan dapat dengan mudah dijumpai. Kita dapat dengan mudah menemukan pengemudi berhenti melewati marka jalan sewaktu lampu merah, menerobos lampu merah, memakai jalur pejalan kak, dsb. Kemampuan masyarakat untuk mentaati peraturan dinilai masih lemah. Secara otomatis kesadaran terhadap etika berkendara juga masih lemah.
Kesadaran masyarakat untuk menjalankan etika berkendara yang kurang dan diperparah dengan kondisi manajemen transportasi yang buruk merupakan cermin buruknya transportasi di Indonesia. Kemacetan lalu lintas semakin memperparah kondisi fisik dan psikis pengendara. Berdasarkan penelitian kepolisian, pengemudi hanya dapat tetap fokus berkendara selama delapan jam per hari, dengan catatan harus istirahat per 4 jam. Faktanya, dikota-kota besar yang mengalami kemacetan parah, sangat dimungkinkan pengemudi mengendarai kendaraannya lebih dari delapan jam. Keadaan ini lah yang semakin memperbesar risiko kecelakaan.


doktrin
Etika berkendara pertama kali harus ditumbuhkan di keluarga. Lingkungan keluarga memungkinkan terjadi transfer of value/ transfer nilai. Melalui keluarga dapat dengan mudah menanamkan etika berkendara. Dengan kata lain, doktrin etika berkendara mudah diserap dan tertanam kuat. Hal tersebut dikarenakan, media bahasa dalam keluarga lebih ringan dan mudah dipahami. Sehingga doktrin etika berkendara dapat diterima dengan bagus.
Tahap selanjutnya, doktrin etika berkendara harus dikembangkan  melalui stakeholder terkait. Lembaga pendidikan adalah media yang paling mumpuni untuk menebarkan doktrin secara efektif. Dengan memberikan pelajaran mengenai bidang lalu lintas, para generasi muda diharapkan menguasai etika berkendara dengan baik. Sehingga mereka dapat menerapkan etika berkendara. Sekaligus sebagai agen penebar doktri etika berkendara dalam pergaulannya di masyarakat. Dengan konsep doktrin berkendara yang berantai diharapkan dapat menekan angka kecelakaan lalu lintas.
            Kecelakaan lalu lintas adalah permasalahan bersama. Semua pihak harus ikut berperan serta dalam menanggulangi kecelakaan jalan raya. Kita semua harus sepakat bahwa kecelakaan lalu lintas adalah tanggung jawab kita bersama. Masyarakat, stakeholder terkait dan pemerintah harus saling bekerja sama memecahkan dan mengurai permasalahan kecelakaan dijalan raya.
Etika berkendara yang baik harus selalu ditanamkan pada semua pengendara. Sarana dan prasarana lalu lintas harus terus diperbaiki lagi. Karena hanya dengan upaya itulah kecelakaan dapat diminimalisasi. Terlepas dari kecelakaan adalah takdir dari Tuhan, sebagai manusia kita bisa berusaha meminimalisasikannya. Untuk Kota Solo, Slogan yang sering didengar sewaktu berhenti dilampu merah harus senantiasa dijalankan. “Tertib berkendara adalah cerminan budaya wong Solo”. Slogan yang padat, singkat dan jelas akan tetapi bernilai mendalam. Semoga kecelakaan bus Karunia Bhakti dapat dijadikan pelajaran berharga dan kita dapat mengambil hikmahnya.

0 komentar

Berjuang Untuk Upah Minimum

Memasuki tahun 2012, Kota Surakarta semakin ramah dengan investasi. Hasil survei Doing Bussines Bank Dunia yang menyebutkan Solo sebagai peringakat ketiga kota paling mudah untuk memulai bisnis di Indonesia dianggap akan memberikan peluang baru untuk pengembangan investasi Kota Solo (Solopos,2/2). Kondisi ini tentunya harus disambut baik oleh semua lapisan masyarakat Surakarta. Dengan bertambahnya investasi, diharapkan akan berbanding lurus dengan bertambahnya lapangan pekerjaan. Sehingga peluang untuk mendapatkan penghasilan lebih dapat bertambah.
Jika membicarakan investasi, paling tidak ada tiga pihak yang terlibat terkait investasi, diantaranya pemberi kerja/pemilik investasi, buruh/pekerja dan pemerintah. Ketiga pihak tersebut  akan berperan sebagai pilar jalannya investasi. Tentunya masing-masing pihak akan mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain.
Pemerintah berkepentingan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Melalui kebijakan yang dimiliki, pemerintah membuat suatu kebijakan berkaitan kesejahteraan rakyat. Pemberi kerja/pemilik investasi berkepentingan untuk memastikan jalannya usaha yang dilakukan, agar proses produksi yang dilakukan berjalan dengan lancar. Parameter yang dipakai oleh pemilik investasi/pemberi kerja tentunya laba/keuntungan. Di sisi lain, buruh/pekerja juga berkepentingan untuk mendapatkan upah dari hasil pekerjaannya. Upah dijadikan oleh buruh sebagai sarana untuk memperoleh kesejahteraan dalam hidupnya.
Regulasi Upah
Kesejahteraan buruh hanya dapat tercapai melalui pemberian upah buruh yang layak. Sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini berarti, telah ada jaminan dari negara kepada rakyat/para buruh untuk bisa hidup layak.
Menindaklanjuti amanat pasal 27 ayat (2) UUD 1945, pemerintah membentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Didalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai upah minimum yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada para buruh/pekerja. Dengan kata lain, pengusaha dilarang membayar buruh/pekerja dengan upah dibawah upah minimum. Meskipun, dalam hal-hal tertentu pengusaha bisa mengajukan penangguhan pembayaran upah minimun dengan alasan-alasan tertentu.
Lemahnya pengawasan terhadap upah minimum menyebabkan banyak pelanggaran pengaturan upah minimum, termasuk di kota Surakarta. Salah satu bentuk pelanggaran adalah penggabungan sejumlah komponen upah dalam sati gaji pokok agar mencapai Upah Minimum Kota (UMK). Koordinator Serikat Buruh Sejahtera indonesia (SBSI) 1992, Suharno, mencatat pelanggaran pembayaran UMK banyak menimpa para penjaga toko swayalan, mal serta toko (Solopos,1/02).
lemahnya bargaining position buruh
Di tengah lalu-lintas investasi dalam suatu regional/kawasan. Buruh/pekerja menjadi ujung tombak dalam pemanfaatan investasi. Hal tersebut dikarenakan, tanpa peran serta buruh/pekerja, modal/investasi sebesar apa pun tidak bisa menghasilkan kemanfaatan.
Realita yang ada, buruh sering dijadikan titik lemah di tengah lalu lintas modal/investasi. Posisi tawar yang lemah antara buruh dengan pemodal menjadikan buruh sebagai bagian modal kerja, sejajar dengan dengan uang dan barang. Sehingga dapat dengan mudah diganti jika tidak sesuai jika kondisi memungkinkan.
Kondisi buruh semakin diperparah dengan minimnya jumlah lapangan pekerjaan yang ada. Akhirnya, mau tidak mau buruh/pekerja menerima tawaran dari pengusaha. Ditambah lagi, kesadaran buruh/pekerja untuk bergabung ke serikat pekerja masih kurang. Sehingga kekuatan serikat pekerja untuk melindungi hak-hak buruh juga berkurang dengan sendirinya.
perlu perbaikan
            Secara konsep, persoalan mengenai upah minimum buruh sangat sederhana. Upah minimum berasal dari perundingan antara buruh/pekerja, pengusaha serta pemerintah sebagai mediator. Kesederhanaan konsep mengenai upah minimum buruh berbanding terbalik dengan kenyataan dilapangan. Banyaknya penyimpangan upah minimum, menandakan pemberlakuan upah minimum belum ditaati oleh pemberi kerja. Berangkat dari analisis singkat tersebut, penulis mempunyai beberapa langkah untuk mengefektifkan pemberlakuan upah minimum:
1)      Melakukan koreksi terhadap peraturan perburuhan mengeni upah minimum yang telah out off date. Persoalan upah minimum menyangkut unsur ekonomi dan kemanusiaan. Secara otomatis upah minimum akan mengikuti kehidupan manusia yang bergerak dinamis. Sehingga diperlukan regulasi yang bisa mengatur adanya perubahan tersebut.
2)      Setelah ada peraturan perundang-undangan perburuhan yang baik, harus diikuti implementasi peraturan dengan baik pula. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan dapat terlaksana dengan baik. Tanpa adanya  implementasi yang baik, peraturan perundangan sebaik apapun  tidak akan berguna.
3)      Harus dibangun hubungan industrial yang jujur. Pemerintah, pemberi kerja dan buruh/pekerja harus duduk bersama membicarakan solusi bagaiamana mempertemukan titik temu  antara kepentingan mereka. Sehingga masing-masing pihak terakomodir kepentingannya.
4)      Harus adanya kesadaran bagi pekerja/buruh untuk bergabung dengan serikat pekerja. Dengan bergabung ke serikat pekerja, diharapkan bargaining position kaum buruh dapat lebih kuat. Berbeda dengan pengusaha, posisi tawar mereka relatif kuat karena telah tergabung kedalam serikat/asosiasi pengusaha (Apindo). Wajar jika kemampuan tawar pengusaha lebih unggul dari para buruh/pekerja.
Tentunya langkah-langkah “biasa” diatas akan mampu menjaga efektifitas pemberlakuan upah minimum. Dengan catatan, ada komitmen kuat dari seluruh komponen bangsa. Pemegang investasi/pengusaha, buruh/pekerja, masyarakat umum harus berpartisipasi aktif dalam mengawal upah minimum. Dan yang tidak kalah penting adanya politic will dari pemerintah memastikan tidk ada pelanggaran  upah minimum. Penulis yakin bahwa dengan langkah “biasa” diatas dapat menghasilkan “luar biasa” jika diterapkan dengan baik, termasuk di Surakarta.

Rabu, 25 Januari 2012 0 komentar

Panasnya Kursi Senayan

Lagi-lagi senayan kembali membara. Permainan politisi “terhormat” kali ini berjudul renovasi ruang Badan Anggaran atau Banggar DPR. Tidak tanggung-tanggung, proyek tersebut mengeruk anggaran dana sebesar Rp 20,3 miliar. Untuk sekedar renovasi, biaya Rp 20,3 miliar dianggap banyak pihak sebagai pemborosan. Agaknya kurang etis, ketika masih banyak rakyat kecil yang masih hidup menderita, masih adanya gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai, justru para wakil rakyat menghamburkan uang rakyat. Pemborosan oleh DPR dianggap melukai hati rakyat.
Secara konsep, DPR adalah lembaga untuk mewakili kepentingan rakyat. Dikarenakan wilayah Indonesia yang sangat luas, maka diperlukan suatu lembaga yang  dapat menampung semua aspirasi. DPR adalah solusi terbaik mengatasi permasalahan tersebut. Melalui mekanisme pemilu, lembaga DPR diisi oleh orang-orang terpilih. Hanya peraih suara terbanyak dengan kualifikasi tertentu yang bisa duduk di kursi “mahal” DPR.
Berdasarkan UUD 1945, DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi pokok: fungsi membuat perundang-undangan (legislasi), fungsi anggaran (budgeting), fungsi pengawasan (controlling). Tupoksi yang ada seharusnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi dalam perjalanannya, tupoksi tersebut tidak selalu berjalan mulus. Selalu ada “kerikil” dalam pelaksanaannya. Entah ada hambatan yang bersifat politis atau yang lain. Kebanyakan, hambatan yang ada tidak jauh dari kekuasaan.
Contoh kecil, banyaknya kasus hukum yang menyandera DPR rezim ini. Kasus Bank Century adalah salah satu kasus yang sangat menyita waktu, energi, dan pikiran DPR. Banyak persoalan lain yang terbengkalai akibat pembahasan kasus Century yang tidak jelas jluntrungannya. Sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, semua hal perbuatan anggota DPR harus bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Termasuk persoalan renovasi ruang Bangar.
Jika kita jeli, permasalahan “ulah” DPR sebenarnya sesuatu yang wajar. Disetiap rezim penguasa di Indonesia, DPR pasti mendapat sorotan. Apa pun jenis persoalannya, bahannya masih tetap sama, aktornya tetap sama. DPR sebagai aktor permainan, kekuasaan dan uang menjadi komoditas permainan. Ditambah lagi bumbu reaksi keras masyarakat dan media yang semakin menambah cita rasa intrik kompleksitas permasalahan.
Revolusi DPR
            Berangkat dari kasus renovasi ruang Bangar, dapat dipakai sebagai momentum perubahan DPR secara mendasar. Persoalan DPR rasanya sudah mengakar. Jadi penyelesaiannya harus menyentuh akar persoalan. Paling tidak, kelembagaan DPR dan personal anggota DPR harus diurai dengan kritis.
Bobroknya moralitas kelembagaan dan personal DPR saat ini, hendaknya menjadi refleksi bagi rakyat Indonesia. Bagaimanapun juga, anggota DPR terpilih saat ini adalah hasil pilihan kita di pemilu kemarin (2009). Kebobrokan DPR saat ini berawal dari 5 (lima) menit di bilik suara di tahun 2009. Jadi, pemilih pun juga harus ikut bertanggung jawab atas kebobrokan DPR saat ini dan terlukainya hati nurani rakyat Indonesia akibat ulah DPR.
Berangkat dari analisis singkat tersebut menurut penulis mempunyai beberapa langkah untuk mengatasi kebobrokan DPR:
Pertama, perlunya pendidikan politik yang baik bagi rakyat Indonesia. Saat ini, Indonesia berada dalam era demokrasi. Sebuah era yang berisi kebebasan dalam segala hal, termasuk menjadi seorang anggota DPR. Adapun mekanisme untuk menjadi anggota DPR melalui pemilu. Pada tahapan pemilu ini lah titik rawan rakyat Indonesia. Banyak permainan-permainan nakal dari para calon legislatif, semisal serangan fajar, untuk meraih dukungan suara dari para pemilih. Kenyataan dilapangan, masih banyak rakyat Indonesia yang menggadaikan 5 tahun masa depan negaranya dengan sejumlah uang.  Sungguh ironis bukan?
Idealnya, jika sebuah negara berani masuk kedalam era demokrasi, harus disertai kesiapan mental dari rakyatnya. Rakyat dalam bingkai era demokrasi diibaratkan sebagai tanah. Demokrasi adalah pohonnya. Jika tanah sudah baik, maka pohon yang tumbuh pun dapat tumbuh dengan baik, meskipun angin kencangan menerpanya, pohon tersebut masih tetap kokoh. Mungkin Indonesia terlalu prematur masuk ke alam demokrasi.  Mungkin masih perlu waktu untuk benar-benar menjadi penganut demokrasi.
Kedua, harus ada kesadaran moral untuk mengabdi bagi rakyat dari para calon anggota DPR. Sebagai calon wakil rakyat, hendaknya terlebih dahulu menimbang kemampuan, kecakapan serta loyalitas dalam berjuang untuk rakyat. Proses ini penting, manakala anggota DPR sebagai penerima mandat rakyat harus berkomitmen tinggi terhadap amanah yang diberikan kepadanya.
Ketiga, ongkos pemilu harus murah. Unsur ini menjadi penting, ketika nominal uang mulai berbicara dalam pemilu. Uang sangat mungkin untuk membeli suara dalam pemilu. Jika itu terjadi, hasil pemilu pun tak ubahnya sebuah strategi matematis. Bahwa semuanya sudah diatur dengan uang.
Dengan pemilu yang murah, diharapkan dapat menekan calon anggota DPR untuk tidak melakukan tindakan korupsi seandainya dia menjabat kelak. Secara otomatis kecenderungan anggota DPR untuk berbuat “nakal “ dapat dikurangi. Potensi kerugian keuangan negara pun dapat dihindari.
Penulis sangat yakin, langkah-langkah nyentrik diatas akan mampu memperbaiki DPR secara efektif. Dengan catatan, terdapat komitmen kuat dari seluruh komponen bangsa untuk terus memperbaiki DPR dan harus ada politic will dari pemerintah untuk memperbaiki DPR.
Pemilu berikutnya akan dilangsungkan pada tahun 2014. Masih ada waktu sekitar 2 (dua) tahun untuk mempersiapkan pemilu. Calon wakil rakyat, para pemilih, serta pemerintah harus menyiapkan diri dengan baik agar out put pemilu nanti dapat lebih baik lagi. Pengalaman pemilu sebelumnya, hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi rakyat agar tidak salah pilih menentukan wakilnya di pemilu yang akan datang. Nasib 5 (lima) tahun Indonesia bakal kembali dipertaruhkan.



Senin, 09 Januari 2012 0 komentar

Memanusiakan Cara Berhukum Dengan Teks



Salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (Lex dura sed tamen scripta-hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, maka sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan lain-lain (Satjipto Rahardjo.2010:9)
Kutipan dari Prof.Tjip tersebut sangat pantas dipakai untuk menelaah kasus pencurian sendal jepit di Palu oleh AAL yang sedang hangat dibicarakan. AAL yang berusia 15 tahun, siswa SMK kelas I, didakwa atas tuduhan mencuri sandal jepit butut milik Brigadir Polisi Satu (Briptu) Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah. Jaksa memakai Pasal 362 KUHP, dengan ancaman hukuman sekitar lima tahun. Dalam putusan hakim, AAL dinyatakan bersalah karena mengambil barang milik orang lain namun tidak dijatuhi hukuman penjara, melainkan dikembalikan kepada orang tuanya. Vonis bersalah ini lah yang mengundang reaksi dari masyarakat luas.
Kasus pencurian oleh AAL masuk kedalam kategori hukum pidana. Sehingga mekanisme peradilannya memakai hukum acara pidana. Dalam menilai kasus AAL, kita tidak bisa langsung merujuk pada hasil akhir/putusan yang dibuat oleh hakim. Melainkan harus ada penilaian terhadap proses peradilan dari hulu sampai hilir. Kita tidak bisa melakukan penilaian secara sepotong, karena akan menghasilkan kesimpulan sepotong juga, bukan kesimpulan keseluruhan. Paling tidak ada 3 (tiga) aktor besar berkaitan dengan kasus AAL, kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung melalui hakim di pengadilan. Sebagai suatu proses peradilan, para aktor tersebut saling berkaitan ,berinteraksi dan bekerja sama satu dengan yang lain dalam menyelesaikan perkara.
mekanisme yang panjang
Kepolisian adalah awal mula proses peradilan pidana. Kepolisian bertugas melakukan tindakan polisional dengan mencari bukti permulaan yang cukup, mengumpulkan bukti, melakukan penyelidikan, penyidikan, melengkapi berkas hingga P21. Setelah berkas dinyatakan lengkap, maka tahapan selanjutnya melimpahkan berkas P21 ke jaksa penuntut umum. Oleh JPU, berkas yang didapat dari kepolisian diolah untuk dijadikan dakwaan bagi terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Setelah proses dakwaan maka hakim lah yang menjadi pemegang keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Hakim tidak dapat menolak perkara. Hakim terikat asas Ius curia novit bahwa hakim dianggap tahu hukumnya. Sehingga tidak ada sebuah alasan pun yang dapat dijadikan hakim untuk menolak suatu perkara. Proses yang rumit dan panjang dalam proses peradilan, menyebabkan masing-masing tahapan saling berpengaruh satu sama lain.
Mekanisme peradilan yang panjang, secara otomatis memakan biaya yang besar. Ironisnya, dengan biaya yang besar pun tidak serta merta menjamin terciptanya tujuan hukum yang hakiki. Perlu dketahui, tujuan hukum ada 3 (tiga) diantaranya keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum. Tujuan hukum yang hakiki adalah keadilan. Rasa keadilan inilah yang sering tidak dapat dicapai oleh hukum diIndonesia, termasuk dalam kasus AAL.
keadilan prosedural dan substansial
Panjangnya mekanisme peradilan akan menghasilkan keadilan yang jamak,  keadilan substansial dan keadilan prosedural. Keadilan prosedural berisi bahwa segala sesuatu telah sesuai dengan teks (undang-undang). Tidak peduli hasil akhir yang didapat seperti apa, yang jelas proses instrumen telah sesuai dengan teks (undang-undang). Cara berhukum dengan teks seperti ini menjadikan hukum sebagai mesin otomatis dan manusia sebagai “operatornya”. Seolah sisi manusia dalam keadilan prosedural telah tergadai dengan mekanisme. Nurani sebagai manusia sudah bertransformasi menjauh dari rasa humanis.
Keadilan substansial adalah keadilan yang sebenar-benarnya. Pada level ini, produk hukum yang dihasilkan sudah dapat diterima oleh semua pihak sebagai sebuah solusi untuk permasalahan yang ada. Permasalahannya, kadang kala keadilan substansial tidak mendapat dukungan oleh teks hukum itu sendiri. Sehingga dengan menerapkan keadilan substansial bisa menerabas kepastian hukum. Hal tersebut dkarenakan adanya keterbatasan kemampuan rumusan perundang-undangan tertulis untuk mendukung terciptanya keadilan substansial.
Terlepas dari polemik tentang keadilan prosedural dan substansial. Meminjam istilah Proft.Tjip, apapun yang dilakuan dalam hukum, tak boleh sekali-kali mengabaikan aspek manusia sebagai bagian yang sentral dari hukum itu, hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Tanpa hukum, manusia tetap bisa berjalan, akan tetapi tanpa manusia hukum tidak akan bisa berjalan. Jadi hukum yang ada harus bisa memanusiakan manusia. Sehingga hasil dari hukum adalah suatu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang dapat diterima oleh manusia.
Perlu ditegaskan lagi, doktrin hukum di Indonesia berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Tetapi ia tidak berhenti sampai disitu. Diatas perundang-undangan, lebih penting lagi adalah perilaku manusia yang memiliki komitmen terhadap kesusahan orang banyak, terutama rakyat kecil. Dalam hubungan ini diamini benar, bahwa hukum itu bukan sekedar pasal-pasal seperti buku telepon, tetapi adalah perjuangan, semangat dan komitmen (Satjipto Rahardjo.2006:19)..
Berangkat dari kasus AAL kita dapat menilai bahwa cara berhukum dengan teks tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada. Dikarenakan tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan. Alih-alih menyelesaikan permasalahan, justru menambah permasalahan baru. Sudah saatnya keadilan diIndonesia berani masuk kedalam keadilan subsansial. Unsur “manusia” harus senantiasa diterapkan dalam berhukum. Nurani sebagai seorang manusia harus dipakai dalam berhukum. Jika hal ini diterapkan secara benar, dapat dipastikan tidak akan ada AAL yang lain. 
Kamis, 05 Januari 2012 0 komentar

Menuntut Implementasi Pancasila Secara Efektif


Rabu, 1 Juni 2011, Pancasila genap berusia 66 tahun. Sejak dibacakan oleh Bung Karno tahun 1945, Pancasila mengalami berbagai macam tantangan dalam fluktuasi kehidupan berbangsa dan negara. Tantangan paling ekstrim adalah usaha menyingkirkan pancasila dan mengganti dengan ideologi lain. Namun, sampai saat ini, Pancasila masih tetap kokoh berdiri sebagai idiologi Bangsa Indonesia.
Pancasila adalah fondasi/dasar Indonesia, sekaligus norma dasar dalam bernegara. Oleh karenanya, Pancasila tidak boleh dan dapat diubah oleh pihak manapun dengan alasan apapun. Akan tetapi, Pancasila belum bisa diilhami oleh bangsa Indonesia sebagai ideologi yang luhur. Mengutip pidato mantan Presiden RI B.J Habibie, “secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini”. Terbukti banyak terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila.
Indonesia merupakan bangsa yang plural. Ada banyak perbedaan didalam Bangsa Indonesia. Mulai dari beda suka, bangsa, bahasa, budaya, agama, wilayah,dsb. Oleh founding fathers, dirasa perlu ada komitmen dalam idiologi agar perbedaan yang ada bukanlah penghalang untuk bersatu. Pancasila yang terdiri lima sila: sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ketiga Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dianggap paling representatif berdiri mengatasi keberagaman yang ada.
Namun saat mulai Pancasila kehilangan tajinya. Bagaimana tidak,  nilai-nilai mistis yang  terkandung dalam Pancasila cenderung disimpangi oleh segelintir rakyat Indonesia itu sendiri. Sila kesatu, Ketuhanan Yang Maha Esa, seolah tidak lagi membekas dikehidupan bernegara. Kekerasan antar umat beragama, golongan mayoritas-minoritas, perbedaan paham keagamaan, telah menjadikan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mudah marah. Seakan sudah menjadi “paling”, dengan semena-mena melakukan “penghakiman mandiri” terhadap kelompok lain. Dimanakah nilai-nilai Pancasila yang menghargai pluralisme kebebasan beragama?
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, pun tak lepas dari kritikan. Vonis lemah para koruptor harus segera dijawab sistem hukum di Indonesia. Harus ada gerakan revolusioner dalam menegakkan kasus hukum.  Kasus hukum nenek Minah yang dituduh mencuri kakao seolah menjadi pukulan besar terhadap hukum, dimana nurani hukum? Formulasi hukum yang tepat harus segera dibuat. Kombinasi hukum aliran sosiologis dari yuridis harus direalisasikan. Sehingga tujuan hukum keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dapat tercapai. Masih banyak PR bagi hukum di Indonesia.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, pun juga mendapat sorotan. Kekerasan antar kelompok menunjukkan masih lemahnya Bangsa Indonesia menghadapi perbedaan jati diri pribadi anggota antar kelompok tersebut. Konflik-konflik yang ada justru memperparah nilai persatuan dalam mewujudkan perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dinilai belum bisa memberikan makna dalam kehidupan sehari-hari. Banyaknya para wakil rakyat yang terjerat korupsi, baik anggota DPR, bupati/walikota, menunjukkan kepemimpinan yang ada di Indonesia belum sepenuhnya dijiwai oleh semangat Pancasila.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, juga harus berjuang menjawab tantangan ketimpangan sosial di Indonesia. Sebut saja ketimpangan ekonomi. Masih banyak pengangguran di Indonesia, disatu sisi ada warga negara yang begelimpangan kekayaan. Masih ada rakyat indonesia masih makan nasi aking. Menyedihkan bukan?
Belakangan ini isu idiologi mulai menghangat. NII KW9, penipuan berkedok agama menebar ancaman dimana-mana. Tak hanya kalangan biasa korbannya, mahasiswa pun ada yang terkena jaringan ini. Lemahnya  pemahaman idiologi dituding sebagai penyebab mudahnya menggaet para korban. Kasus teror bom juga banyak terjadi akhir-akhir ini. Jenis bom juga berinovasi, dan bahkan ada bom bunuh diri. Usaha mendirikan negara Islam oleh golongan garis keras diduga berada disebaliknya.
Sudah saatnya kita sebagai bagian Bangsa Indonesia, kembali memaknai dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tidak peduli siapa kita, profesi apa, suku apa pun. Keteladanan dalam menghayati dan melaksanakan Pancasila juga tidak kalah penting dilakukan. Aparatur negara harus bekerja sesuai dengan Pancasila. Tidak ada motivasi bekerja untuk kepentingan kelompok atau bahkan kepentingan pribadi. Yang jelas perbedaan yang ada tidak serta merta menghalangi Bangsa Indonesia untuk bersatu, hidup berdampingan dalam bingkai perbedaan. Jayalah Pancasila, jayalah Indonesiaku.


0 komentar

Mengurai Permasalahan Bima Berdarah


Desember 2011, dipenghujung tahun ini Indonesia kembali terhenyak oleh peristiwa unjuk rasa berdarah. Sebut saja unjuk rasa yang terjadi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Ironisnya pada bentrok kali ini menyebabkan jatuh korban. Mirisnya lagi, konflik terjadi antara aparat keamanan versus masyarakat sipil.
Dalam kasus Bima, aparat kepolisian menggunakan protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis terhadap pendemo. Polisi pun telah memakai senjata api. Dengan penggunaan senjata api dengan peluru (entah peluru timah atau pun peluru karet) dalam mengatur massa, maka dapat dikatakan keadaan saat itu sudah masuk tindakan anarki dan sudah termasuk kategori gangguan nyata (GN). Sehingga dimungkinkan untuk diambil tindakan berupa penggunaan senjata tumpul dan dapat ditindak lanjuti penggunaan senjata api sesuai standar polri. Mungkin, tindakan polri tersebut dikarenakan pendemo dinilai mengganggu kepentingan masyarakat luas. Terlebih lagi unjuk rasa dilakukan menjelang hari raya Natal serta menduduki pelabuhan.
protap Nomor 1/X/2010
Mengacu protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis terhadap pendemo, pengertian anarki adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau kelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang menyebabkan kekacauan, membahayakan keamanan umum mengancam keselamatan jiwa dan/atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. Sedangkan ganguan nyata adalah ganguan keamanan berupa kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat berupa jiwa raga maupun harta benda.
Berdasarkan protap, penggunaan senjata api (entah peluru timah atau pun karet) maupun tumpul hanya bisa dilakukan polisi jika ada perlawanan secara fisik kepada petugas. Pertanyaannya, apakah unjuk rasa di Bima telah terjadi perlawanan secara fisik oleh pengunjuk rasa kepada aparat kepolisian? Toh jika ada perlawanan secara fisik kepada petugas harus dicari pula apa penyebab terjadi perlawanan tersebut, siapa yang memancing perlawanan tersebut. Semua rangkaian peristiwa dan pihak yang terlibat harus diurai secara detail sehingga dapat diketahui ujung pangkal dari peristiwa demo berdarah ini.
Mengutip protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis terhadap pendemo, sekalipun ada perlawanan secara fisik urutan penindakannya dimulai dari 1.kendali tangan kosong, 2.kndali tangan kosong keras, 3.kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, atau alat lain sesuai standar Polri, 4.kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain untuk menghentikan tindakan yang dapat menyebabkan luka atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat. Apakah penembakan yang dilakukan oleh polri kearah kerumunan adalah tindakan yang tepat dan sesuai prosedur? Pertanyaan tersebut harus dijelaskan oleh kepolisian secara kritis.
Fakta yang ada dilapangan ada korban yang meninggal karena luka tembakan. Meskipun oleh polri mengklaim bahwa lokasi mayat berada diluar pelabuhan, namun siapa pelaku yang membunuh dengan menembak si mayat tersebu? Apakah karena unjuk rasa dipelabuhan atau tindak pidana pembubuhan biasa? Polri harus segera menyelesaikan kasus pembunuhan tersebut. Mengingat kewibawaan polri dipertaruhkan.
tentang polri
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 4, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Begitu mulianya tupoksi polri secara noratif ini, jangan sampai rusak karena setitik nila di Bima. Alih-alih kewibawaan yang dicari justru arogansi polri yang bakal muncul jika tidak mampu menyelesaikan persoalan Bima dengan tuntas.
Terlepas dari peristiwa teknis dilapangan yang menimbulkan korban jiwa., ada suatu akar masalah yang sebenarnya terjadi, konflik pemanfaatan sumber daya alam. Kerusuhan di Bima pecah ketika polisi membubarkan paksa warga yang memblokade jalan masuk Pelabuhan Sape. Blokade sudah berlangsung selama lima hari. Warga menolak melonggarkan blokade selama pemerintah tidak mencabut izin perusahaan tambang PT Sumber Mineral Nusantara. Tuntutan warga ini sudah diajukan sejak 2008, namun tidak pernah mendapatkan tanggapan memadai.
tentang peraturan
Regulasi tentang pemanfaatan sumber daya alam pun masih sangat absurd. Padahal pasal 33 UUD 1945 jelas ditulis bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Termasuk pengelolaan sumber daya alam harus dikelola untuk kemakmuran rakyat.
Jika membahas tentang pemanfaatan sumber daya alam tentunya kita bicara mengenai pemilik modal, pemerintah, serta masyarakat dilokasi sumber daya alam. Semua pihak mempunyai kepentingan yang harus diakomodir. Oleh karenanya pemerintah Indonesia harus tegas dalam membuat dan melaksanakan regulasi. Mengingat banyak pihak yang terlibat dan berpotensi menghadirkan konflik seperti di Bima ini.
mengupas pelaksaan peraturan
Untuk saat ini Indonesia memiliki Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Dikaitkan dengan PT Sumber Mineral Nusantara, harus diketahui terlebih dahulu ijin yang diberikan oleh pejabat terkait, dalam hal ini bupati. Harus ada kajian secara yuridis apakah ijin yang diberikan sesuai atau tidak dengan regulasi yang ada. Jika sesuai prosedur, lalu mengapa ada penolakan dari pihak masyarakat? Alasan apa yang dipakai oleh masyarakat untuk menentang PT Sumber Mineral Nusantara? Apakah ada prosedur yang tidak dipenuhi? Semua harus dikaji secara kritis dan mendalam oleh pihak-pihak yang berkompeten.
Berangkat dari kasus Bima, diharapkan semua pihak harus melakukan instrospeksi, koreksi serta pembenahan. Pihak kepolisian harus mengusut tuntas kasus yang ada. Pihak pemerintah musti juga melakukan pembenahan terkait regulasi dan pelaksanaan regulasi dibidang pertambangan. Cukuplah Bima menjadi kasus terakhir dalam konfik yang berasal sengketa sumber daya alam. Langkah yang cepat serta tepat harus diambil oleh pihak-pihak terkait. Mengingat potensi konflik sumber daya alam di Indonesia sangatlah besar.
 
;