Rabu, 25 Januari 2012

Panasnya Kursi Senayan

Lagi-lagi senayan kembali membara. Permainan politisi “terhormat” kali ini berjudul renovasi ruang Badan Anggaran atau Banggar DPR. Tidak tanggung-tanggung, proyek tersebut mengeruk anggaran dana sebesar Rp 20,3 miliar. Untuk sekedar renovasi, biaya Rp 20,3 miliar dianggap banyak pihak sebagai pemborosan. Agaknya kurang etis, ketika masih banyak rakyat kecil yang masih hidup menderita, masih adanya gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai, justru para wakil rakyat menghamburkan uang rakyat. Pemborosan oleh DPR dianggap melukai hati rakyat.
Secara konsep, DPR adalah lembaga untuk mewakili kepentingan rakyat. Dikarenakan wilayah Indonesia yang sangat luas, maka diperlukan suatu lembaga yang  dapat menampung semua aspirasi. DPR adalah solusi terbaik mengatasi permasalahan tersebut. Melalui mekanisme pemilu, lembaga DPR diisi oleh orang-orang terpilih. Hanya peraih suara terbanyak dengan kualifikasi tertentu yang bisa duduk di kursi “mahal” DPR.
Berdasarkan UUD 1945, DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi pokok: fungsi membuat perundang-undangan (legislasi), fungsi anggaran (budgeting), fungsi pengawasan (controlling). Tupoksi yang ada seharusnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi dalam perjalanannya, tupoksi tersebut tidak selalu berjalan mulus. Selalu ada “kerikil” dalam pelaksanaannya. Entah ada hambatan yang bersifat politis atau yang lain. Kebanyakan, hambatan yang ada tidak jauh dari kekuasaan.
Contoh kecil, banyaknya kasus hukum yang menyandera DPR rezim ini. Kasus Bank Century adalah salah satu kasus yang sangat menyita waktu, energi, dan pikiran DPR. Banyak persoalan lain yang terbengkalai akibat pembahasan kasus Century yang tidak jelas jluntrungannya. Sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, semua hal perbuatan anggota DPR harus bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Termasuk persoalan renovasi ruang Bangar.
Jika kita jeli, permasalahan “ulah” DPR sebenarnya sesuatu yang wajar. Disetiap rezim penguasa di Indonesia, DPR pasti mendapat sorotan. Apa pun jenis persoalannya, bahannya masih tetap sama, aktornya tetap sama. DPR sebagai aktor permainan, kekuasaan dan uang menjadi komoditas permainan. Ditambah lagi bumbu reaksi keras masyarakat dan media yang semakin menambah cita rasa intrik kompleksitas permasalahan.
Revolusi DPR
            Berangkat dari kasus renovasi ruang Bangar, dapat dipakai sebagai momentum perubahan DPR secara mendasar. Persoalan DPR rasanya sudah mengakar. Jadi penyelesaiannya harus menyentuh akar persoalan. Paling tidak, kelembagaan DPR dan personal anggota DPR harus diurai dengan kritis.
Bobroknya moralitas kelembagaan dan personal DPR saat ini, hendaknya menjadi refleksi bagi rakyat Indonesia. Bagaimanapun juga, anggota DPR terpilih saat ini adalah hasil pilihan kita di pemilu kemarin (2009). Kebobrokan DPR saat ini berawal dari 5 (lima) menit di bilik suara di tahun 2009. Jadi, pemilih pun juga harus ikut bertanggung jawab atas kebobrokan DPR saat ini dan terlukainya hati nurani rakyat Indonesia akibat ulah DPR.
Berangkat dari analisis singkat tersebut menurut penulis mempunyai beberapa langkah untuk mengatasi kebobrokan DPR:
Pertama, perlunya pendidikan politik yang baik bagi rakyat Indonesia. Saat ini, Indonesia berada dalam era demokrasi. Sebuah era yang berisi kebebasan dalam segala hal, termasuk menjadi seorang anggota DPR. Adapun mekanisme untuk menjadi anggota DPR melalui pemilu. Pada tahapan pemilu ini lah titik rawan rakyat Indonesia. Banyak permainan-permainan nakal dari para calon legislatif, semisal serangan fajar, untuk meraih dukungan suara dari para pemilih. Kenyataan dilapangan, masih banyak rakyat Indonesia yang menggadaikan 5 tahun masa depan negaranya dengan sejumlah uang.  Sungguh ironis bukan?
Idealnya, jika sebuah negara berani masuk kedalam era demokrasi, harus disertai kesiapan mental dari rakyatnya. Rakyat dalam bingkai era demokrasi diibaratkan sebagai tanah. Demokrasi adalah pohonnya. Jika tanah sudah baik, maka pohon yang tumbuh pun dapat tumbuh dengan baik, meskipun angin kencangan menerpanya, pohon tersebut masih tetap kokoh. Mungkin Indonesia terlalu prematur masuk ke alam demokrasi.  Mungkin masih perlu waktu untuk benar-benar menjadi penganut demokrasi.
Kedua, harus ada kesadaran moral untuk mengabdi bagi rakyat dari para calon anggota DPR. Sebagai calon wakil rakyat, hendaknya terlebih dahulu menimbang kemampuan, kecakapan serta loyalitas dalam berjuang untuk rakyat. Proses ini penting, manakala anggota DPR sebagai penerima mandat rakyat harus berkomitmen tinggi terhadap amanah yang diberikan kepadanya.
Ketiga, ongkos pemilu harus murah. Unsur ini menjadi penting, ketika nominal uang mulai berbicara dalam pemilu. Uang sangat mungkin untuk membeli suara dalam pemilu. Jika itu terjadi, hasil pemilu pun tak ubahnya sebuah strategi matematis. Bahwa semuanya sudah diatur dengan uang.
Dengan pemilu yang murah, diharapkan dapat menekan calon anggota DPR untuk tidak melakukan tindakan korupsi seandainya dia menjabat kelak. Secara otomatis kecenderungan anggota DPR untuk berbuat “nakal “ dapat dikurangi. Potensi kerugian keuangan negara pun dapat dihindari.
Penulis sangat yakin, langkah-langkah nyentrik diatas akan mampu memperbaiki DPR secara efektif. Dengan catatan, terdapat komitmen kuat dari seluruh komponen bangsa untuk terus memperbaiki DPR dan harus ada politic will dari pemerintah untuk memperbaiki DPR.
Pemilu berikutnya akan dilangsungkan pada tahun 2014. Masih ada waktu sekitar 2 (dua) tahun untuk mempersiapkan pemilu. Calon wakil rakyat, para pemilih, serta pemerintah harus menyiapkan diri dengan baik agar out put pemilu nanti dapat lebih baik lagi. Pengalaman pemilu sebelumnya, hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi rakyat agar tidak salah pilih menentukan wakilnya di pemilu yang akan datang. Nasib 5 (lima) tahun Indonesia bakal kembali dipertaruhkan.



0 komentar:

Posting Komentar

 
;