Senin, 13 Februari 2012

Berjuang Untuk Upah Minimum

Memasuki tahun 2012, Kota Surakarta semakin ramah dengan investasi. Hasil survei Doing Bussines Bank Dunia yang menyebutkan Solo sebagai peringakat ketiga kota paling mudah untuk memulai bisnis di Indonesia dianggap akan memberikan peluang baru untuk pengembangan investasi Kota Solo (Solopos,2/2). Kondisi ini tentunya harus disambut baik oleh semua lapisan masyarakat Surakarta. Dengan bertambahnya investasi, diharapkan akan berbanding lurus dengan bertambahnya lapangan pekerjaan. Sehingga peluang untuk mendapatkan penghasilan lebih dapat bertambah.
Jika membicarakan investasi, paling tidak ada tiga pihak yang terlibat terkait investasi, diantaranya pemberi kerja/pemilik investasi, buruh/pekerja dan pemerintah. Ketiga pihak tersebut  akan berperan sebagai pilar jalannya investasi. Tentunya masing-masing pihak akan mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain.
Pemerintah berkepentingan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Melalui kebijakan yang dimiliki, pemerintah membuat suatu kebijakan berkaitan kesejahteraan rakyat. Pemberi kerja/pemilik investasi berkepentingan untuk memastikan jalannya usaha yang dilakukan, agar proses produksi yang dilakukan berjalan dengan lancar. Parameter yang dipakai oleh pemilik investasi/pemberi kerja tentunya laba/keuntungan. Di sisi lain, buruh/pekerja juga berkepentingan untuk mendapatkan upah dari hasil pekerjaannya. Upah dijadikan oleh buruh sebagai sarana untuk memperoleh kesejahteraan dalam hidupnya.
Regulasi Upah
Kesejahteraan buruh hanya dapat tercapai melalui pemberian upah buruh yang layak. Sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini berarti, telah ada jaminan dari negara kepada rakyat/para buruh untuk bisa hidup layak.
Menindaklanjuti amanat pasal 27 ayat (2) UUD 1945, pemerintah membentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Didalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai upah minimum yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada para buruh/pekerja. Dengan kata lain, pengusaha dilarang membayar buruh/pekerja dengan upah dibawah upah minimum. Meskipun, dalam hal-hal tertentu pengusaha bisa mengajukan penangguhan pembayaran upah minimun dengan alasan-alasan tertentu.
Lemahnya pengawasan terhadap upah minimum menyebabkan banyak pelanggaran pengaturan upah minimum, termasuk di kota Surakarta. Salah satu bentuk pelanggaran adalah penggabungan sejumlah komponen upah dalam sati gaji pokok agar mencapai Upah Minimum Kota (UMK). Koordinator Serikat Buruh Sejahtera indonesia (SBSI) 1992, Suharno, mencatat pelanggaran pembayaran UMK banyak menimpa para penjaga toko swayalan, mal serta toko (Solopos,1/02).
lemahnya bargaining position buruh
Di tengah lalu-lintas investasi dalam suatu regional/kawasan. Buruh/pekerja menjadi ujung tombak dalam pemanfaatan investasi. Hal tersebut dikarenakan, tanpa peran serta buruh/pekerja, modal/investasi sebesar apa pun tidak bisa menghasilkan kemanfaatan.
Realita yang ada, buruh sering dijadikan titik lemah di tengah lalu lintas modal/investasi. Posisi tawar yang lemah antara buruh dengan pemodal menjadikan buruh sebagai bagian modal kerja, sejajar dengan dengan uang dan barang. Sehingga dapat dengan mudah diganti jika tidak sesuai jika kondisi memungkinkan.
Kondisi buruh semakin diperparah dengan minimnya jumlah lapangan pekerjaan yang ada. Akhirnya, mau tidak mau buruh/pekerja menerima tawaran dari pengusaha. Ditambah lagi, kesadaran buruh/pekerja untuk bergabung ke serikat pekerja masih kurang. Sehingga kekuatan serikat pekerja untuk melindungi hak-hak buruh juga berkurang dengan sendirinya.
perlu perbaikan
            Secara konsep, persoalan mengenai upah minimum buruh sangat sederhana. Upah minimum berasal dari perundingan antara buruh/pekerja, pengusaha serta pemerintah sebagai mediator. Kesederhanaan konsep mengenai upah minimum buruh berbanding terbalik dengan kenyataan dilapangan. Banyaknya penyimpangan upah minimum, menandakan pemberlakuan upah minimum belum ditaati oleh pemberi kerja. Berangkat dari analisis singkat tersebut, penulis mempunyai beberapa langkah untuk mengefektifkan pemberlakuan upah minimum:
1)      Melakukan koreksi terhadap peraturan perburuhan mengeni upah minimum yang telah out off date. Persoalan upah minimum menyangkut unsur ekonomi dan kemanusiaan. Secara otomatis upah minimum akan mengikuti kehidupan manusia yang bergerak dinamis. Sehingga diperlukan regulasi yang bisa mengatur adanya perubahan tersebut.
2)      Setelah ada peraturan perundang-undangan perburuhan yang baik, harus diikuti implementasi peraturan dengan baik pula. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan dapat terlaksana dengan baik. Tanpa adanya  implementasi yang baik, peraturan perundangan sebaik apapun  tidak akan berguna.
3)      Harus dibangun hubungan industrial yang jujur. Pemerintah, pemberi kerja dan buruh/pekerja harus duduk bersama membicarakan solusi bagaiamana mempertemukan titik temu  antara kepentingan mereka. Sehingga masing-masing pihak terakomodir kepentingannya.
4)      Harus adanya kesadaran bagi pekerja/buruh untuk bergabung dengan serikat pekerja. Dengan bergabung ke serikat pekerja, diharapkan bargaining position kaum buruh dapat lebih kuat. Berbeda dengan pengusaha, posisi tawar mereka relatif kuat karena telah tergabung kedalam serikat/asosiasi pengusaha (Apindo). Wajar jika kemampuan tawar pengusaha lebih unggul dari para buruh/pekerja.
Tentunya langkah-langkah “biasa” diatas akan mampu menjaga efektifitas pemberlakuan upah minimum. Dengan catatan, ada komitmen kuat dari seluruh komponen bangsa. Pemegang investasi/pengusaha, buruh/pekerja, masyarakat umum harus berpartisipasi aktif dalam mengawal upah minimum. Dan yang tidak kalah penting adanya politic will dari pemerintah memastikan tidk ada pelanggaran  upah minimum. Penulis yakin bahwa dengan langkah “biasa” diatas dapat menghasilkan “luar biasa” jika diterapkan dengan baik, termasuk di Surakarta.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;