Minggu, 24 April 2011 0 komentar

Lubang Hitam Dunia Pendidikan Indonesia

Dunia pendidikan sedang mengalami tamparan keras. Terungkapnya kasus perjokian tes masuk mahasiswa baru One Day Service (ODS) UMS, Maret lalu, mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Tak tanggung-tanggung, otak pelaku perjokian tersebut adalah lulusan perguruan tinggi dengan berpredikat cum lude.
Demikian memprihatinkannya out put dunia pendidikan Indonesia, bahwa seorang yang luar biasa dalam akademik mempunyai mental yang buruk. Meskipun dilakukan oleh oknum, kasus tersebut mencerminkan kegagalan sistem pendidikan Indonesia. Apa yang salah dalam sistem dunia pendidikan Indonesia?
Kegagalan sistem pendidikan menghasilkan out put yang tidak cacat, baik dalam akademis maupun mental harus segera mendapat tindakan. Ketegasan dalam taraf penanganan kasus oleh kepolisian maupun dalam taraf memperbaiki sistem pendidikan oleh departemen pendidikan harus mendapat perhatian penting.
Bagaimanapun juga hukum harus ditegakkan, termasuk pada kasus perjokian ini. Karena kasus perjokian melibatkan sindikat, maka seluruh pihak yang terlibat harus mempertanggungjawabkan sesuai dengan perbuatannya. Konstruksi hukum harus dibangun untuk menangani kasus kejahatan terhadap intelektualitas ini. Dalam kasus ODS UMS, karena dilakukan oleh sindikat, otomatis pelakunya lebih dari satu. Oleh karenanya masuk pada penyertaan dalam tindak pidana, dimana bakal ada yang menjadi otak pelaku (auctor intellectualis).
Didalam hukum pidana dikenal istilah Uitlokker diartikan pembuat penganjur atau orang yang sengaja menganjurkan. Orang tersebut tidak melakukan tindak pidana materiil secara langsung melainkan memakai “jasa” orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam pasal 55 ayat 1 KUHP dengan sangat singkat, ialah, “yang menyuruhlakukan” (doen plegen), tetapi dalam bentuk orang yang sengaja menganjurkan dirumuskan dengan lebih lengkap, dengan menyebutkan unsur obektif sekaligus unsur subyektif. Rumusan lengkapnya; “mereka yang dengan memberi atau , sengaja menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Jika diperinci lagi, rumusan tersebut akan terdapat unsur subyektif berupa unsur perbuatan (menganjurkan orang lain melakukan perbuatan), caranya (memberikan sesuatu, menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan, menyalahgunakan martabat, kekerasan, ancaman, penyesaatan, memberi kesempatan, memberikan sarana, memberikan keterangan) dan unsur obyektif (dengan sengaja).
Dengan demikian pertanggungjawaban pidana untuk kasus ODS UMS akan menjadi kompleks, dari sisi jumlah pelaku. Dikarenakan akan menyasar mulai dari penyedia jasa beserta komplotannya maupun bagi konsumen jasa tersebut, tentunya akan disesuaikan menurut tingkat pertanggungjawabannya. Namun semua itu dikembalikan kepada pihak yang berwenang (polisi) dalam melakukan tindakan polisional.
Diharapkan tujuan dari hukum pidana, secara umum untuk melidungi masyarakat dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang dapat tercapai. Perjokian tersebut merugikan secara luas bagi Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan. Selain itu pula, jika hukum pidana telah bertindak, fungsi hukum pidana dapat segera tercapai, fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif untuk memberikan rasa takut kepada masyarakat luas yang berkeinginan melakukan tindak pidana (menjadi joki ujian maupun memanfaatkan joki ujian). Fungsi represif untuk mendidik orang yang melakukan tindak pidana supaya sadar dan menjadi orang baik (tidak menjadi joki ujian maupun memanfaatkan joki ujian). Jika kedua fungsi tersebut dapat tercapai, setidaknya kehidupan pendidikan diIndonesia dapat diselamatkan dari mentalitas buruk.
Meskipun terkesan kejam dengan menindak semua yang terlibat, namun demikian itu lah prosesnya. Diistilahkan hukum pidana diibaratkan seperti pedang bermata dua, disatu sisi melindungi masyarakat namun disisi lain merampas hak individu. Hal tersebut harus dilakukan mengingat pentingnya posisi dunia pendidikan yang sangat strategis karena melaluinya lah Indonesia akan dibangun. Indonesia perlu intelektual yang baik, terutama dalam mentalitasnya. Akademis bisa dipelajari, namun mental harus dibangun dan tertanam pada peserta didik.
Oleh karenanya, sudah saatnya Indonesia memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Ingin seperti apa pendidikan Indonesia. Bahwa pendidikan bukan hanya mendidik untuk menguasai disiplin ilmu, melainkan juga pendidikan terhadap mentalitas dari peserta didik tersebut. Dengan munculnya kasus perjokian tersebut, restrukturisasi dan rekonstruksi sistem pendidikan mental wajib untuk dikaji ulang, sehingga dapat meminimalisirkan dampak buruk terjadinya para peserta didik bermental lemah.
Perlu kerja sama dari pemerintah, masyarakat dan stakeholder dunia pendidikan untuk menciptakan proses pendidikan yang baik, sehingga mendapatkan out put peserta didik yang berhasil, baik dari sisi mental maupun dari sisi akademisnya. Ibarat sebuah biji buah-buahan, dia akan tumbuh dan menghasilkan buah yang berkualitas jika ditanam, dirawat dengan penanganan berkualitas pula. Demikian pula pendidikan diindonesia. Dunia pendidikan jangan sampai melahirkan generasi bobrok ditengah jaman yang bobrok. Dikarenakan nasib Indonesia kedepan berada didalam tangan intelektual. Lubang hitam dunia pendidikan tersebut harus segera ditutup!
 
;