Selasa, 24 April 2012 0 komentar

Menuranikan Teks Hukum (Mimbar Mahasiswa Solopos, 24 April 2012)

Dunia hukum Indonesia baru saja berduka. Seorang anak bangsa bernama Bismar Siregar menghadap Sang Khalik pada Kamis (19/4). Bismar Siregar adalah seorang hakim. Semasa hidup, ia cenderung dianggap sebagai sosok hakim yang ”kontroversial”. Hal tersebut bisa dilihat dari putusan-putusan yang dia hasilkan.
Salah satu sikap kontroversial Bismar adalah keberaniannya menerobos asas hukum. Di saat hakim lain diikat asas ultra petita (hakim tidak bisa memutus melebihi apa yang dituntut), Bismar sering memutus perkara melebihi dari yang dituntut. Memang seperti itulah Bismar Siregar. Sikapnya ini yang sering dinilai kontroversial.
Bismar sangat sadar bahwa ada kesenjangan yang nyata antara teks hukum (undang-undang) dengan tujuan hukum. Ia sadar bahwa tidak selamanya teks hukum dapat mewujudkan tujuan hukum. Oleh karena itu Bismar selalu menanyakan kepada hati nuraninya sebagai seorang manusia jika memutus perkara.
Karier hakim Bismar Siregar dimulai dari jaksa di Kejaksaan Negeri Palembang (1957-1959) sampai menjabat sebagai hakim agung periode 1984-1995. Kasus yang pernah di tangani Bismar bervariasi.
Ia pernah mengubah hukuman bagi kepala sekolah yang mencabuli muridnya sendiri yang semula tujuh bulan berdasar vonis hakim di Pengadilan Negeri (PN) Tanjungbalai menjadi tiga tahun di vonis banding Pengadilan Tinggi (PT) Sumatra Utara.
Masih di PT Sumatra Utara, Bismar pernah melipatgandakan hukuman hingga 10 kali terhadap terdakwa kasus narkoba bernama Cut Mariana dan Bachtiar Tahir menjadi masing-masing 15 tahun dan 10 tahun. Kekontroversialan Bismar tidak hanya itu. Masih banyak kisah kontroversi lainnya.

Tujuan Hukum
Merunut ke belakang, Indonesia menempatkan dirinya sebagai negara hukum. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 berbunyi: Negara Indonesia adalah negara hukum.
Hal ini berkonsekuensi dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara harus berdasarkan hukum. Hukum berisi aturan dan norma yang mengikat serta disertai sanksi dan diberlakukan secara ”paksa”.
Adapun tujuan hukum ada tiga tingkatan. Tingkat paling tinggi bernama keadilan, tingkat kedua bernaung kemanfaatan dan yang terendah adalah kepastian hukum.
Tujuan keadilan inilah yang sering tidak tercapai dalam dunia hukum Indonesia. Kecenderungan berhukum secara tekstual masih kental dalam hukum Indonesia (positivistik). Padahal, berhukum secara tekstual sering menimbulkan kekacauan nurani.
Kegagalan berhukum secara teks telah mengisyaratkan ”kegagalan” hukum itu sendiri dalam memecahkan suatu permasalahan. Kasus pencurian kakao oleh perempuan lanjur usia bernama Minah, kasus pencurian sandal jepit oleh remaja berisinial AAL di Palu adalah sebagian kecil contoh ”kegagalan” berhukum secara tekstual dalam bekerja.
Salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (lex dura sed tamen scripta, hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai dokumen tertulis.
Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan lain-lain (Satjipto Rahardjo, 2010:9).

Keberanian
Harus diakui berhukum secara tekstual mempunyai keterbatasan untuk memecahkan permasalahan. Berhukum secara tekstual bersifat kaku sehingga perlu sesuatu untuk disesuaikan agar tujuan hukum yang hakiki (keadilan) dapat tercapai.
Dalam hal ini diperlukan hakim yang mampu memformulasikan hukum tertulis yang kaku menjadi hukum yang mencerminkan tujuan hukum, terutama keadilan. Satu-satunya cara adalah jika hakim memutus suatu perkara harus menggunakan nuraninya sebagai manusia. Bismar adalah salah satu contohnya.
Keberanian Bismar untuk melibatkan nuraninya sebagai manusia dalam menangani perkara harus menjadi teladan bagi semua. Menempatkan posisi ”hukum untuk manusia” di tengah kultur profesional hukum tidaklah mudah.Mewujudkan keadilan melalui putusan hakim kadang kala terlampau sulit untuk dilakukan.
Hukum tertulis yang kaku dan sistem hukum yang tidak mengizinkan hakim untuk ”bermanuver” dengan nurani adalah hambatan menuju indahnya keadilan dalam berhukum.
Pola Bismar yang out of the box dan berbeda dengan hakim lain menjadikannya sebagai tokoh yang kontroversial. Namun, di balik kontroversi itu tersimpan nilai keadilan yang luar biasa. Tiada yang lebih indah dari nilai kebenaran.
Meminjam istilah Thoreau: daripada cinta, daripada uang, daripada keyakinan, daripada kemasyhuran, daripada kejujuran, berilah aku kebenaran. Kita tentunya berharap kebenaran yang hakiki akan menimbulkan keadilan yang hakiki pula.
Dalam memutus perkara, Bismar sering berdiskusi dengan istrinya. Ia mendiskusikan bagaimana jika suatu kasus dilihat dari kaca mata perempuan. Kepekaan emosi perempuan dalam menyikapi suatu permasalahan digunakan Bismar sebagai bahan renungan dalam menghadapi kasus.
Kecenderungan laki-laki untuk berpikir rasional dan kecenderungan emosional dari perempuan dipadukan oleh Bismar untuk mewujudkan keputusan yang lebih bijaksana. Namun, bukan berarti dia dipengaruhi oleh istrinya.
Posisi hakim di dunia sering diistilahkan satu kaki di neraka kaki yang yang lain di surga. Analogi tersebut pantas disematkan kepada hakim, dia ketuk palunya dapat menentukan nasib seseorang.
Bahkan kematian seseorang bisa ditentukan hakim. Hakim juga sering diistilahkan penjelmaan Tuhan di dunia ini. Analogi tersebut menempatkan profesi hakim menjadi sangat mulia jika dipegang oleh hakim yang berintegritas baik, namun profesi hakim menjadi sangat hina jika dipegang oleh hakim yang berintegritas buruk.
Bismar Siregar adalah pendekar hukum sejati. Akan tetapi, sehebat apa pun kemampuannya, Bismar tetap seorang manusia biasa. Bahwa setiap yang bernyawa pasti mengalami kematian, begitu pula manusia, begitu pula Bismar Siregar. Semasa hidupnya, Bismar memberi contoh bagaimana menerapkan hukum progresif. Hukum yang bertujuan untuk meraih keadilan.
Meski secara ragawi Bismar Siregar sudah mengalami kematian, namun berbagai pemikiran, keberanian serta integritasnya tidak boleh ikut mati dan terkubur di bumi Indonesia
Selasa, 27 Maret 2012 1 komentar

Profil pertama yang masuk koran :D

lagi seneng nih rekan blogger////profilku sebagai penulis nampang di koran nih :D









eagle always fliying alone
1 komentar
Tulisan terakhir yang dimuat :D judulnya Pengetatan Remisi Napi Korupsi Solopos, Selasa 13 Maret 2012
Rabu, 14 Maret 2012 0 komentar

Pengetatan Remisi Napi korupsi (Dimuat dalam Solopos 13 Mret 2012 Naskah belum diedit)

Ketuk palu hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada rabu 7 Maret 2012 menyatakan membatalkan SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi. Putusan PTUN itu menyatakan bahwa SK Menkum HAM tidak berlaku lagi. Sehingga aturan pemberian remisi kembali diberlakukan. Alasan majelis hakim, SK tersebut ditetapkan berdasarkan PP Nomor 32 tahun 1999 yang sudah tidak berlaku lagi. Selain alasan tersebut SK tersebut bertentangan asas-asas pemerintahan yang baik, serta tidak dilakukan berdasar prosedur serta ketentuan yang berlaku di bidang permasyarakatan.
Oleh Widodo Ekatjahjana dalam Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 5, Oktober 2010, Sengketa TUN merupakan sengketa hukum publik, maka putusan hakim PTUN pada dasarnya merupakan putusan yang memiliki sifat atau karakter hukum publik. Sifat atau karakter hukum publik pada putusan hakim PTUN inilah yang menyebabkan putusan hakim PTUN itu, tidak hanya berlaku dan mengikat pihak-pihak yang berperkara saja. Putusan hakim PTUN harus bersifat erga omnes – putusan hakim PTUN mengikat semua pihak, termasuk pihak-pihak yang tidak berperkara sekalipun. Dengan demikian pencabutan SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi berlaku juga bagi semua pihak (koruptor yang tak ikut menggugat juga tidak dikenai SK Menkum HAM tersebut).
Hal ini jelas merupakan tamparan keras bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya kasus korupsi. Jika diturut ke belakang, pemberian remisi sebenarnya adalah hak narapidana. Diatur didalam UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan remisi. Diatur lebih lanjut bahwa seorang napi jika berkelakuan baik selama dipenjara dan sudah menjalani hukuman selama enam bulan bisa diberikan remisi terhadapnya.
Namun, untuk kasus korupsi diberi perlakuan khusus. Narapidana korupsi tunduk pada PP No 28 Tahun 2006 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa remisi baru dapat dilakukan jika narapidan telah menjalani hukuman selama 1/3 masa tahanan.
 Dalam bingkai hukum, SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04  adalah sebuah bentuk terobosan hukum di Indonesia. Bentuk keluarbiasaan SK ini adalah berlaku surut. Sehingga banyak terpidana kasus korupsi “batal bebas” melalui pembebasan bersyarat. Sebut saja Ahmad Hafiz Zawai, BobbySuhardiman, Hengky Baramuli, Hesti Andi Tjahyanto, Agus Wijanto Legowo, Mulyono Subroto, H.Ibrahim, SH. Ketujuh orang tersebut “batal bebas” karena terbitnya SK Menkum HAM tentang pembatalan pembebasan bersyarat. Yang menarik, ditangan ketujuh orang tersebut pula lah SK Menkum HAM tentang pembatalan pembebasan bersyarat di kebiri melalui pengadilan PTUN Jakarta. Per tanggal 7 Maret 2012,  SK Menkum HAM tersebut dicabut. Sehingga pembebasan bersyarat kembali diberlakukan
Sejak awal terbitnya SK Menkum HAM telah menuai pro dan konntra. Legal standing SK ini banyak dipertanyakan. Bisa dikatakan bahwa SK ini adalah kontroversial. SK kontroversial ini dikeluarkan Menkum Ham saat dikomandoi Amir Syamsudin, politisi Demokrat. SK kontroversial ini sangat mendapat reaksi positif dari masyarakat. Bisa dikatakan SK ini adalah kebijakan populer.
Akan tetapi tanpa disadari, di dalam SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 secara otomatis merampas hak-hak warga negara yang lain. Hak seorang narapidana untuk mendapatkan remisi telah dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi oleh SK Menkum HAM tersebut, hak narapidana untuk mendapatkan remisi telah dihilangkan. Secara otomatis, muncul ketidakteraturan dalam hukum.
 Secara hierarki peraturan, SK Menkumham berada dibawah undang-undang. Jadi, segala pokok materi yang tercantum di SK Menkum HAM seharusnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. SK Menkum HAM yang ditetapkan dan dijalankan adalah bentuk pemaksaan kehendak dari penguasa tanpa mendasarkan dasar hukum yang jelas. Kita harus sepakat bahwa suatu peraturan-apapun bentuknya- tidak bisa dibuat tanpa adanya dasar hukum yang kuat.
Kepopuleran kasus korupsi memang seharusnya harus diikuti dengan aturan hukum yang populer juga. Namun bukan berarti harus melanggar prosedur yang ada. Memang, dunia hukum adalah dunia yang penuh dengan prosedur. Namun, prosedur yang ada, dibuat untuk menjamin tidak ada pihak yang dirugikan akibat munculnya hukum. Kalau sampai ada pihak yang dirugikan akibat munculnya hukum. Maka tujuan hukum mengenai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum tidak dapat tercapai. Dengan adanya prosedur yang jelas, bertujuan dapat mewujudkan ketertiban dalam hukum.
Munculnya SK Menkum HAM justru secara otomatis akan mereduksi ketertiban dalam hukum. Karena SK Menkum HAM berproses tidak secara tertib!
Menurut alm Prof.Tijp, hukum dan ketidaktertiban itu tidak saling meniadakan begitu saja melainkan kita harus mengakui bahwa masyarakat itu menerima suatu margin of tolerance atau leeways dalam penegakan hukum. Artinya, penegakan hukum “berkompromi” dengan keadaan tidak tertib di masyarakat. Itu berarti, dalam keadaan tidak-tertib hukum juga dapat bekerja, seperti juga dalam “keadaan tidak tertib” hukum itujuga tetap bekerja.
Ketidaktertiban SK Menkum HAM dalam dimensi hukum di Indonesia nyatanya telah mampu bekerja, meskipun hanya dalam hitungan bulan (mulai dari 16 November 2012 sampai 7 Maret 2012). Dengan demikian sudah terbukti bahwa hukum yang tidak tertib pasti dapat dengan mudah dipatahkan. Tujuan untuk mewujudkan suatu ketertiban oleh hukum tidak bisa dilakukan diatas ketidaktertiban dari hukum itu sendiri. Prosedural dalam berhukum menjadi sangat penting di sisi ini!
Langkah pengetatan remisi oleh Menkum HAM harus diapresiasi tinggi. Bagaimana pun juga, kebijakan Menkum HAM mengenai penghentian remisi adalah keputusan yang berani. Niatan untuk “memberi pelajaran” kepada para koruptor adalah langkah yang sensasional. Akan tetapi bakal lebih elegan lagi jika diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berproses berdasar peraturan yang berlaku.
Kita tentunya sangat sepakat jika korupsi harus hancur di negara ini dan para koruptor dikebiri dari bumi Indonesia. Akan tetapi kita tidak bisa melupakan aturan dan prosedur yang ada. Jangan sampai kita menegakkan hukum dengan melanggar hukum itu sendiri. Gagasan untuk mengetatkan remisi bagi para koruptor harus segera ditindak lanjuti oleh pihak terkait. DPR, pemerintah, masyarakat harus mendorong kosep pengetatan remisi ini menjadi peraturan yang berdasar hukum kuat. Jangan samapai, gagasan pengetatan remisi bagi para koruptor hanya sampai di ketuk palu hakim PTUN saja!
 
;