Senin, 14 Februari 2011 0 komentar

Dimana Hukum Di Indonesia?

Masih hangat dibicarakan tetang Ahmadiyah, apa lagi sejak cerita dari Cikeusik menjadi “bom waktu” yang telah meledak dan bahkan telah mengalihkan perhatian publik terhadap kasus-kasus besar sebelumnya, kasus Gayus contohnya. Jemaat Ahmadiyah didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad telah memicu kontroversi dibanyak negara, termasuk Indonesia. Mirza Gulam Ahmad mengaku sebagai nabi umati, yakni setara dengan ulama yang mendapatkan risalah, dan segala tindak tanduknya mencontoh perbuatan Nabi Muhammad. Perbedaan istilah inilah yang kemudian memicu ketegangan antara kalangan Ahmadiyah dan pemeluk Islam mainstream dari dulu hingga kini (kompas.com).
 Dalam memandang kasus Ahmadiyah di Indonesia, negara harus melakukan tindakan yang tegas terhadap aliran tersebut. Sehingga dapat meminimalisir friksi-friksi yang dimungkinan terjadi antara jemaat Ahmadiyah dengan jemaat non-Ahmadiyah.
 Negara sebagai representasi kedaulatan rakyat harus bertindak untuk melindungi rakyatnya, hal itu tidak bisa ditawar lagi. Hal sesuai dengan pemikiran Jean Jacques Rousseau dalam bukunya “Contrac Social”. Diartiakan bahwa tiap-tiap orang melepaskan dan menyerahkan haknya kepada kesatuannya yaitu masyarakat. Dan secara otomatis, kenyataan tersebut bakal tereduksi menjadi negara dalam arti lembaga. Termasuk diberlakukannya hukum negara bagi tiap-tiap individu yang menyerahkan haknya tersebut secara mengikat.
 Telah banyak friksi yang terjadi antara jemaat ahmadiyah dengan non-ahmadiyah, salah satu yang menohok adalah friksi yang terjadi di Cikeusik, Jawa Barat. Friksi Cikeusik berupa penyerangan ribuan masa terhadap jemaat Ahmadiyah dan bahkan menimbulkan 3 korban tewas dari pihak Ahmadiyah. Sungguh miris melihatnya apa lagi ketika ada video dokumentasi penyerangan diunggah ke You Tube dan bisa diakses oleh siapa pun pengguna internet, tanpa mengenal usia serta kewarganegaraan. Hal itu berpeluang menimbukan efek negatif yang besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara serta memberi pencitraan yang buruk terhadap Indonesia dimata negara lain.
 Friksi tersebut menggambarkan suatu ketidakadaan hukum negara dalam kehidupan masyarakat. Dapat dilihat pula aparat kepolisian yang tidak berdaya untuk menguasai keadaan, entah tidak mampu atau terlalu takut untuk menguasai keadaan, padahal mereka mempuyai kewenangan untuk itu.
 Friksi Cikeusik menggambarkan lemahnya negara dalam menangani Ahmadiyah. Midgal dalam tesisnya mengatakan bahwa masyarakat akan bangkit ketika negara melemah. Hal itulah yang terjadi di Cikeusik. Negara lemah dalam menangani Ahmadiyah. Padahal tiga tahun lalu, 2008, sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri untuk menangani Ahmadiyah. Salah satu point penting SKB “Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW”. Namun sepertinya SKB tidak dapat meredam Ahmadiyah.
 Melihat kondisi Cikeusik, negara gagal “mengurus” Ahmadiyah secara total. Dan akhirnya masyarakat anti Ahmadiyah bertindak dengan “hukum dan cara mereka sendiri”. Akibatnya hukum hukum rimba dipakai dan mengesampingkan hukum negara serta berakibat hacurnya tatanan hukum negara dalam beberapa jam di Cikeusik.
 Berdasarkan UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menuliskan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Oleh karena itu semua warga negara, baik WNI maupun WNA, wajib mentaati hukum yang ada di Indonesia. Bagaimana pun juga tindakan diluar hukum negara tidak bisa ditolerir sedikit pun. Asas Equality before the law (persamaan didepan hukum) musti ditegakkan.
 Untuk menangani kasus Ahmadiyah, penulis mengemukakan beberapa langkah, diantaranya:
  Menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah dalam tingkat daerah sesuai dengan perundang-undangan.
  Menyelesaikan status eksistensi aliran Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, menegaskan apakah boleh berkembang atau tidak.
Siapa yang melakukan kesalahan harus menerima hukuman berdasar pada peraturan yang berlaku.
 Terlepas benar atau tidaknya Jemaat Ahmadiyah Indonesia dari segi agama, tindakan kekerasan di Cikeusik harus diusut tuntas. Aparat keadilan tidak boleh kecolongan lagi dalam menyelesaikan kasus ber genre agama ini. Pertanyaan siapa, bagaimana, mengapa kekerasan dapat terjadi harus diungkap secara objektif dan tuntas. Sehingga adagium viva justicia et pereat mundus (keadilan musti ditegakkan meskipun bumi hancur) dapat tercapai.
 Dalam aspek lebih luas, eksistensi Ahmadiyah diIndonesia harus segera diputuskan. Pasal 29 UUD 1945 menuliskan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Secara otomatis Ahmadiyah mendapat perlindungan untuk beribadat dari Negara Indonesia, atas dasar atas kepercayaan. Namun disisi lain pada Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama pasal 1 menuliskan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Dengan demikian ada celah untuk masuk ke ranah perdebatan tentang eksistensi Ahmadiyah, mengingat agama yang diakui diIndonesia hanya ada 5. Jika PNPS tersebut masih dilanggar ada ancaman sanksi mulai diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri (untuk saat ini sering disebut SKB 3 menteri). Jika masih membandel Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Bahkan terdapat ancaman pidana selama-lamanya 5 tahun jika masih melanggarnya (Pasal 159a Kitab Undang-Undang Pidana).
 Dengan adanya piranti hukum negara, maka hendaknya masyarakat tidak menggunakan perilaku diluar hukum negara yang sering berujung pada jalan buntu dan jauh dari upaya penyelesaian permasalahan. Pikiran yang jernih dan tenang harus dipakai dalam menyelesaikan perseoalan Ahmadiyah. Inilah Indonesia, sebuah negara hukum yang harus konsekuen menegakkan hukum, termasuk perilaku warga negaranya juga harus mencerminkan perilaku hukum. Agar tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum tercapai. Minimal kepastian hukum harus tercapai karena berpengaruh pada wibawa hukum itu sendiri.





 
;