Selasa, 15 Maret 2011 1 komentar

Legowo Dalam Masa Kini Indonesia

            Legowo, demikianlah orang jawa menyebutnya. Sebuah ungkapan untuk menerima keadaan kekalahan, ketidakmampuan tentang kewajiban yang melekat, serta menanggung segala konsekuensi yang mungkin muncul. Dalam bahasa Indonesia, legowo dapat dipersamakan arti dengan lapang dada. Lapang dada adalah sikap ksatria, dalam menghadapi serta menerima kekalahan. Sikap ini tumbuh karena nilai-nilai perasaan manusia itu sendiri dalam menanggapi kegagalan. Wajarlah bila legowo tercermin secara eksplisit pada kata-kata mutiara “kegagalan adalah kemenangan yang tertunda”, demikian legowo tumbuh dan diakui. Jika disederahanakan legowo dapat diartikan sebagai sikap menerima kekalahan dengan berjiwa besar.
            Pemikiran tentang legowo tumbuh tanpa mengenal wilayah, diartikan bahwa sikap legowo tidak hanya dalam lingkup komunitas jawa namun milik umat manusia secara keseluruhan. Oleh karenanya legowo dapat disebut budaya universal karena terbentuk dari sisi humanisme dari sisi seorang manusia secara hakiki.
            Berbicara fakta tentang legowo sangat lah menarik untuk dikaji lebih mendalam. Kontekstual yang cocok untuk mengambarkan legowo tentunya dari bidang olah raga. DiIndonesia, “tidak terima” mengenai hasil pertandingan adalah hal hampir biasa. Parahnya lagi jika keadaan tersebut ditandai dengan tindakan negatif untuk melampiaskan emosi akibat rasa “tidak terima” tadi. Apakah hal tersebut sesuai dengan dengan dengungan fair play dalam olah raga? Aneh bukan, ketika event sportifitas malah melakukan tindakan yang mencederai nilai-nilai sportifitas itu sendiri. Itu baru contoh kecil.
            Fakta lain, terdapat pada tubuh PSSI. Bak berkuasa sebagai rezim otoriter, PSSI memonopoli sepak bola Indonesia seperti miliknya secara utuh. Memang benar PSSI adalah lembaga yang mempunyai legitimasi terhadap tata urusan sepak bola nasional. Tapi jika minim prestasi, bukankah harus mengakui adanya kekalahan dari wujud ketidakmampuan menjalankan amanat yang dibebankan kepadanya? Masyarakat Indonesia butuh prestasi, Indonesia selama ini miskin prestasi namun kaya akan visi dan misi membangun sepak bola nasional. Jadi wajar kalau rakyat berinisiatif membuat kompetisi untuk memajukan persepakbolaan nasional. Seharusnya didukung bukan malah dicoba dikebiri dengan alasan tidak sesuai aturan. Kalau pun tidak sesuai aturan, tinggal dibenah saja agar sesuai aturan. Mudah bukan?
            Hal menarik terjadi dalam kepemimpinan PSSI saat ini. Secara terang menunjukkan sikap ngeyel untuk tidak mengakui salah urus sepak bola nasional. Otomatis nilai-niai budaya legowo “menguap” pada kondisi ini. Ada apakah gerangan? Seberapa nyamankah memimpin jabatan disertai ketidakpercayaan publik terhadap kinerjanya? Seberapa fokuskah menjalankan amanah dalam keadaan seperti itu? Atau jangan-jangan pertanyaannya harus diganti menjadi seberapa fokuskah menghadapi ketidakpercayaan publik terhadap kinerjanya?
            Contoh lain tejadi dalam isu resuffle kabinet pemerintahan SBY jilid II.  Terdapat wacana untuk mengganti para menteri terkait dengan kinerjanya yang tidak memuaskan. Pertanyaannya, mengapa mereka dipilih jika mereka bakal tidak mempu menjalankan amanat kewajibannya? Apakah ada kesalahan mengenai pengangkatan mereka menjadi menteri? Dengan politik transaksional saat ini wajar hal tersebut terjadi, mengingat konselasi politik yang mungkin timbul akibat dari sistim politik di negeri ini. Akibatnya jabatan menteri kadang diberikan kepada orang yang “kurang” berkompeten dalam bidang lembaga kementerian tersebut. Apakah eksekutif mau mengakui adanya kesalahan dalam manajemen pengangkatan para menteri tersebut untuk koreksi sebagai bahan perbaikan? Jabatan berdasar kualitas atau jabatan berdasar konspirasi politik? Sulit untuk membedakannya.
            DiIndonesia, kejadian kecil dapat menjadi kejadian besar, dengan dibantu media. Era kemajuan dunia media juga turut memajukan kualitas perpolitikan. Serangan melalui media menjadi hal tak terelakkan. Apakah media mau legowo mengakui sebagai sarana perang opini publik? Ataukah bakal berlindung pada kebebasan dan kemerdekaan pers dengan mengagungkan objektivitas?
            Contoh positif dapat diambil dari luar negeri, Jerman dan Jepang. Selasa 1 Maret 2011, Menteri Pertahanan Jerman, Karl-Theodor Zu Guttenberg resmi mengundurkan diri dari jabatannya akibat melakukan plagiarisme dalam desertasi doktoralnya. Pada saat ini Zu Guttenberg adalah pejabat yang populer dan dipercaya rakyat Jerman akibat sikapnya yang tegas dan lugas bersuara. Sikap legowo untuk mundur dari tahta jabatannya, patut ditiru oleh Indonesia. Sikap ksatria tersebut wajib diapresiasi.
            Dijepang, Saeji Maehara, menteri luar negeri Jepang mengundurkan diri dari jabatannya. Kesalahan yang dibuat adalah menerima donasi politik illegal dari warga negara asing. Padahal tahta Saeji Maehara adalah jabatan bergengsi dan berpeluang besar bakal menjadi perdana menteri, namun dia mau melepaskannya karena telah berbuat kesalahan. Anehnya lagi,nominalnya donasi “hanya” Rp 27 juta. Kalau diIndonesia nominal tersebut terlalu kecil tentunya, terbukti dalam kasus suap banyak yang mencapai nominal ratusan bahkan milyar rupiah. Sikapnya mau mengakui dan meminta maaf terhadap kesalahan yang dibuatnya adaah sikap ksatria. Hebatnya lagi dia dengan legowo menanggalkan jabatannya. Sungguh sangat ksatria sikapnya.
            Berdasarkan fakta diatas, terdapat urgensi mengenai sikap legowo untuk diimplementasikan secara penuh. Seandainya diIndonesia sikap tersebut dilaksanakan secara benar, niscaya gerbang kemajuan Indonesia semakin dekat. Bakal ada peminimalisiran kekisruhan didalam kehidupan masyarakat Indonesia akibat amanah yang melenceng. Bahkan, secara umum dapat menjadi pendidikan kepemimpinan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bahwa mengakui ketidakmampuan serta menyerahkan kekuasaan untuk orang lain yang mungkin lebih baik kinerjanya adalah sikap ksatria. Mungkin, hasil lebih akan diraih apabila orang lain. Semoga masih ada kesempatan dan kemauan mengimplementasikan legowo dinegeri ini, demi kemajuan tanah air.


Rabu, 09 Maret 2011 0 komentar

Antara Musik dan Mentalitas

 Barangkali banyak masyarakat Indonesia merasa asing terhadap tanggal 9 Maret. Banyak diantara mereka untuk mengetahuinya saja butuh membuka buku pengetahuan umum. Pada 9 Maret, Indonesia merayakannya sebagai hari musik nasional. Pastilah euforianya kalah jika dibandingkan kasus besar yang menarik perhatian masyarakat, kasus Gayus misalnya.
 Musik dapat dikatakan salah satu sarana pembentuk mentalitas bangsa. Kedudukannya pun tidak bisa dipandang sebelah mata dalam kehidupan sosial kenegaraan. Sifat musik yang universal, membuatnya tidak mengenal perbedaan.
  Salah satu karya seni sebagai wujud ungkapan perasaan bermedia suara ini mempunyai kedudukan yang strategis dalam membangun sebuah bangsa. Selain unggul dalam genre yang beraneka ragam, musik juga mempunyai keunggulan lain, diantaranya untuk “menghipnotis” orang dalam jangka waktu singkat dan dalam jumlah besar pula. Jika kita sedikit jeli mengamati keadaan sekitar, dapat kita jumpai banyak musik yang menjadi hits dan akrab ditelinga masyrakat tak lama setelah dilaunching.
 Akan tetapi fonemena musik diIndonesia agak memprihatinkan. Salah satu contoh, musik bagi orang dewasa banyak dikonsumsi oleh anak kecil. Sehingga musik tersebut sebenarnya tidak pas untuk usianya. Dengan sendirinya mentalitas anak tersebut terganggu sedari dini. Jika pada masa dini saja sudah terganggu mentalnya, bagaimana waktu dia besar nanti?
 Musik tidak sesuai usia diperparah dengan miskinnya Indonesia dalam memperdengarkan musik untuk anak. Dapat dilihat dalam acara media televisi maupun radio, berapa kalikah mereka memasukkan lagu anak kedalam acaranya dibandingkan lagu dewasa? Para Indonesia kecil tersebut seharusnya dijaga agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, karena dipundak mereka lah estafet kepemimpinan bangsa ini bakal diberikan.
 Musik dewasa yang berlebih juga memicu rusaknya generasi muda bangsa ini. Lagu dengan tema kisah percintaan memang menjadi komoditi menjual pada saat ini. Akibatnya banyak generasi muda kita terjebak dalam pemikiran cinta yang melenakan. Secara langsung generasi tersebut cenderung akan apatis dan cenderung masa bodoh terhadap persoalan bangsa ini, dan akan mementingkan egoismenya. Bagaimana bangsa ini bisa maju kalau generasi penerusnya bersikap apatis dan masa bodoh terhadap bangsanya?
 Sampai tahun 2011, musik dapat dikatakan sebagai industri yang menjanjikan. Terbukti banyak artis ramai-ramai mencoba peruntungan didunia tarik suara. Membludaknya acara dan jumlah peserta pencarian bakat menyanyi yang diadakan oleh stasiun televisi mengindikasikan publik menaruh apresiasi besar terhadap musik. Melalui fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia tarik suara mempunyai peminat yang banyak karena menjanjikan pundi-pundi rupiah. Ironisnya, kualitas musik tidak banyak berubah, kebanyakan hanya menuruti selera pasar. Akibatnya masyarakat hanya dipaksa dengan musik yang monoton tanpa kualitas mumpuni. Efek yang terjadi cenderung berdampak buruk bagi perkembangan musik tanah air secara luas terutama berakibat para generasi penerus.
 Konsumsi musik yang salah banyak diakibatkan oleh kemajuan teknologi sebagai konsekuensi dari globalisasi. Media untuk memutar musik semakin berkembang secara kompetitif. Dengan demikian terjadi perubahan pola hidup masyarakat yang tajam dan cepat. Belum lagi ditambah kemudahan akses internet diIndonesia yang semakin memudahkan distribusi file secara global.
 Melihat fakta yang ada dapat disimpulkan bahwa semakin pesat perkembangan jaman berbanding lurus dengan risiko krisis metalitas suatu bangsa. Jangan sampai terjadi krisis mentalitas dalam tubuh bangsa Indonesia, apa lagi terjadi pada generasi mudanya. Jika hal tersebut terjadi dapat dipastikan bangsa Indonesia sulit untuk berkembang untuk menjadi bangsa yang diperhitungkan dalam pergaulan internasional.
 Oleh karena itu, industri musik diIndonesia harus mengalami pembenahan agar tepat dalam perkembangannya dan tidak justru menimbulkan akibat negatif bagi bangsa Indonesia. Perbaikan kualitas dan pendidikan mengenai musik harus mendapat prioritas untuk menyelamatkan generasi penerus.
 Melalui musik, rasa nasionalisme dapat dipupuk. Jika nasionalisme sudah terbangun baik, secara otomatis kecintaan terhadap bangsa akan naik kelevel tinggi. Efek sistemiknya adalah semangat juang tinggi untuk memajukan negara ini dalam berbagai bidang. Jika sedari dini sudah terpupuk rasa nasionalime tinggi, kiranya tidak membutuhkan waktu yang panjang bagi Indonesia menjadi negara besar dan diperhitungkan. Banyak tenaga ahli Indonesia yang akan memilih bekerja didalam negeri memajukan bangsanya. Perilaku buruk pejabat pun dapat ditekan jika nasionalisme yang menjadi pondasi dalam bekerja. Niat untuk korupsi menjadi hilang, karena niat awalnya adalah mengabdi bagi bangsa ini untuk memajukannya. Semoga masih ada harapan di negeri ini untuk mewujudkannya. Amin
Kamis, 03 Maret 2011 0 komentar

Gesekan Pers dan Media Diakhir Februari

 Menjelang berakhirnya bulan Februari 2011, permasalahan kembali melanda Indonesia. Kali ini melibatkan pers dengan pihak pemerintah melalui sekretaris kabinetnya. Pers seolah mendapat ancaman pengebirian dari Dippo Alam, sekretaris kabinet, mengancam media yang selalu mengkritik pemerintah tak akan mendapat iklan dari institusi pemerintah. Apakah ini bentuk otoriter baru dalam pengekangan kebebasan pers? Ataukah hanya kekecewaan terhadap ketidakprofesionalan kaum pers dalam melakukan pemberitaan yang obyektif?
 Pada persoalan kali ini, menghadapkan dua obyek perseteruan yang sangat menarik, antara “oknum” eksekutif dan “oknum’ media pers. Dan perseteruan yang ada membuat mereka untuk dipandang secara representatif mewakili pihaknya masing-masing secara otomatis.
  Terlepas dari benar atau salah para pihak tersebut, mengapa hal ini terjadi? Kita harus melihat pemberitaan media massa belakangan ini, semisal mengenai kasus Ahmadiyah, Bank Century, Gayus, Susno Duaji, hak angket. Rata-rata menunjukkan ketidakberesan yang terjadi di negeri ini. Aksi pers untuk mengulas tajam dan kritis justru harus diapresiasi tinggi, mengingat pada orde baru hal tersebut hanya angan semu saja. Terlepas adanya intrik politik kepentingan yang berada dibelakang kasus tersebut, kemerdekaan pers telah membuka borok negara ini.
 Pada Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 3 menyebutkan “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”. Jika pers menkritisi pemerintah secara tajam tentunya hal tersebut memang tugas mereka sebagai lembaga kontrol sosial. Dalam mengkritisi tentunya terhadap hal-hal jelek, oleh pemerintah seharusnya menjadikannya sebagai bumbu-bumbu dalam meramu kehidupan bangsa Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Reaksi pemerintah bernada ancaman tentunya tidak dapat dibenarkan, mengingat hal tersebut bisa mempengaruhi kemerdekaan pers dalam melaksanakan fungsinya.
 Disatu sisi pemerintah seharusnya perlu memperbaiki diri lagi dalam melakukan komunikasi ke publik terkait dengan kinerjanya. Pemerintah beserta seluruh jajarannya harus menjaga komunikasi terhadap publik demi menjaga wibawa pemerintah itu sendiri. Jangan sampai karena ulah oknum tertentu, berdampak menyeluruh kepada jajaran pemerintah yang lain. Namun untuk keadaan saat ini akibat pernyataan dari Sekretaris Negara, kesan yang muncul adalah pemerintah seolah tidak tahan kritik dan berusaha menunjukkan kekuasaannya untuk melawan dan menggertak pers itu sendiri. Sangat disayangkan hal ini bisa terjadi, seharusnya pers dijadikan kawan sebagai ajang pengkoreksian diri dari pemerintah tentang kinerja yang dihasilkannya sehingga benturan-benturan berekses negatif dapat dihindari, toh benturan tersebut juga tidak perlu terjadi asalkan para pihak berada dalam relnya masing-masing.
 Terkait dengan “ulah” sekretaris negara, seharusnya segera diadakan pengkoreksian dalam hal manajemen diri dari aparat pemerintahan dalam hal tata cara menghadapi media, perlu ada evaluasi mendalam dan lebih lanjut. Sekretaris negara tentunya hanya sebuah jabatan yang diemban manusia biasa. Oleh karenanya wajar jika ada reaksi yang agak keras akibat ada tekanan dari pihak luar, dalam hal ini media pers. Hanya saja caranya saja yang perlu mendapat koreksi untuk perbaikan. Terlebih lagi sekretaris negara adalah jabatan publik yang seharusnya menjadi panutan masyarakat luas. Sehingga dalam menjalankannya harus berhati-hati. Bukankah jabatan tersebut amanah?
 Pers sebagai corong berkebebasan dan keterbukaan informasi, harus melakukan koreksi mengenai kualitas berita dan profesionalisme masyarakat pers itu sendiri. Penting diketahui bahwa melalui pers, opini publik dapat diarahkan oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini yang berbahaya, pers sebagai lembaga independen dalam memberitakan diharapkan dapat secara obyektif menilai suatu keadaan. Pemberitaan bukan hanya tentang benar atau pun salah melainkan harus mencerminkan bahwa pers bebas dari kepentingan manapun demi menjaga independenitas dan obyektifitasan dalam melakukan kontrol sosial. Pers tidak boleh dipengaruhi oleh pemerintah, pihak tertentu, dan bahkan pemilik modal. Mampukah pers melakukannya? Tentunya hal ini menjadi pertanyaan besar.
 Dalam struktur struktur ketatanegaraan, media menjadi bagian dari infrastruktr kenegaraan yang sangat penting kedudukannya. Bersamanya ditempatkan juga partai politik, tokoh, golongan penekan, serta golongan kepentingan. Oleh karenanya kedudukan pers tidak dapat dipandang sebelah mata. Dari kacamatanya lah diharapkan diberitakan suatu hal yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Tidak diperbolehkan suatu pihak menunggangi diatasnya untuk kepentingan tertentu. Semoga dinegeri ini masih ada kebebasan dan keberanian untuk kebenaran. Amin
 
;