Jumat, 10 Desember 2010 0 komentar

Gladiator Baru Untuk KPK Yang Lama


Terpilihnya Busro Muqoddas menjadi ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (25/10) menyiratkan dimulainya babak baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Semenjak ditinggalkan oleh Antasari Azhar karena kasus hukum yang menimpanya, KPK seakan sudah menjadi macan ompong.
Dengan pemimpin yang baru, KPK tentunya akan mempunyai gaya baru dalam menjalankan sepak terjangnya. Berdasarkan intepretasi atau penafsiran hukum secara  historis, KPK dibentuk karena pekerjaan penyelesaian kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan kurang memuaskan hasilnya. Padahal kondisi korupsi diIndonesia sangat parah dan perlu penanganan mendesak. KPK mempunyai kekuatan khusus yang melekat padanya, kekuatan super visi dan super body, ketika lembaga lain dirasa tidak mampu menyelesaikan kasus korupsi dibekalkan kepadanya kekuatan tersebut dapat menjadi dasar legitimasi bagi KPK untuk mengambil alih kasus.
Dalam konteks yang lebih luas, kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan lambat laun meredup. Wajar jika masyarakat berperilaku demikian itu, mengingat kinerja lembaga tersebut agak miring dimata masyarakat. Dengan demikian, tergambar jelas masyarakat menaruh harapan besar kepada KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi. Bisa dikatakan juga KPK sebagai benteng terakhir untuk memberantas korupsi. Dan sekarang tanggung jawab itu sekarang ada dipundak Busro Muqoddas sebagai pimpinan KPK sekarang.
Masyarakat Indonesia mengalami kekecewaan yang besar dalam penegakan hukum (law enforcement). Mereka ditusuk dari belakang oleh bangsanya sendiri. Egoistis dan sifat homo homini lupus telah memudarkan semangat Pancasila. Pedoman bernegara pun goyah, dan berakibat ketidakstabilan dalam bernegara yang berujung pada rusaknya Bangsa Indonesia dari dalam, tercermin dalam maraknya perilaku korupsi diIndonesia.
Korupsi adalah masalah bersama dalam  lingkup kebangsaan. Hampir dapat dikatakan  bahwa korupsi adalah budaya, sadar tidak sadar korupsi sudah ada dari jaman kerajaan dan kolonial. Sistem upeti untuk suatu maksud dan tujuan tertentu sudah mencerminkan budaya korupsi. Ditambah mentalitas bangsa Indonesia yang lemah, keadaan seperti itu semakin memupuk tumbuh suburnya korupsi diIndoesia.
Banyak kasus korupsi besar yang menjadi pekerjaan rumah untuk KPK agar diselesaikan, bahkan diisukan ada indikasi menyangkut pejabat tinggi negeri ini. Kasus nyata didepan mata, kasus Bank Century dan kasus Gayus. Secara nyata penanganan kasus tersebut seolah hanya sebuah permainan semata, mungkin karena back up yang besar dibelakangnya.
Dengan kepemimpinan Busro Muqoddas, hendaknya tidak tebang pilih dalam menangani perkara. Pada kasus Century, ada kalangan menganggap tidak terjadi apa-apa, padahal pada sidang paripurna DPR menyimpulkan terjadinya penyimpangan oleh otoritas moneter dan fiskal dalam pengucuran dana ke bank tersebut. Selain penyimpangan otoritas moneter dan fiskal, diindikasikan pula terjadi penyalahgunaan wewenang oleh mereka. Hal itu sudah dapat digolongkan kejahatan tipikor.
Meminjam istilah Belanda, Op da lange baan geschoven diartiakan urusannya sudah digusur kearah jalur lambat. Pengamatan sosiologis selama ini menunjukkan bahwa jalannya penegakan hukum di Indonesia sudah digiring masuk ke jalur lambat dan akhirnya bakal menguap. Dari jauh kelihatannya memang orang sibuk melakukan sesuatu, tetapi hasilnya tidak kunjung muncul. Sudah banyak pengalaman yang terjadi mencerminkan hal tersebut. Apalagi fokus masyarakat kita gampang digiring oleh kehendak kelompok tertentu melalui media informasi, misalnya berita televisi, koran, radio dsb.
Busro Muqoddas harus dapat menghadapi tantangan yang ada. Dengan menjunjung tingi asas equality before the law atau kedudukan setiap manusia sama didepan hukum, kasus-kasus yang ditangani harus tak pandang bulu. Sehingga rasa keadilan dalam masyarakat dapat terpenuhi. Dan budaya-budaya korupsi yang ada dalam masyarakat dapat terhapus. Bukankah tanpa korupsi kita akan menjadi bangsa yang bermartabat dan sejahtera?


Kamis, 02 Desember 2010 2 komentar

Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57 (WS.RENDRA)

Setiap ruang yang tertutup
akan retakkarena mengandung waktu yang selalu mengimbangi
Dan akhirnya akan meledak
bila tenaga waktu terus terhadang

Cintaku kepadamu Juwitaku
Ikhlas dan sebenarnya
Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa
Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada

Cintaku kepadamu Juwitaku
Kemudian meruang dan mewaktu
dalam hidupku yang sekedar insan


Ruang cinta aku berdayakan
tapi waktunya lepas dari jangkauan

Sekarang aku menyadari
usia cinta lebih panjang dari usia percintaan

Khazanah budaya percintaan…
pacaran, perpisahan, perkawinan
tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta

Dan kini syairku ini
Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu

Syair bermula dari kata,
dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu
lepas dari kamus, lepas dari sejarah,
lepas dari daya korupsi manusia

Demikianlah maka syairku ini
berani mewakili cintaku kepadamu

Juwitaku
belum pernah aku puas menciumi kamu
Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca
Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku

Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut,
gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi
Kamu sulit menghadapi diri sendiri

Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu
kamu takut kepada dunia

Juwitaku
Lepas dari kotak-kotak analisa
cintaku kepadamu ternyata ada

Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita
Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos
di dalam kalbuku

Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu
Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya
Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu :

Cintaku kepadamu telah mewaktu
Syair ini juga akan mewaktu
Yang jelas usianya akan lebih panjang
dari usiaku dan usiamu

Bojong Gede, 17 Juli 1992
 
;