Jumat, 21 Oktober 2011 0 komentar

Berpikir Tentang Intelijen Kembali (dimuat di mimbar mahasiswa Solopos 24 April 2011)

Teror bom (lagi dan lagi), seolah semakin akrab ditelinga masyarakat Indonesia. Kejadian terakhir terjadi didekat jalur pipa gas, dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tangerang, Selatan, Banten, Kamis (21/4). Tak tanggung-tanggung, ukuran bom relatif besar dengan berat ± 100kg bahan peledak. Namun, masih “beruntung” Detasemen Khusus Anti Teror 88 Polri berhasil menjinakkannya. Bom tersebut disetting untuk meledak pada Jum’at keesokan harinya berbarengan dengan perayaan Paskah bagi umat Kristiani.
Bisa dibayangkan, efek yang ditimbulkan jika bom tersebut meledak tepat waktu. Tendensi agama akan meruncing lagi. Isu agama sangat menarik sebagai sarana merusak tatanan kehidupan diIndonesia. Dalam bingkai pluralitas, gesekan secara horisontal berbahaya bagi Bangsa Indonesia. Kekacauan besar akan menjadi risiko rasional. Jika konflik horisontal terjadi, Indonesia bisa mengalami chaos.
Berkaca dari kejadian tersebut, pemerintah harus segera bertindak mengatasi keadaan. Sebagai pemegang kekuasaan, langkah taktis cermat, cepat, dan tepat harus segera dilakukan. Tindakan preventif dan represif menjadi wajib hukumnya. Segala unsur yang berkaitan mencegah tindakan terorisme dan menjalankan keamanan negara harus dikerahkan.
Berangkat kejadian terorisme, intelijen menjadi isu paling hangat dalam menangani. Sampai saat ini, diIndonesia, RUU intelijen masih menjadi pro-kontra dan belum disahkan. Isu HAM dan keamanan negara menjadi buah segar, seolah menjadi dilematis untuk dipilih. Bagaimana pun juga, dengan intelijen yang kuat, stabilitas keamanan negara relatif lebih kuat. Bahwa dengan operasi intelijen dapat mencium gelagat ancaman terhadap negara sehingga dimungkinkan dilakukan tindakan yang tepat untuk mencegah ancaman.
Dalam bingkai Indonesia, Indonesia adalah negara hukum, pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum disebut rechtsstaat. Adapun didalamnya ada empat elemen penting, diantaranya perlindungan hak asasi manusia, perradilan tata usaha negara, pemerintahan berdasarkan undang-undang, pembagian kekuasaan.
Berkaitan dengan RUU intelijen, banyak kalangan menilai bahwa RUU Intelijen mengesampingkan unsur hak asasi manusia. Sedikit contoh, penangkapan dilaksanakan paling lama untuk 7 x 24 jam berbeda dengan kuhap yang hanya 1x24 jam. Penahanan dalam rangka pemeriksaan intelijen berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Jangka waktu ayat (1) pasal ini, apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang paling lama 3 x 90 (tiga kali sembilanpuluh) hari. Penahanan dilaksanakan disuatu tempat yang ditentukan oleh Kepala Badan Intelijen Negara. Dalam pemeriksaan intelijen bagi tersangka; berlaku sistem inquisitor; tidak mempunyai hak untuk didampingi advokat; tidak mempunyai hak untuk diam atau tidak menjawab pertanyaan pemeriksa; tidak mempunyai hak atas penangguhan penahanan dengan jaminan orang ataupun uang; tidak mempunyai hak untuk dilakukan penahanan rumah maupun penahanan kota. tidak mempunyai hak untuk berhubungan dengan pihak luar, termasuk keluarganya. Sedemikian liarnya RUU intelijen sehingga dianggap mengebiri konsep hak asasi manusia. Point tersebut yang diperdebatkan sampai saat ini.
Waktu terus berjalan, ancaman terorisme semakin menghadang. Pemerintah harus segera memberikan legitimasi kepada intelijen untuk menjalankan fungsinya agar efektif. Penting untuk dipegang, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka konsep-konsep hak asasi manusia harus dijaga erat.
Negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dari berbagai ancaman yang mungkin muncul. Hal tersebut ditegaskan dalam alinea pembukaan UUD 1945 disebutkan; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Proporsionalitasan pemberian wewenang kepada intelijen dengan konsep menjunjung tinggi hak asasi manusia harus tetap dipilih. Diharapkan dengan adanya proporsionalitasan, akan mencegah kekuasaan yang berlebih menumpuk pada satu lembaga kekuasaan. Secara otomatis akan mencegah penyalahgunaan wewenang, detournement of depovoir, oleh penguasa. Hal tersebut dikarenakan dalam RUU intelijen Badan Intelijen Negara berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sehingga dengan proporsionalitas akan menimbulkan check and balance, lalu risiko pemerintahan yang represif dapat ditekan.
Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang harus cepat bekerja dalam meramu RUU intelijen. DPR musti peka terhadap kondisi Indonesia, apalagi waktu sekarang sedang memasuki masa reses. Sangat mungkin anggota dewan terhormat menggali dan mengumpulkan materi untuk memecahkan persoalan intelijen. Gedung miring 7˚ saja mereka sangat peka, tentunya RUU Intelijen sudah dipikirkan oleh mereka bukan?. Wahai DPR RI buatlah Indonesia bangga, meski cuma satu kali.
Rabu, 19 Oktober 2011 0 komentar

Mewujudkan Intelijen Yang Reformis dan Profesional


Selasa 11 Oktober 2011, merupakan momentum besar bagi dunia intelijen Indonesia. RUU Intelijen yang sudah terkatung selama 9 tahun pun akhirnya disahkan oleh DPR. Pro-kontra masih mewarnai keputusan “berani” dari DPR. Tak hanya berbeda pendapat dikalangan elit, masyarakat akar rumput pun juga terjadi pro-kontra.
Berbicara tentang intelijen, kita tidak akan jauh dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, ditulis jelas bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 membuat Indonesia harus menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan hukum. Supremasi hukum harus diletakkan dalam kasta tertinggi. Tak heran muncul adagium “fiat justicia et pereat mundus”, meskipun bumi hancur keadilan harus tetap ditegakkan.
Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah rechtsstaat. Friedrich Julius Stahl, ahli hukum, memberikan ciri-ciri rechtsstaat sebagai berikut; hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai trias politika, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, peradilan administrasi dalam perselisihan. Dan Indonesia harus memenuhi kriteria tersebut untuk dapat disebut negara hukum.
Berkaitan dengan RUU Intelijen sudah disahkan DPR, banyak pihak menyatakan keberatan mengenai substansi materi RUU Intelijen. Banyak lubang yang masih bisa diperdebatkan mengenai RUU Intelijen. Beberapa persoalan menyangkut RUU Intelijen, RUU Intelijen tidak mengatur secara rinci tentang kategori rahasia intelijen yang menjadi bagian dari rahasia negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rahasia intelijen berpotensi menjadi pengertian yang multi tafsir dan dikhawatirkan menjadi alat represif dari penguasa. Pasal ini langsung bersentuhan dengan kebebasan informasi dan kebebasan pers. Indonesia pernah mengalami masa kelam itu selama 32 tahun.
Ditambah lagi terdapat klausul yang menyatakan kepada setiap orang yang dengan sengaja membocorkan rahasia intelijen akan dihukum paling lama 10 tahun dan denda 500.000.000. Sedangkan kepada setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya rahasia intelijen akan dihukum 7 tahun dan denda Rp 300.000.000. Dengan batasan rahasia intelijen yang masih multi intrepetasi, dapat dipastikan bakal ada kesulitan pelaksanaan RUU Intelijen dilapangan nantinya. Bukankah tanggung jawab bocor atau tidaknya rahasia intelijen seharusnya dipegang oleh aparat intelijen sendiri? Toh, yang mengetahui batasan rahasia intelijen adalah aparat intelijen sendiri bukan setiap orang (bisa diartikan aparat intelijen dan non aparat intelijen).
Pasal 31 RUU Intelijen memuat istilah dan wewenang mengenai penggalian informasi. Definisi penggalian informasi ini pun masih bersifat multi tafsir. Penjelasan mengenai penggalian informasi dalam Pasal 31 bersifat karet dan dapat mengancam kebebasan dan demokrasi. Padahal pada bagian lain, pasal 6 ayat 2 memberikan kewenangan kepada intelijen untuk melakukan fungsi intelijen. Dapat dikatakan pula, pasal 31 RUU Intelijen adalah pasal yang mubazir.
Pasal 36 RUU Intelijen yang disahkan DPR mengatur bahwa proses pengangkatan Kepala BIN harus mendapatkan pertimbangan parlemen. Secara otomatis jabatan kepala BIN sebagai jabatan yang politis. Parlemen adalah lembaga politik Hal ini membuka ruang terjadinya politisasi pengangkatan kepala BIN oleh parlemen. Jangan sampai rahasia negara dipolitisasi. Hendaknya turut campur parlemen harus dihindari.
Pengawasan terhadap intelijen juga belum diatur secara maksimal (pasal 43). Seharusnya pengawasan harus dilakukan secara berlapis.dan rinci. Pengawasan harus dilakukan dengan ketat demi akuntabilitas intelijen. Hal tersebut dikarenakan intelijen adalah lembaga yang strategis.
Terlepas dari masih banyaknya lubang yang masih bisa ditinjau ulang dalam RUU Intelijen yang disahkan DPR, Indonesia tetap memerlukan intelijen yang kuat. Ancaman untuk bangsa ini sangatlah besar. Ancaman ideologi, terorisme, kejahatan internasional, kedaulatan negara, dsb, senantiasa mengancam Bangsa Indonesia. Melalui intelijen, diharapkan ancaman-ancaman tersebut dapat dideteksi secara dini. Sehingga antisipasi dan tindakan dapat dilakukan secara optimal demi menghindari “kerugian” yang lebih besar.
Secara nyata, ancaman terorisme sangat kuat diIndonesia. Bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepuluh (GBIS) Kepunton, Solo, Minggu (25/9/2011) pada saat jemaat sedang melakukan ibadah, mengindikasikan bahwa intelijen masih lemah. Terlepas intelijen sudah mencium bakal ada bom meledak, bargaining position mereka untuk koordinasi dengan pihak terkait masih lemah. Diharapkan melalui RUU Intelijen yang sudah disahkan oleh DPR dapat mengurangi hal-hal prosedural yang merugikan tersebut. Sehingga intelijen tidak dianggap kecolongan.
Terkait dengan ketidaksepahamannya beberapa kalangan terhadap materi RUU Intelijen yang sudah disahkan DPR menjadi undang-undang, dipersilakan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimanapun juga, dalam RUU Intelijen yang sudah disahkan DPR masih meninggalkan banyak celah untuk dibahas agar menjadi lebih baik. Tapi yang jelas, Indonesia tetap butuh intelijen. Intelijen yang reformis dan profesional adalah harapan kita bersama. Marilah kita kawal RUU Intelijen yang sudah disahkan DPR ini. Jangan takut dengan intelijen!!!
0 komentar

Ada Apa Dengan Pemberantasan Korupsi Indonesia?

Keputusan bebasnya Wali Kota Non-aktif Bekasi, Mochtar Muhhamad, di PN Tipikor Bandung membuat kita mengernyitkan dahi. Kasus yang ditangani oleh KPK, bisa keok dipengadilan. Beragam reaksi muncul terkait peristiwa ini. Banyak yang berpendapat bahwa ini adalah preseden buruk bagi penegakan pemberantasan tindak pidana korupsi diIndonesia.
Dalam menanggapi peristiwa ini, kita tidak boleh gegabah dalam menilai. Pemberantasan korupsi memerlukan proses yang panjang karena berada dalam ranah prosedural komplek. Pertanyaan yang muncul, ada apa dengan KPK? Ada apa dengan PN Tipikor? Ada apa dengan sistem pemberantasan korupsi?
Pada dasarnya, KPK hanya lembaga yang dibentuk negara karena faktor kebutuhan. Oleh karenanya KPK termasuk lembaga negara sampiran (state auxillary agencies). KPK sejatinya adalah lembaga adhoc dan berfungsi trigger (pemicu bagi Polri dan Kejaksaan untuk bekerja lebih optimal dalam menangani kasus korupsi). Jika kinerja Polri dan Kejaksaan sudah dianggap mampu menangani kasus korupsi, maka KPK dapat dibubarkan oleh pemerintah.
Sangat disayangkan KPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan lebih dalam memberantas korupsi bisa kalah dipersidangan. Memang, kalah atau menang dalam persidangan adalah hal yang wajar. Namun, untuk KPK seharusnya hal itu tidak perlu terjadi.
Kasus korupsi yang ditangani KPK adalah kasus “khusus dan istimewa”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, suatu kasus untuk dapat ditangani KPK harus bersyarat; melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Sedemikian khusus dan istimewanya kasus yang ditangani KPK, mengharuskan KPK harus yakin bahwa seseorang yang diajukan oleh KPK menjadi terdakwa dipersidangan korupsi adalah orang yang bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dan oleh majelis hakim “harus” dijatuhi pidana. Sebelumnya tentu KPK harus mempunyai bukti-bukti yang kuat dan mencukupi untuk menyatakan terdakwa bersalah.
Lolosnya Mochtar Muhhamad mengindikasikan ada proses yang salah. Entah apa yang salah, harus dicari tahu! Berangkat dari peristiwa ini keseriusan pemberantasan korupsi dipertanyakan. Ini sebuah tragedi!!! Apalagi bukan hanya kasus Mochtar yang lolos dalam peradilan tipikor untuk kasus yang ditangani KPK.
Sebagai sebuah proses prosedural, kita tidak bisa menilai pemberantasan korupsi secara terpotong-potong. Tidak hanya KPK, majelis hakim pun harus disorot. Perlu diketahui bahwa hakim bukan lah “malaikat suci”. Hakim juga seorang manusia biasa. Demikian juga hakim tipikor.
Menurut Prof.Dr.Satjipto Raharjo, SH, hakim dibedakan menjadi dua. Pertama,hakim yang apabila memeriksa, menanyakan hati nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut. Kedua, adalah hakim yang apabila memutus, terlebih dahulu “berkonsultasi” dengan kepentingan perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap “putusan perutnya”.
Salah satu hakim yang menangani kasus Mochtar, Ramlan Comel, pernah tersangkut kasus korupsi. Ramlan Comel terbukti bersalah dalam kasus korupsi dana overhead di PT Bumi Siak Pusako Riau dan divonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Lalu dia mengajukan kasasi dan diputus bebasi. Ramlan juga menjadi hakim anggota yang memutus bebas Bupati Subang Eep Hidayat.
Sungguh aneh, seseorang yang pernah tersandung kasus korupsi justru menjadi hakim tipikor. Rasa-rasanya ada yang salah dalam perekrutan hakim. Mahkamah Agung selaku lembaga yang berhak “memilih” hakim harus segera instrospeksi mendalam. Sistem perekrutan hakim harus segera dievaluasi. Perekrutan yang ketat, transparan, akuntabilitas dan dapat dipertanggungjawabkan rasanya harus mampu diwujudkan oleh Mahkamah Agung. Apalagi untuk hakim tipikor. Dalam buku Sisi-sisi lain hukum diIndonesia, Prof.Tjip mensyaratkan calon hakim melalui seleksi ketat, “Tes-tes dan wawancara dilaksanakan mendalam dan sejarah hidup sang calon juga diperiksa dengan seksama, bukan hanya “keterangan berkelakuan baik” ”.
Berbagai fakta tersebut memaksa kita berkesimpulan awal bahwa dalam pemberantasan korupsi diIndonesia tidak berlangsu

ng secara sinkron antar lembaga penegak hukum, dan Indonesia masih lemah dalam sistem pemberantasan korupsi. Semua celah yang ada harus segera mendapat evaluasi dari pihak terkait, agar pemberantasan korupsi dapat berlangsung secara optimal. Para koruptor tidak boleh menjadikan Indonesia sebagai lahan subur untuk mereka berkarya. Sudah terlalu lama bangsa ini tersandera oleh para koruptor. Basmi koruptor, tegakkan hukum diIndonesia!!!
Minggu, 02 Oktober 2011 0 komentar

Meruncingkan Fungsi Intelijen dan Kewaspadaan Masyarakat

Teror bom kembali terjadi Indonesia. Kejadian terakhir Bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepuluh (GBIS) Kepunton, Solo, Minggu (25/9/2011) pada saat jemaat sedang melakukan ibadah. Tak ayal, Solo pun bergetar karena selain nyawa diduga pelaku bom bunuh diri, nyawa orang tak bersalah juga melayang dan luka-luka. Kota yang terkenal ramah penduduknya dan mempunyai pluralitas yang kuat pun menjadi terusik oleh teror bom. Keamanan yang telah tercipta selama ini menjadi kabur rasanya. Pluralitas Solo telah dipertaruhkan.
Bom bunuh diri yang terjadi di Solo kemarin menyisakan banyak luka bagi para korban pada khususnya dan masyarakat umum pada umumnya. Kejadian tersebut berpengaruh secara lokal bagi wilayah Solo dan secara nasional pula.
Secara lokal, kejadian teror bom bisa memberikan ancaman terhadap dinamika pluralitas masyarakat Solo yang sangat heterogen. Dalam lingkup nasional, kejadian teror bom tersebut memberi isyarat buruk bagi Indonesia dalam keamanan dalam negerinya. Dampak nyata dalam skala nasional, perekonomian indonesia mendapat penilaian yang kurang baik tentunya. Apalagi saat ini perekonomian dunia sedang dalam keadaan yang buruk menyusul perekonomian yang buruk di Amerika. Dikhawatirkan kejadian tersebut semakin menjauhkan investor dari Indonesia. Saat inilah kredibilitas keamanan Kota Solo dan Indonesia diuji.
Berkaca dari kejadian tersebut, pemerintah harus segera bertindak mengatasi keadaan. Sebagai pemegang kekuasaan, langkah taktis cermat, cepat, dan tepat harus segera dilakukan. Tindakan preventif dan represif menjadi wajib hukumnya. Segala unsur yang berkaitan mencegah tindakan terorisme dan menjalankan keamanan negara harus dikerahkan.
mendorong RUU Intelejen
Dengan momentum teror bom ini, setidaknya boleh lah kita kembali membahas tentang RUU intelejen. Sampai saat ini pembahasan RUU masih dilakukan oleh Panitia Kerja (Panja) RUU Intelejen di DPR. Kekhawatiran mengenai kecenderungan represif oleh pemerintah oleh intelejen harus segera dipecahkan duduk perkaranya. Persoalannya, masalah intelejen adalah permasalahan yang mendesak harus dipecahkan, mengingat melalui fungsi intelejen tindakan-tindakan teror dapat diredam oleh intejen. Olehkarenanya Panja RUU Intelejen DPR harus segera menyelesaikan RUU tersebut dan disahkan oleh DPR. Dukungan legislatif menjadi penting disini.
Hikmah teror bom
Dijadikannya Kota Solo sebagai lokasi pengeboman menunjukkan bahwa pelaku teror sudah tidak mempunyai kecenderungan melakukan aksi dikota tertentu, semisal Jakarta, Bali, melainkan sudah tidak berkecenderungan memilih lokasi pengeboman tertentu, sehingga pola pergerakan pelaku teror pun menjadi lebih rumit untuk diurai.
Meskipun pola pergerakan pelaku teror sudah tidak terpola lagi, namun efek yang ditimbulkan tetap sama. Ketakutan masyarakat, naiknya risiko pergesekan / konflik horisontal dalam masyarakat, kewibawaan pemerintah menurun, perekonomian terancam. Namun setidaknya berkat momentum teror bom Solo ini, Indonesia mendapat pesan bahwa kerukunan antar warga negara harus ditingkatkan, toleransi antar warga negara harus ditingkatan, pembahasan RUU Intelejen harus segera diselesaikan.
Negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dari berbagai ancaman yang mungkin muncul. Hal tersebut ditegaskan dalam alinea pembukaan UUD 1945 disebutkan; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia sebagai organisasi terbesar diIndonesia harus segera bertindak secara cepat, tepat serta tanggap menguasai keadaan. Keadaan kemanan yang buruk berlarut-larut ini harus segera dihentikan. Segala daya upaya harus dilakukan dengan segera agar setiap jiwa di Indonesia hilang dengan percuma, apalagi karena teror bom yang tidak jelas tujuannya.
Selain upaya pemerintah, kewaspadaan komunitas/jamaat, individu dan masyarakat juga harus ditingkatkan. Dengan adanya kewaspadaan bersama jelas akan mempersempit gerakan para pelaku teror. Secara otomatis bakal ada integrasi yang sistemik antara masyarakat dan pemerintah dalam menangani terorisme. Jangan sampai pelaku teror diberikan ruang untuk melancarkan aksinya. Kepedulian terhadap sekitar harus ditumbuhkan agar keamanan bersama. Dengan kekuatan bersama, rasa-rasanya tidak perlu ada hal yang harus ditakutkan, apalagi ancaman terorisme. Jangan takut pada terorisme!!!
Minggu, 24 April 2011 0 komentar

Lubang Hitam Dunia Pendidikan Indonesia

Dunia pendidikan sedang mengalami tamparan keras. Terungkapnya kasus perjokian tes masuk mahasiswa baru One Day Service (ODS) UMS, Maret lalu, mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Tak tanggung-tanggung, otak pelaku perjokian tersebut adalah lulusan perguruan tinggi dengan berpredikat cum lude.
Demikian memprihatinkannya out put dunia pendidikan Indonesia, bahwa seorang yang luar biasa dalam akademik mempunyai mental yang buruk. Meskipun dilakukan oleh oknum, kasus tersebut mencerminkan kegagalan sistem pendidikan Indonesia. Apa yang salah dalam sistem dunia pendidikan Indonesia?
Kegagalan sistem pendidikan menghasilkan out put yang tidak cacat, baik dalam akademis maupun mental harus segera mendapat tindakan. Ketegasan dalam taraf penanganan kasus oleh kepolisian maupun dalam taraf memperbaiki sistem pendidikan oleh departemen pendidikan harus mendapat perhatian penting.
Bagaimanapun juga hukum harus ditegakkan, termasuk pada kasus perjokian ini. Karena kasus perjokian melibatkan sindikat, maka seluruh pihak yang terlibat harus mempertanggungjawabkan sesuai dengan perbuatannya. Konstruksi hukum harus dibangun untuk menangani kasus kejahatan terhadap intelektualitas ini. Dalam kasus ODS UMS, karena dilakukan oleh sindikat, otomatis pelakunya lebih dari satu. Oleh karenanya masuk pada penyertaan dalam tindak pidana, dimana bakal ada yang menjadi otak pelaku (auctor intellectualis).
Didalam hukum pidana dikenal istilah Uitlokker diartikan pembuat penganjur atau orang yang sengaja menganjurkan. Orang tersebut tidak melakukan tindak pidana materiil secara langsung melainkan memakai “jasa” orang lain. Kalau pembuat penyuruh dirumuskan dalam pasal 55 ayat 1 KUHP dengan sangat singkat, ialah, “yang menyuruhlakukan” (doen plegen), tetapi dalam bentuk orang yang sengaja menganjurkan dirumuskan dengan lebih lengkap, dengan menyebutkan unsur obektif sekaligus unsur subyektif. Rumusan lengkapnya; “mereka yang dengan memberi atau , sengaja menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Jika diperinci lagi, rumusan tersebut akan terdapat unsur subyektif berupa unsur perbuatan (menganjurkan orang lain melakukan perbuatan), caranya (memberikan sesuatu, menjanjikan sesuatu, menyalahgunakan kekuasaan, menyalahgunakan martabat, kekerasan, ancaman, penyesaatan, memberi kesempatan, memberikan sarana, memberikan keterangan) dan unsur obyektif (dengan sengaja).
Dengan demikian pertanggungjawaban pidana untuk kasus ODS UMS akan menjadi kompleks, dari sisi jumlah pelaku. Dikarenakan akan menyasar mulai dari penyedia jasa beserta komplotannya maupun bagi konsumen jasa tersebut, tentunya akan disesuaikan menurut tingkat pertanggungjawabannya. Namun semua itu dikembalikan kepada pihak yang berwenang (polisi) dalam melakukan tindakan polisional.
Diharapkan tujuan dari hukum pidana, secara umum untuk melidungi masyarakat dari perbuatan pidana yang dilakukan oleh seseorang dapat tercapai. Perjokian tersebut merugikan secara luas bagi Indonesia khususnya dalam dunia pendidikan. Selain itu pula, jika hukum pidana telah bertindak, fungsi hukum pidana dapat segera tercapai, fungsi preventif dan fungsi represif. Fungsi preventif untuk memberikan rasa takut kepada masyarakat luas yang berkeinginan melakukan tindak pidana (menjadi joki ujian maupun memanfaatkan joki ujian). Fungsi represif untuk mendidik orang yang melakukan tindak pidana supaya sadar dan menjadi orang baik (tidak menjadi joki ujian maupun memanfaatkan joki ujian). Jika kedua fungsi tersebut dapat tercapai, setidaknya kehidupan pendidikan diIndonesia dapat diselamatkan dari mentalitas buruk.
Meskipun terkesan kejam dengan menindak semua yang terlibat, namun demikian itu lah prosesnya. Diistilahkan hukum pidana diibaratkan seperti pedang bermata dua, disatu sisi melindungi masyarakat namun disisi lain merampas hak individu. Hal tersebut harus dilakukan mengingat pentingnya posisi dunia pendidikan yang sangat strategis karena melaluinya lah Indonesia akan dibangun. Indonesia perlu intelektual yang baik, terutama dalam mentalitasnya. Akademis bisa dipelajari, namun mental harus dibangun dan tertanam pada peserta didik.
Oleh karenanya, sudah saatnya Indonesia memperbaiki sistem pendidikan yang ada. Ingin seperti apa pendidikan Indonesia. Bahwa pendidikan bukan hanya mendidik untuk menguasai disiplin ilmu, melainkan juga pendidikan terhadap mentalitas dari peserta didik tersebut. Dengan munculnya kasus perjokian tersebut, restrukturisasi dan rekonstruksi sistem pendidikan mental wajib untuk dikaji ulang, sehingga dapat meminimalisirkan dampak buruk terjadinya para peserta didik bermental lemah.
Perlu kerja sama dari pemerintah, masyarakat dan stakeholder dunia pendidikan untuk menciptakan proses pendidikan yang baik, sehingga mendapatkan out put peserta didik yang berhasil, baik dari sisi mental maupun dari sisi akademisnya. Ibarat sebuah biji buah-buahan, dia akan tumbuh dan menghasilkan buah yang berkualitas jika ditanam, dirawat dengan penanganan berkualitas pula. Demikian pula pendidikan diindonesia. Dunia pendidikan jangan sampai melahirkan generasi bobrok ditengah jaman yang bobrok. Dikarenakan nasib Indonesia kedepan berada didalam tangan intelektual. Lubang hitam dunia pendidikan tersebut harus segera ditutup!
Selasa, 15 Maret 2011 1 komentar

Legowo Dalam Masa Kini Indonesia

            Legowo, demikianlah orang jawa menyebutnya. Sebuah ungkapan untuk menerima keadaan kekalahan, ketidakmampuan tentang kewajiban yang melekat, serta menanggung segala konsekuensi yang mungkin muncul. Dalam bahasa Indonesia, legowo dapat dipersamakan arti dengan lapang dada. Lapang dada adalah sikap ksatria, dalam menghadapi serta menerima kekalahan. Sikap ini tumbuh karena nilai-nilai perasaan manusia itu sendiri dalam menanggapi kegagalan. Wajarlah bila legowo tercermin secara eksplisit pada kata-kata mutiara “kegagalan adalah kemenangan yang tertunda”, demikian legowo tumbuh dan diakui. Jika disederahanakan legowo dapat diartikan sebagai sikap menerima kekalahan dengan berjiwa besar.
            Pemikiran tentang legowo tumbuh tanpa mengenal wilayah, diartikan bahwa sikap legowo tidak hanya dalam lingkup komunitas jawa namun milik umat manusia secara keseluruhan. Oleh karenanya legowo dapat disebut budaya universal karena terbentuk dari sisi humanisme dari sisi seorang manusia secara hakiki.
            Berbicara fakta tentang legowo sangat lah menarik untuk dikaji lebih mendalam. Kontekstual yang cocok untuk mengambarkan legowo tentunya dari bidang olah raga. DiIndonesia, “tidak terima” mengenai hasil pertandingan adalah hal hampir biasa. Parahnya lagi jika keadaan tersebut ditandai dengan tindakan negatif untuk melampiaskan emosi akibat rasa “tidak terima” tadi. Apakah hal tersebut sesuai dengan dengan dengungan fair play dalam olah raga? Aneh bukan, ketika event sportifitas malah melakukan tindakan yang mencederai nilai-nilai sportifitas itu sendiri. Itu baru contoh kecil.
            Fakta lain, terdapat pada tubuh PSSI. Bak berkuasa sebagai rezim otoriter, PSSI memonopoli sepak bola Indonesia seperti miliknya secara utuh. Memang benar PSSI adalah lembaga yang mempunyai legitimasi terhadap tata urusan sepak bola nasional. Tapi jika minim prestasi, bukankah harus mengakui adanya kekalahan dari wujud ketidakmampuan menjalankan amanat yang dibebankan kepadanya? Masyarakat Indonesia butuh prestasi, Indonesia selama ini miskin prestasi namun kaya akan visi dan misi membangun sepak bola nasional. Jadi wajar kalau rakyat berinisiatif membuat kompetisi untuk memajukan persepakbolaan nasional. Seharusnya didukung bukan malah dicoba dikebiri dengan alasan tidak sesuai aturan. Kalau pun tidak sesuai aturan, tinggal dibenah saja agar sesuai aturan. Mudah bukan?
            Hal menarik terjadi dalam kepemimpinan PSSI saat ini. Secara terang menunjukkan sikap ngeyel untuk tidak mengakui salah urus sepak bola nasional. Otomatis nilai-niai budaya legowo “menguap” pada kondisi ini. Ada apakah gerangan? Seberapa nyamankah memimpin jabatan disertai ketidakpercayaan publik terhadap kinerjanya? Seberapa fokuskah menjalankan amanah dalam keadaan seperti itu? Atau jangan-jangan pertanyaannya harus diganti menjadi seberapa fokuskah menghadapi ketidakpercayaan publik terhadap kinerjanya?
            Contoh lain tejadi dalam isu resuffle kabinet pemerintahan SBY jilid II.  Terdapat wacana untuk mengganti para menteri terkait dengan kinerjanya yang tidak memuaskan. Pertanyaannya, mengapa mereka dipilih jika mereka bakal tidak mempu menjalankan amanat kewajibannya? Apakah ada kesalahan mengenai pengangkatan mereka menjadi menteri? Dengan politik transaksional saat ini wajar hal tersebut terjadi, mengingat konselasi politik yang mungkin timbul akibat dari sistim politik di negeri ini. Akibatnya jabatan menteri kadang diberikan kepada orang yang “kurang” berkompeten dalam bidang lembaga kementerian tersebut. Apakah eksekutif mau mengakui adanya kesalahan dalam manajemen pengangkatan para menteri tersebut untuk koreksi sebagai bahan perbaikan? Jabatan berdasar kualitas atau jabatan berdasar konspirasi politik? Sulit untuk membedakannya.
            DiIndonesia, kejadian kecil dapat menjadi kejadian besar, dengan dibantu media. Era kemajuan dunia media juga turut memajukan kualitas perpolitikan. Serangan melalui media menjadi hal tak terelakkan. Apakah media mau legowo mengakui sebagai sarana perang opini publik? Ataukah bakal berlindung pada kebebasan dan kemerdekaan pers dengan mengagungkan objektivitas?
            Contoh positif dapat diambil dari luar negeri, Jerman dan Jepang. Selasa 1 Maret 2011, Menteri Pertahanan Jerman, Karl-Theodor Zu Guttenberg resmi mengundurkan diri dari jabatannya akibat melakukan plagiarisme dalam desertasi doktoralnya. Pada saat ini Zu Guttenberg adalah pejabat yang populer dan dipercaya rakyat Jerman akibat sikapnya yang tegas dan lugas bersuara. Sikap legowo untuk mundur dari tahta jabatannya, patut ditiru oleh Indonesia. Sikap ksatria tersebut wajib diapresiasi.
            Dijepang, Saeji Maehara, menteri luar negeri Jepang mengundurkan diri dari jabatannya. Kesalahan yang dibuat adalah menerima donasi politik illegal dari warga negara asing. Padahal tahta Saeji Maehara adalah jabatan bergengsi dan berpeluang besar bakal menjadi perdana menteri, namun dia mau melepaskannya karena telah berbuat kesalahan. Anehnya lagi,nominalnya donasi “hanya” Rp 27 juta. Kalau diIndonesia nominal tersebut terlalu kecil tentunya, terbukti dalam kasus suap banyak yang mencapai nominal ratusan bahkan milyar rupiah. Sikapnya mau mengakui dan meminta maaf terhadap kesalahan yang dibuatnya adaah sikap ksatria. Hebatnya lagi dia dengan legowo menanggalkan jabatannya. Sungguh sangat ksatria sikapnya.
            Berdasarkan fakta diatas, terdapat urgensi mengenai sikap legowo untuk diimplementasikan secara penuh. Seandainya diIndonesia sikap tersebut dilaksanakan secara benar, niscaya gerbang kemajuan Indonesia semakin dekat. Bakal ada peminimalisiran kekisruhan didalam kehidupan masyarakat Indonesia akibat amanah yang melenceng. Bahkan, secara umum dapat menjadi pendidikan kepemimpinan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Bahwa mengakui ketidakmampuan serta menyerahkan kekuasaan untuk orang lain yang mungkin lebih baik kinerjanya adalah sikap ksatria. Mungkin, hasil lebih akan diraih apabila orang lain. Semoga masih ada kesempatan dan kemauan mengimplementasikan legowo dinegeri ini, demi kemajuan tanah air.


Rabu, 09 Maret 2011 0 komentar

Antara Musik dan Mentalitas

 Barangkali banyak masyarakat Indonesia merasa asing terhadap tanggal 9 Maret. Banyak diantara mereka untuk mengetahuinya saja butuh membuka buku pengetahuan umum. Pada 9 Maret, Indonesia merayakannya sebagai hari musik nasional. Pastilah euforianya kalah jika dibandingkan kasus besar yang menarik perhatian masyarakat, kasus Gayus misalnya.
 Musik dapat dikatakan salah satu sarana pembentuk mentalitas bangsa. Kedudukannya pun tidak bisa dipandang sebelah mata dalam kehidupan sosial kenegaraan. Sifat musik yang universal, membuatnya tidak mengenal perbedaan.
  Salah satu karya seni sebagai wujud ungkapan perasaan bermedia suara ini mempunyai kedudukan yang strategis dalam membangun sebuah bangsa. Selain unggul dalam genre yang beraneka ragam, musik juga mempunyai keunggulan lain, diantaranya untuk “menghipnotis” orang dalam jangka waktu singkat dan dalam jumlah besar pula. Jika kita sedikit jeli mengamati keadaan sekitar, dapat kita jumpai banyak musik yang menjadi hits dan akrab ditelinga masyrakat tak lama setelah dilaunching.
 Akan tetapi fonemena musik diIndonesia agak memprihatinkan. Salah satu contoh, musik bagi orang dewasa banyak dikonsumsi oleh anak kecil. Sehingga musik tersebut sebenarnya tidak pas untuk usianya. Dengan sendirinya mentalitas anak tersebut terganggu sedari dini. Jika pada masa dini saja sudah terganggu mentalnya, bagaimana waktu dia besar nanti?
 Musik tidak sesuai usia diperparah dengan miskinnya Indonesia dalam memperdengarkan musik untuk anak. Dapat dilihat dalam acara media televisi maupun radio, berapa kalikah mereka memasukkan lagu anak kedalam acaranya dibandingkan lagu dewasa? Para Indonesia kecil tersebut seharusnya dijaga agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan usianya, karena dipundak mereka lah estafet kepemimpinan bangsa ini bakal diberikan.
 Musik dewasa yang berlebih juga memicu rusaknya generasi muda bangsa ini. Lagu dengan tema kisah percintaan memang menjadi komoditi menjual pada saat ini. Akibatnya banyak generasi muda kita terjebak dalam pemikiran cinta yang melenakan. Secara langsung generasi tersebut cenderung akan apatis dan cenderung masa bodoh terhadap persoalan bangsa ini, dan akan mementingkan egoismenya. Bagaimana bangsa ini bisa maju kalau generasi penerusnya bersikap apatis dan masa bodoh terhadap bangsanya?
 Sampai tahun 2011, musik dapat dikatakan sebagai industri yang menjanjikan. Terbukti banyak artis ramai-ramai mencoba peruntungan didunia tarik suara. Membludaknya acara dan jumlah peserta pencarian bakat menyanyi yang diadakan oleh stasiun televisi mengindikasikan publik menaruh apresiasi besar terhadap musik. Melalui fakta tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia tarik suara mempunyai peminat yang banyak karena menjanjikan pundi-pundi rupiah. Ironisnya, kualitas musik tidak banyak berubah, kebanyakan hanya menuruti selera pasar. Akibatnya masyarakat hanya dipaksa dengan musik yang monoton tanpa kualitas mumpuni. Efek yang terjadi cenderung berdampak buruk bagi perkembangan musik tanah air secara luas terutama berakibat para generasi penerus.
 Konsumsi musik yang salah banyak diakibatkan oleh kemajuan teknologi sebagai konsekuensi dari globalisasi. Media untuk memutar musik semakin berkembang secara kompetitif. Dengan demikian terjadi perubahan pola hidup masyarakat yang tajam dan cepat. Belum lagi ditambah kemudahan akses internet diIndonesia yang semakin memudahkan distribusi file secara global.
 Melihat fakta yang ada dapat disimpulkan bahwa semakin pesat perkembangan jaman berbanding lurus dengan risiko krisis metalitas suatu bangsa. Jangan sampai terjadi krisis mentalitas dalam tubuh bangsa Indonesia, apa lagi terjadi pada generasi mudanya. Jika hal tersebut terjadi dapat dipastikan bangsa Indonesia sulit untuk berkembang untuk menjadi bangsa yang diperhitungkan dalam pergaulan internasional.
 Oleh karena itu, industri musik diIndonesia harus mengalami pembenahan agar tepat dalam perkembangannya dan tidak justru menimbulkan akibat negatif bagi bangsa Indonesia. Perbaikan kualitas dan pendidikan mengenai musik harus mendapat prioritas untuk menyelamatkan generasi penerus.
 Melalui musik, rasa nasionalisme dapat dipupuk. Jika nasionalisme sudah terbangun baik, secara otomatis kecintaan terhadap bangsa akan naik kelevel tinggi. Efek sistemiknya adalah semangat juang tinggi untuk memajukan negara ini dalam berbagai bidang. Jika sedari dini sudah terpupuk rasa nasionalime tinggi, kiranya tidak membutuhkan waktu yang panjang bagi Indonesia menjadi negara besar dan diperhitungkan. Banyak tenaga ahli Indonesia yang akan memilih bekerja didalam negeri memajukan bangsanya. Perilaku buruk pejabat pun dapat ditekan jika nasionalisme yang menjadi pondasi dalam bekerja. Niat untuk korupsi menjadi hilang, karena niat awalnya adalah mengabdi bagi bangsa ini untuk memajukannya. Semoga masih ada harapan di negeri ini untuk mewujudkannya. Amin
Kamis, 03 Maret 2011 0 komentar

Gesekan Pers dan Media Diakhir Februari

 Menjelang berakhirnya bulan Februari 2011, permasalahan kembali melanda Indonesia. Kali ini melibatkan pers dengan pihak pemerintah melalui sekretaris kabinetnya. Pers seolah mendapat ancaman pengebirian dari Dippo Alam, sekretaris kabinet, mengancam media yang selalu mengkritik pemerintah tak akan mendapat iklan dari institusi pemerintah. Apakah ini bentuk otoriter baru dalam pengekangan kebebasan pers? Ataukah hanya kekecewaan terhadap ketidakprofesionalan kaum pers dalam melakukan pemberitaan yang obyektif?
 Pada persoalan kali ini, menghadapkan dua obyek perseteruan yang sangat menarik, antara “oknum” eksekutif dan “oknum’ media pers. Dan perseteruan yang ada membuat mereka untuk dipandang secara representatif mewakili pihaknya masing-masing secara otomatis.
  Terlepas dari benar atau salah para pihak tersebut, mengapa hal ini terjadi? Kita harus melihat pemberitaan media massa belakangan ini, semisal mengenai kasus Ahmadiyah, Bank Century, Gayus, Susno Duaji, hak angket. Rata-rata menunjukkan ketidakberesan yang terjadi di negeri ini. Aksi pers untuk mengulas tajam dan kritis justru harus diapresiasi tinggi, mengingat pada orde baru hal tersebut hanya angan semu saja. Terlepas adanya intrik politik kepentingan yang berada dibelakang kasus tersebut, kemerdekaan pers telah membuka borok negara ini.
 Pada Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 3 menyebutkan “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”. Jika pers menkritisi pemerintah secara tajam tentunya hal tersebut memang tugas mereka sebagai lembaga kontrol sosial. Dalam mengkritisi tentunya terhadap hal-hal jelek, oleh pemerintah seharusnya menjadikannya sebagai bumbu-bumbu dalam meramu kehidupan bangsa Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Reaksi pemerintah bernada ancaman tentunya tidak dapat dibenarkan, mengingat hal tersebut bisa mempengaruhi kemerdekaan pers dalam melaksanakan fungsinya.
 Disatu sisi pemerintah seharusnya perlu memperbaiki diri lagi dalam melakukan komunikasi ke publik terkait dengan kinerjanya. Pemerintah beserta seluruh jajarannya harus menjaga komunikasi terhadap publik demi menjaga wibawa pemerintah itu sendiri. Jangan sampai karena ulah oknum tertentu, berdampak menyeluruh kepada jajaran pemerintah yang lain. Namun untuk keadaan saat ini akibat pernyataan dari Sekretaris Negara, kesan yang muncul adalah pemerintah seolah tidak tahan kritik dan berusaha menunjukkan kekuasaannya untuk melawan dan menggertak pers itu sendiri. Sangat disayangkan hal ini bisa terjadi, seharusnya pers dijadikan kawan sebagai ajang pengkoreksian diri dari pemerintah tentang kinerja yang dihasilkannya sehingga benturan-benturan berekses negatif dapat dihindari, toh benturan tersebut juga tidak perlu terjadi asalkan para pihak berada dalam relnya masing-masing.
 Terkait dengan “ulah” sekretaris negara, seharusnya segera diadakan pengkoreksian dalam hal manajemen diri dari aparat pemerintahan dalam hal tata cara menghadapi media, perlu ada evaluasi mendalam dan lebih lanjut. Sekretaris negara tentunya hanya sebuah jabatan yang diemban manusia biasa. Oleh karenanya wajar jika ada reaksi yang agak keras akibat ada tekanan dari pihak luar, dalam hal ini media pers. Hanya saja caranya saja yang perlu mendapat koreksi untuk perbaikan. Terlebih lagi sekretaris negara adalah jabatan publik yang seharusnya menjadi panutan masyarakat luas. Sehingga dalam menjalankannya harus berhati-hati. Bukankah jabatan tersebut amanah?
 Pers sebagai corong berkebebasan dan keterbukaan informasi, harus melakukan koreksi mengenai kualitas berita dan profesionalisme masyarakat pers itu sendiri. Penting diketahui bahwa melalui pers, opini publik dapat diarahkan oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini yang berbahaya, pers sebagai lembaga independen dalam memberitakan diharapkan dapat secara obyektif menilai suatu keadaan. Pemberitaan bukan hanya tentang benar atau pun salah melainkan harus mencerminkan bahwa pers bebas dari kepentingan manapun demi menjaga independenitas dan obyektifitasan dalam melakukan kontrol sosial. Pers tidak boleh dipengaruhi oleh pemerintah, pihak tertentu, dan bahkan pemilik modal. Mampukah pers melakukannya? Tentunya hal ini menjadi pertanyaan besar.
 Dalam struktur struktur ketatanegaraan, media menjadi bagian dari infrastruktr kenegaraan yang sangat penting kedudukannya. Bersamanya ditempatkan juga partai politik, tokoh, golongan penekan, serta golongan kepentingan. Oleh karenanya kedudukan pers tidak dapat dipandang sebelah mata. Dari kacamatanya lah diharapkan diberitakan suatu hal yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Tidak diperbolehkan suatu pihak menunggangi diatasnya untuk kepentingan tertentu. Semoga dinegeri ini masih ada kebebasan dan keberanian untuk kebenaran. Amin
Senin, 14 Februari 2011 0 komentar

Dimana Hukum Di Indonesia?

Masih hangat dibicarakan tetang Ahmadiyah, apa lagi sejak cerita dari Cikeusik menjadi “bom waktu” yang telah meledak dan bahkan telah mengalihkan perhatian publik terhadap kasus-kasus besar sebelumnya, kasus Gayus contohnya. Jemaat Ahmadiyah didirikan oleh Hadhrat Mirza Ghulam Ahmad telah memicu kontroversi dibanyak negara, termasuk Indonesia. Mirza Gulam Ahmad mengaku sebagai nabi umati, yakni setara dengan ulama yang mendapatkan risalah, dan segala tindak tanduknya mencontoh perbuatan Nabi Muhammad. Perbedaan istilah inilah yang kemudian memicu ketegangan antara kalangan Ahmadiyah dan pemeluk Islam mainstream dari dulu hingga kini (kompas.com).
 Dalam memandang kasus Ahmadiyah di Indonesia, negara harus melakukan tindakan yang tegas terhadap aliran tersebut. Sehingga dapat meminimalisir friksi-friksi yang dimungkinan terjadi antara jemaat Ahmadiyah dengan jemaat non-Ahmadiyah.
 Negara sebagai representasi kedaulatan rakyat harus bertindak untuk melindungi rakyatnya, hal itu tidak bisa ditawar lagi. Hal sesuai dengan pemikiran Jean Jacques Rousseau dalam bukunya “Contrac Social”. Diartiakan bahwa tiap-tiap orang melepaskan dan menyerahkan haknya kepada kesatuannya yaitu masyarakat. Dan secara otomatis, kenyataan tersebut bakal tereduksi menjadi negara dalam arti lembaga. Termasuk diberlakukannya hukum negara bagi tiap-tiap individu yang menyerahkan haknya tersebut secara mengikat.
 Telah banyak friksi yang terjadi antara jemaat ahmadiyah dengan non-ahmadiyah, salah satu yang menohok adalah friksi yang terjadi di Cikeusik, Jawa Barat. Friksi Cikeusik berupa penyerangan ribuan masa terhadap jemaat Ahmadiyah dan bahkan menimbulkan 3 korban tewas dari pihak Ahmadiyah. Sungguh miris melihatnya apa lagi ketika ada video dokumentasi penyerangan diunggah ke You Tube dan bisa diakses oleh siapa pun pengguna internet, tanpa mengenal usia serta kewarganegaraan. Hal itu berpeluang menimbukan efek negatif yang besar terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara serta memberi pencitraan yang buruk terhadap Indonesia dimata negara lain.
 Friksi tersebut menggambarkan suatu ketidakadaan hukum negara dalam kehidupan masyarakat. Dapat dilihat pula aparat kepolisian yang tidak berdaya untuk menguasai keadaan, entah tidak mampu atau terlalu takut untuk menguasai keadaan, padahal mereka mempuyai kewenangan untuk itu.
 Friksi Cikeusik menggambarkan lemahnya negara dalam menangani Ahmadiyah. Midgal dalam tesisnya mengatakan bahwa masyarakat akan bangkit ketika negara melemah. Hal itulah yang terjadi di Cikeusik. Negara lemah dalam menangani Ahmadiyah. Padahal tiga tahun lalu, 2008, sudah ada Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri untuk menangani Ahmadiyah. Salah satu point penting SKB “Memberi peringatan dan memerintahkan bagi seluruh penganut, pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) sepanjang menganut agama Islam agar menghentikan semua kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran Agama Islam pada umumnya. Seperti pengakuaan adanya Nabi setelah Nabi Muhammad SAW”. Namun sepertinya SKB tidak dapat meredam Ahmadiyah.
 Melihat kondisi Cikeusik, negara gagal “mengurus” Ahmadiyah secara total. Dan akhirnya masyarakat anti Ahmadiyah bertindak dengan “hukum dan cara mereka sendiri”. Akibatnya hukum hukum rimba dipakai dan mengesampingkan hukum negara serta berakibat hacurnya tatanan hukum negara dalam beberapa jam di Cikeusik.
 Berdasarkan UUD 1945 pasal 1 ayat 3 menuliskan “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Oleh karena itu semua warga negara, baik WNI maupun WNA, wajib mentaati hukum yang ada di Indonesia. Bagaimana pun juga tindakan diluar hukum negara tidak bisa ditolerir sedikit pun. Asas Equality before the law (persamaan didepan hukum) musti ditegakkan.
 Untuk menangani kasus Ahmadiyah, penulis mengemukakan beberapa langkah, diantaranya:
  Menyelesaikan kasus-kasus kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah dalam tingkat daerah sesuai dengan perundang-undangan.
  Menyelesaikan status eksistensi aliran Jemaat Ahmadiyah di Indonesia, menegaskan apakah boleh berkembang atau tidak.
Siapa yang melakukan kesalahan harus menerima hukuman berdasar pada peraturan yang berlaku.
 Terlepas benar atau tidaknya Jemaat Ahmadiyah Indonesia dari segi agama, tindakan kekerasan di Cikeusik harus diusut tuntas. Aparat keadilan tidak boleh kecolongan lagi dalam menyelesaikan kasus ber genre agama ini. Pertanyaan siapa, bagaimana, mengapa kekerasan dapat terjadi harus diungkap secara objektif dan tuntas. Sehingga adagium viva justicia et pereat mundus (keadilan musti ditegakkan meskipun bumi hancur) dapat tercapai.
 Dalam aspek lebih luas, eksistensi Ahmadiyah diIndonesia harus segera diputuskan. Pasal 29 UUD 1945 menuliskan “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”. Secara otomatis Ahmadiyah mendapat perlindungan untuk beribadat dari Negara Indonesia, atas dasar atas kepercayaan. Namun disisi lain pada Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 1/PNPS Tahun 1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama pasal 1 menuliskan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu”. Dengan demikian ada celah untuk masuk ke ranah perdebatan tentang eksistensi Ahmadiyah, mengingat agama yang diakui diIndonesia hanya ada 5. Jika PNPS tersebut masih dilanggar ada ancaman sanksi mulai diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatannya itu di dalam suatu keputusan bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri (untuk saat ini sering disebut SKB 3 menteri). Jika masih membandel Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan Organisasi itu dan menyatakan Organisasi atau aliran tersebut sebagai Organisasi/ aliran terlarang, satu dan lain setelah Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri. Bahkan terdapat ancaman pidana selama-lamanya 5 tahun jika masih melanggarnya (Pasal 159a Kitab Undang-Undang Pidana).
 Dengan adanya piranti hukum negara, maka hendaknya masyarakat tidak menggunakan perilaku diluar hukum negara yang sering berujung pada jalan buntu dan jauh dari upaya penyelesaian permasalahan. Pikiran yang jernih dan tenang harus dipakai dalam menyelesaikan perseoalan Ahmadiyah. Inilah Indonesia, sebuah negara hukum yang harus konsekuen menegakkan hukum, termasuk perilaku warga negaranya juga harus mencerminkan perilaku hukum. Agar tujuan hukum berupa keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum tercapai. Minimal kepastian hukum harus tercapai karena berpengaruh pada wibawa hukum itu sendiri.





 
;