Rabu, 19 Oktober 2011

Ada Apa Dengan Pemberantasan Korupsi Indonesia?

Keputusan bebasnya Wali Kota Non-aktif Bekasi, Mochtar Muhhamad, di PN Tipikor Bandung membuat kita mengernyitkan dahi. Kasus yang ditangani oleh KPK, bisa keok dipengadilan. Beragam reaksi muncul terkait peristiwa ini. Banyak yang berpendapat bahwa ini adalah preseden buruk bagi penegakan pemberantasan tindak pidana korupsi diIndonesia.
Dalam menanggapi peristiwa ini, kita tidak boleh gegabah dalam menilai. Pemberantasan korupsi memerlukan proses yang panjang karena berada dalam ranah prosedural komplek. Pertanyaan yang muncul, ada apa dengan KPK? Ada apa dengan PN Tipikor? Ada apa dengan sistem pemberantasan korupsi?
Pada dasarnya, KPK hanya lembaga yang dibentuk negara karena faktor kebutuhan. Oleh karenanya KPK termasuk lembaga negara sampiran (state auxillary agencies). KPK sejatinya adalah lembaga adhoc dan berfungsi trigger (pemicu bagi Polri dan Kejaksaan untuk bekerja lebih optimal dalam menangani kasus korupsi). Jika kinerja Polri dan Kejaksaan sudah dianggap mampu menangani kasus korupsi, maka KPK dapat dibubarkan oleh pemerintah.
Sangat disayangkan KPK sebagai lembaga yang memiliki kewenangan lebih dalam memberantas korupsi bisa kalah dipersidangan. Memang, kalah atau menang dalam persidangan adalah hal yang wajar. Namun, untuk KPK seharusnya hal itu tidak perlu terjadi.
Kasus korupsi yang ditangani KPK adalah kasus “khusus dan istimewa”. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, suatu kasus untuk dapat ditangani KPK harus bersyarat; melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Sedemikian khusus dan istimewanya kasus yang ditangani KPK, mengharuskan KPK harus yakin bahwa seseorang yang diajukan oleh KPK menjadi terdakwa dipersidangan korupsi adalah orang yang bersalah melakukan tindak pidana korupsi, dan oleh majelis hakim “harus” dijatuhi pidana. Sebelumnya tentu KPK harus mempunyai bukti-bukti yang kuat dan mencukupi untuk menyatakan terdakwa bersalah.
Lolosnya Mochtar Muhhamad mengindikasikan ada proses yang salah. Entah apa yang salah, harus dicari tahu! Berangkat dari peristiwa ini keseriusan pemberantasan korupsi dipertanyakan. Ini sebuah tragedi!!! Apalagi bukan hanya kasus Mochtar yang lolos dalam peradilan tipikor untuk kasus yang ditangani KPK.
Sebagai sebuah proses prosedural, kita tidak bisa menilai pemberantasan korupsi secara terpotong-potong. Tidak hanya KPK, majelis hakim pun harus disorot. Perlu diketahui bahwa hakim bukan lah “malaikat suci”. Hakim juga seorang manusia biasa. Demikian juga hakim tipikor.
Menurut Prof.Dr.Satjipto Raharjo, SH, hakim dibedakan menjadi dua. Pertama,hakim yang apabila memeriksa, menanyakan hati nuraninya atau mendengarkan putusan hati nuraninya dan kemudian mencari pasal-pasal dalam peraturan untuk mendukung putusan tersebut. Kedua, adalah hakim yang apabila memutus, terlebih dahulu “berkonsultasi” dengan kepentingan perutnya dan kemudian mencari pasal-pasal untuk memberikan legitimasi terhadap “putusan perutnya”.
Salah satu hakim yang menangani kasus Mochtar, Ramlan Comel, pernah tersangkut kasus korupsi. Ramlan Comel terbukti bersalah dalam kasus korupsi dana overhead di PT Bumi Siak Pusako Riau dan divonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp 100 juta di Pengadilan Negeri Pekanbaru. Lalu dia mengajukan kasasi dan diputus bebasi. Ramlan juga menjadi hakim anggota yang memutus bebas Bupati Subang Eep Hidayat.
Sungguh aneh, seseorang yang pernah tersandung kasus korupsi justru menjadi hakim tipikor. Rasa-rasanya ada yang salah dalam perekrutan hakim. Mahkamah Agung selaku lembaga yang berhak “memilih” hakim harus segera instrospeksi mendalam. Sistem perekrutan hakim harus segera dievaluasi. Perekrutan yang ketat, transparan, akuntabilitas dan dapat dipertanggungjawabkan rasanya harus mampu diwujudkan oleh Mahkamah Agung. Apalagi untuk hakim tipikor. Dalam buku Sisi-sisi lain hukum diIndonesia, Prof.Tjip mensyaratkan calon hakim melalui seleksi ketat, “Tes-tes dan wawancara dilaksanakan mendalam dan sejarah hidup sang calon juga diperiksa dengan seksama, bukan hanya “keterangan berkelakuan baik” ”.
Berbagai fakta tersebut memaksa kita berkesimpulan awal bahwa dalam pemberantasan korupsi diIndonesia tidak berlangsu

ng secara sinkron antar lembaga penegak hukum, dan Indonesia masih lemah dalam sistem pemberantasan korupsi. Semua celah yang ada harus segera mendapat evaluasi dari pihak terkait, agar pemberantasan korupsi dapat berlangsung secara optimal. Para koruptor tidak boleh menjadikan Indonesia sebagai lahan subur untuk mereka berkarya. Sudah terlalu lama bangsa ini tersandera oleh para koruptor. Basmi koruptor, tegakkan hukum diIndonesia!!!

0 komentar:

Posting Komentar

 
;