Rabu, 19 Oktober 2011

Mewujudkan Intelijen Yang Reformis dan Profesional


Selasa 11 Oktober 2011, merupakan momentum besar bagi dunia intelijen Indonesia. RUU Intelijen yang sudah terkatung selama 9 tahun pun akhirnya disahkan oleh DPR. Pro-kontra masih mewarnai keputusan “berani” dari DPR. Tak hanya berbeda pendapat dikalangan elit, masyarakat akar rumput pun juga terjadi pro-kontra.
Berbicara tentang intelijen, kita tidak akan jauh dari Hak Asasi Manusia (HAM). Pasal 1 ayat 3 UUD 1945, ditulis jelas bahwa, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 membuat Indonesia harus menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan hukum. Supremasi hukum harus diletakkan dalam kasta tertinggi. Tak heran muncul adagium “fiat justicia et pereat mundus”, meskipun bumi hancur keadilan harus tetap ditegakkan.
Negara hukum merupakan terjemahan dari istilah rechtsstaat. Friedrich Julius Stahl, ahli hukum, memberikan ciri-ciri rechtsstaat sebagai berikut; hak asasi manusia, pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia yang biasa dikenal sebagai trias politika, pemerintahan berdasarkan peraturan-peraturan, peradilan administrasi dalam perselisihan. Dan Indonesia harus memenuhi kriteria tersebut untuk dapat disebut negara hukum.
Berkaitan dengan RUU Intelijen sudah disahkan DPR, banyak pihak menyatakan keberatan mengenai substansi materi RUU Intelijen. Banyak lubang yang masih bisa diperdebatkan mengenai RUU Intelijen. Beberapa persoalan menyangkut RUU Intelijen, RUU Intelijen tidak mengatur secara rinci tentang kategori rahasia intelijen yang menjadi bagian dari rahasia negara. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa rahasia intelijen berpotensi menjadi pengertian yang multi tafsir dan dikhawatirkan menjadi alat represif dari penguasa. Pasal ini langsung bersentuhan dengan kebebasan informasi dan kebebasan pers. Indonesia pernah mengalami masa kelam itu selama 32 tahun.
Ditambah lagi terdapat klausul yang menyatakan kepada setiap orang yang dengan sengaja membocorkan rahasia intelijen akan dihukum paling lama 10 tahun dan denda 500.000.000. Sedangkan kepada setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan bocornya rahasia intelijen akan dihukum 7 tahun dan denda Rp 300.000.000. Dengan batasan rahasia intelijen yang masih multi intrepetasi, dapat dipastikan bakal ada kesulitan pelaksanaan RUU Intelijen dilapangan nantinya. Bukankah tanggung jawab bocor atau tidaknya rahasia intelijen seharusnya dipegang oleh aparat intelijen sendiri? Toh, yang mengetahui batasan rahasia intelijen adalah aparat intelijen sendiri bukan setiap orang (bisa diartikan aparat intelijen dan non aparat intelijen).
Pasal 31 RUU Intelijen memuat istilah dan wewenang mengenai penggalian informasi. Definisi penggalian informasi ini pun masih bersifat multi tafsir. Penjelasan mengenai penggalian informasi dalam Pasal 31 bersifat karet dan dapat mengancam kebebasan dan demokrasi. Padahal pada bagian lain, pasal 6 ayat 2 memberikan kewenangan kepada intelijen untuk melakukan fungsi intelijen. Dapat dikatakan pula, pasal 31 RUU Intelijen adalah pasal yang mubazir.
Pasal 36 RUU Intelijen yang disahkan DPR mengatur bahwa proses pengangkatan Kepala BIN harus mendapatkan pertimbangan parlemen. Secara otomatis jabatan kepala BIN sebagai jabatan yang politis. Parlemen adalah lembaga politik Hal ini membuka ruang terjadinya politisasi pengangkatan kepala BIN oleh parlemen. Jangan sampai rahasia negara dipolitisasi. Hendaknya turut campur parlemen harus dihindari.
Pengawasan terhadap intelijen juga belum diatur secara maksimal (pasal 43). Seharusnya pengawasan harus dilakukan secara berlapis.dan rinci. Pengawasan harus dilakukan dengan ketat demi akuntabilitas intelijen. Hal tersebut dikarenakan intelijen adalah lembaga yang strategis.
Terlepas dari masih banyaknya lubang yang masih bisa ditinjau ulang dalam RUU Intelijen yang disahkan DPR, Indonesia tetap memerlukan intelijen yang kuat. Ancaman untuk bangsa ini sangatlah besar. Ancaman ideologi, terorisme, kejahatan internasional, kedaulatan negara, dsb, senantiasa mengancam Bangsa Indonesia. Melalui intelijen, diharapkan ancaman-ancaman tersebut dapat dideteksi secara dini. Sehingga antisipasi dan tindakan dapat dilakukan secara optimal demi menghindari “kerugian” yang lebih besar.
Secara nyata, ancaman terorisme sangat kuat diIndonesia. Bom bunuh diri di Gereja Bethel Injil Sepuluh (GBIS) Kepunton, Solo, Minggu (25/9/2011) pada saat jemaat sedang melakukan ibadah, mengindikasikan bahwa intelijen masih lemah. Terlepas intelijen sudah mencium bakal ada bom meledak, bargaining position mereka untuk koordinasi dengan pihak terkait masih lemah. Diharapkan melalui RUU Intelijen yang sudah disahkan oleh DPR dapat mengurangi hal-hal prosedural yang merugikan tersebut. Sehingga intelijen tidak dianggap kecolongan.
Terkait dengan ketidaksepahamannya beberapa kalangan terhadap materi RUU Intelijen yang sudah disahkan DPR menjadi undang-undang, dipersilakan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Bagaimanapun juga, dalam RUU Intelijen yang sudah disahkan DPR masih meninggalkan banyak celah untuk dibahas agar menjadi lebih baik. Tapi yang jelas, Indonesia tetap butuh intelijen. Intelijen yang reformis dan profesional adalah harapan kita bersama. Marilah kita kawal RUU Intelijen yang sudah disahkan DPR ini. Jangan takut dengan intelijen!!!

0 komentar:

Posting Komentar

 
;