Senin, 13 Februari 2012 0 komentar

Menumbuhkan Etika Berkendara (dimuat di Solopos edisi 14 Feb 2012, naskah belum diedit)

Kecelakaan di jalan raya kembali terjadi.  Setelah kecelakaan dahsyat di Tugu Tani Jakarta Pusat yang memakan 9 korban jiwa, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan kecelakaan lain yang tak kalah tragisnya. Jumat, 10 Februari 2012, di Jalan Raya Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat bus Karunia Bhakti mengalami kecelakaan beruntun yang menyebabkan nyawa 14 orang dan melukai 47 orang. Banyaknya kecelakaan yang terjadi harus memantik pemerintah dan stakeholder terkait agar melakukan evaluasi dan perbaikan.
Kompleksitas penyebab kecelakaan sangat tinggi. Sebagian diantaranya, jumlah kendaraan yang beredar dipasaran semakin meningkat. Akses masyarakat untuk mendapatkan kendaraan semakin dipermudah. Kredit kendaraan bermotor yang lunak semakin menambah parah kondisi lalu lintas di Indonesia. Apalagi sifat masyarakat Indonesia yang konsumtif semakin memperburuk situasi. Ibarat api disiram bensin semain menjadi. Sarana dan prasarana lalu lintas masih banyak mengalami kekurangan. Jalan yang kurang baik dan rambu yang kurang, banyak dengan mudah kita jumpai. Contoh diatas hanya sebagian kecil faktor penyebab kecelakaan.
Kecelakaan di jalan raya sepertinya sudah menjadi fenomena jamak terjadi di masyarakat. Korban pun akhirnya berjatuhan, tidak hanya harta-benda, nyawa pun turut menjadi korban. Padahal, peraturan mengenai lalu lintas selalu diperbarui dan berjumlah banyak. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan adalah peraturan tebaru mengatur lalu lintas, belum lagi peraturan turunannya. Sepertinya sudah terlalu banyak peraturan yang mengatur, akan tetapi tidak serta merta menurunkan angka kecelakaan di jalan raya
Pensyaratan bagi pengemudi kendaraan bermotor untuk  memiliki Surat Ijin Mengemudi dari kepolisian juga belum terbukti efektif menurunkan angka kecelakaan. Fakta dilapangan, kecelakaan terjadi bukan hanya karena cakap atau ketidakcakapan pengemudi dalam berkendara. Melainkan banyak faktor yang berpengaruh dalam kecelakaan, diantaranya pengemudi, kendaraan ,rambu, cuaca dsb.
Perlu diketahui, SIM hanya menekankah teori-teori dasar berkendara. Bagaimana cara mengemudikan kedaraan yang aman. Padahal, dalam berkendara di jalan raya, pengemudi tidak hanya dituntut membutuhkan skill mengemudi. Lebih penting lagi, pengemudi harus mempunyai etika berkendara. Kemahiran pengemudi dalam menjalankan etika berkendara inilah yang paling berperan dalam meminimalisir kecelakaan di jalan raya.
Etika berkendara
Etika berkendara berisi bagaimana cara pengemudi bersikap dijalan raya. Sehingga dalam berkendara, pengemudi dapat menjaga keselamatannya sendiri dan pengemudi lainnya. Sehingga pengemudi dapat mengemudi dengan baik, benar, aman dan nyaman. Kesadaran terhadap keselamatan dan kenyamanan bersama inilah tujuan dari etika berkendara. Namun etika berkendara sangat susah diterapkan sewaktu dijalan raya. Kemampuan untuk berbagi jalanan dijalan raya sepertinya masih sulit terjadi. Rasa egois dan tidak mau mengalah justru sering muncul dijalan raya.
Etika berkendara mempunyai nilai lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan yang mengatur lalu lintas. Walaupun pada dasarnya sebagian etika berkendara tertuang dalam peraturan perundang-undangan itu. Permasalahannya, apakah masyarakat mau menjalankan peraturan tersebut? Itu yang menjadi pertanyaan besarnya.
Situasi sosial masyarakat sangat erat hubungannya dengan etika berkendara. Pelanggaran terhadap peraturan dapat dengan mudah dijumpai. Kita dapat dengan mudah menemukan pengemudi berhenti melewati marka jalan sewaktu lampu merah, menerobos lampu merah, memakai jalur pejalan kak, dsb. Kemampuan masyarakat untuk mentaati peraturan dinilai masih lemah. Secara otomatis kesadaran terhadap etika berkendara juga masih lemah.
Kesadaran masyarakat untuk menjalankan etika berkendara yang kurang dan diperparah dengan kondisi manajemen transportasi yang buruk merupakan cermin buruknya transportasi di Indonesia. Kemacetan lalu lintas semakin memperparah kondisi fisik dan psikis pengendara. Berdasarkan penelitian kepolisian, pengemudi hanya dapat tetap fokus berkendara selama delapan jam per hari, dengan catatan harus istirahat per 4 jam. Faktanya, dikota-kota besar yang mengalami kemacetan parah, sangat dimungkinkan pengemudi mengendarai kendaraannya lebih dari delapan jam. Keadaan ini lah yang semakin memperbesar risiko kecelakaan.


doktrin
Etika berkendara pertama kali harus ditumbuhkan di keluarga. Lingkungan keluarga memungkinkan terjadi transfer of value/ transfer nilai. Melalui keluarga dapat dengan mudah menanamkan etika berkendara. Dengan kata lain, doktrin etika berkendara mudah diserap dan tertanam kuat. Hal tersebut dikarenakan, media bahasa dalam keluarga lebih ringan dan mudah dipahami. Sehingga doktrin etika berkendara dapat diterima dengan bagus.
Tahap selanjutnya, doktrin etika berkendara harus dikembangkan  melalui stakeholder terkait. Lembaga pendidikan adalah media yang paling mumpuni untuk menebarkan doktrin secara efektif. Dengan memberikan pelajaran mengenai bidang lalu lintas, para generasi muda diharapkan menguasai etika berkendara dengan baik. Sehingga mereka dapat menerapkan etika berkendara. Sekaligus sebagai agen penebar doktri etika berkendara dalam pergaulannya di masyarakat. Dengan konsep doktrin berkendara yang berantai diharapkan dapat menekan angka kecelakaan lalu lintas.
            Kecelakaan lalu lintas adalah permasalahan bersama. Semua pihak harus ikut berperan serta dalam menanggulangi kecelakaan jalan raya. Kita semua harus sepakat bahwa kecelakaan lalu lintas adalah tanggung jawab kita bersama. Masyarakat, stakeholder terkait dan pemerintah harus saling bekerja sama memecahkan dan mengurai permasalahan kecelakaan dijalan raya.
Etika berkendara yang baik harus selalu ditanamkan pada semua pengendara. Sarana dan prasarana lalu lintas harus terus diperbaiki lagi. Karena hanya dengan upaya itulah kecelakaan dapat diminimalisasi. Terlepas dari kecelakaan adalah takdir dari Tuhan, sebagai manusia kita bisa berusaha meminimalisasikannya. Untuk Kota Solo, Slogan yang sering didengar sewaktu berhenti dilampu merah harus senantiasa dijalankan. “Tertib berkendara adalah cerminan budaya wong Solo”. Slogan yang padat, singkat dan jelas akan tetapi bernilai mendalam. Semoga kecelakaan bus Karunia Bhakti dapat dijadikan pelajaran berharga dan kita dapat mengambil hikmahnya.

0 komentar

Berjuang Untuk Upah Minimum

Memasuki tahun 2012, Kota Surakarta semakin ramah dengan investasi. Hasil survei Doing Bussines Bank Dunia yang menyebutkan Solo sebagai peringakat ketiga kota paling mudah untuk memulai bisnis di Indonesia dianggap akan memberikan peluang baru untuk pengembangan investasi Kota Solo (Solopos,2/2). Kondisi ini tentunya harus disambut baik oleh semua lapisan masyarakat Surakarta. Dengan bertambahnya investasi, diharapkan akan berbanding lurus dengan bertambahnya lapangan pekerjaan. Sehingga peluang untuk mendapatkan penghasilan lebih dapat bertambah.
Jika membicarakan investasi, paling tidak ada tiga pihak yang terlibat terkait investasi, diantaranya pemberi kerja/pemilik investasi, buruh/pekerja dan pemerintah. Ketiga pihak tersebut  akan berperan sebagai pilar jalannya investasi. Tentunya masing-masing pihak akan mempunyai kepentingan yang berbeda satu sama lain.
Pemerintah berkepentingan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Melalui kebijakan yang dimiliki, pemerintah membuat suatu kebijakan berkaitan kesejahteraan rakyat. Pemberi kerja/pemilik investasi berkepentingan untuk memastikan jalannya usaha yang dilakukan, agar proses produksi yang dilakukan berjalan dengan lancar. Parameter yang dipakai oleh pemilik investasi/pemberi kerja tentunya laba/keuntungan. Di sisi lain, buruh/pekerja juga berkepentingan untuk mendapatkan upah dari hasil pekerjaannya. Upah dijadikan oleh buruh sebagai sarana untuk memperoleh kesejahteraan dalam hidupnya.
Regulasi Upah
Kesejahteraan buruh hanya dapat tercapai melalui pemberian upah buruh yang layak. Sebagaimana diatur dalam pasal 27 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hal ini berarti, telah ada jaminan dari negara kepada rakyat/para buruh untuk bisa hidup layak.
Menindaklanjuti amanat pasal 27 ayat (2) UUD 1945, pemerintah membentuk Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Didalam undang-undang ketenagakerjaan tersebut telah diatur mengenai upah minimum yang harus dibayarkan oleh pengusaha kepada para buruh/pekerja. Dengan kata lain, pengusaha dilarang membayar buruh/pekerja dengan upah dibawah upah minimum. Meskipun, dalam hal-hal tertentu pengusaha bisa mengajukan penangguhan pembayaran upah minimun dengan alasan-alasan tertentu.
Lemahnya pengawasan terhadap upah minimum menyebabkan banyak pelanggaran pengaturan upah minimum, termasuk di kota Surakarta. Salah satu bentuk pelanggaran adalah penggabungan sejumlah komponen upah dalam sati gaji pokok agar mencapai Upah Minimum Kota (UMK). Koordinator Serikat Buruh Sejahtera indonesia (SBSI) 1992, Suharno, mencatat pelanggaran pembayaran UMK banyak menimpa para penjaga toko swayalan, mal serta toko (Solopos,1/02).
lemahnya bargaining position buruh
Di tengah lalu-lintas investasi dalam suatu regional/kawasan. Buruh/pekerja menjadi ujung tombak dalam pemanfaatan investasi. Hal tersebut dikarenakan, tanpa peran serta buruh/pekerja, modal/investasi sebesar apa pun tidak bisa menghasilkan kemanfaatan.
Realita yang ada, buruh sering dijadikan titik lemah di tengah lalu lintas modal/investasi. Posisi tawar yang lemah antara buruh dengan pemodal menjadikan buruh sebagai bagian modal kerja, sejajar dengan dengan uang dan barang. Sehingga dapat dengan mudah diganti jika tidak sesuai jika kondisi memungkinkan.
Kondisi buruh semakin diperparah dengan minimnya jumlah lapangan pekerjaan yang ada. Akhirnya, mau tidak mau buruh/pekerja menerima tawaran dari pengusaha. Ditambah lagi, kesadaran buruh/pekerja untuk bergabung ke serikat pekerja masih kurang. Sehingga kekuatan serikat pekerja untuk melindungi hak-hak buruh juga berkurang dengan sendirinya.
perlu perbaikan
            Secara konsep, persoalan mengenai upah minimum buruh sangat sederhana. Upah minimum berasal dari perundingan antara buruh/pekerja, pengusaha serta pemerintah sebagai mediator. Kesederhanaan konsep mengenai upah minimum buruh berbanding terbalik dengan kenyataan dilapangan. Banyaknya penyimpangan upah minimum, menandakan pemberlakuan upah minimum belum ditaati oleh pemberi kerja. Berangkat dari analisis singkat tersebut, penulis mempunyai beberapa langkah untuk mengefektifkan pemberlakuan upah minimum:
1)      Melakukan koreksi terhadap peraturan perburuhan mengeni upah minimum yang telah out off date. Persoalan upah minimum menyangkut unsur ekonomi dan kemanusiaan. Secara otomatis upah minimum akan mengikuti kehidupan manusia yang bergerak dinamis. Sehingga diperlukan regulasi yang bisa mengatur adanya perubahan tersebut.
2)      Setelah ada peraturan perundang-undangan perburuhan yang baik, harus diikuti implementasi peraturan dengan baik pula. Sehingga apa yang dituangkan dalam peraturan dapat terlaksana dengan baik. Tanpa adanya  implementasi yang baik, peraturan perundangan sebaik apapun  tidak akan berguna.
3)      Harus dibangun hubungan industrial yang jujur. Pemerintah, pemberi kerja dan buruh/pekerja harus duduk bersama membicarakan solusi bagaiamana mempertemukan titik temu  antara kepentingan mereka. Sehingga masing-masing pihak terakomodir kepentingannya.
4)      Harus adanya kesadaran bagi pekerja/buruh untuk bergabung dengan serikat pekerja. Dengan bergabung ke serikat pekerja, diharapkan bargaining position kaum buruh dapat lebih kuat. Berbeda dengan pengusaha, posisi tawar mereka relatif kuat karena telah tergabung kedalam serikat/asosiasi pengusaha (Apindo). Wajar jika kemampuan tawar pengusaha lebih unggul dari para buruh/pekerja.
Tentunya langkah-langkah “biasa” diatas akan mampu menjaga efektifitas pemberlakuan upah minimum. Dengan catatan, ada komitmen kuat dari seluruh komponen bangsa. Pemegang investasi/pengusaha, buruh/pekerja, masyarakat umum harus berpartisipasi aktif dalam mengawal upah minimum. Dan yang tidak kalah penting adanya politic will dari pemerintah memastikan tidk ada pelanggaran  upah minimum. Penulis yakin bahwa dengan langkah “biasa” diatas dapat menghasilkan “luar biasa” jika diterapkan dengan baik, termasuk di Surakarta.

 
;