Jumat, 10 Desember 2010 0 komentar

Gladiator Baru Untuk KPK Yang Lama


Terpilihnya Busro Muqoddas menjadi ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Kamis (25/10) menyiratkan dimulainya babak baru pemberantasan korupsi di Indonesia. Semenjak ditinggalkan oleh Antasari Azhar karena kasus hukum yang menimpanya, KPK seakan sudah menjadi macan ompong.
Dengan pemimpin yang baru, KPK tentunya akan mempunyai gaya baru dalam menjalankan sepak terjangnya. Berdasarkan intepretasi atau penafsiran hukum secara  historis, KPK dibentuk karena pekerjaan penyelesaian kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh kepolisian dan kejaksaan kurang memuaskan hasilnya. Padahal kondisi korupsi diIndonesia sangat parah dan perlu penanganan mendesak. KPK mempunyai kekuatan khusus yang melekat padanya, kekuatan super visi dan super body, ketika lembaga lain dirasa tidak mampu menyelesaikan kasus korupsi dibekalkan kepadanya kekuatan tersebut dapat menjadi dasar legitimasi bagi KPK untuk mengambil alih kasus.
Dalam konteks yang lebih luas, kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan lambat laun meredup. Wajar jika masyarakat berperilaku demikian itu, mengingat kinerja lembaga tersebut agak miring dimata masyarakat. Dengan demikian, tergambar jelas masyarakat menaruh harapan besar kepada KPK untuk melakukan pemberantasan korupsi. Bisa dikatakan juga KPK sebagai benteng terakhir untuk memberantas korupsi. Dan sekarang tanggung jawab itu sekarang ada dipundak Busro Muqoddas sebagai pimpinan KPK sekarang.
Masyarakat Indonesia mengalami kekecewaan yang besar dalam penegakan hukum (law enforcement). Mereka ditusuk dari belakang oleh bangsanya sendiri. Egoistis dan sifat homo homini lupus telah memudarkan semangat Pancasila. Pedoman bernegara pun goyah, dan berakibat ketidakstabilan dalam bernegara yang berujung pada rusaknya Bangsa Indonesia dari dalam, tercermin dalam maraknya perilaku korupsi diIndonesia.
Korupsi adalah masalah bersama dalam  lingkup kebangsaan. Hampir dapat dikatakan  bahwa korupsi adalah budaya, sadar tidak sadar korupsi sudah ada dari jaman kerajaan dan kolonial. Sistem upeti untuk suatu maksud dan tujuan tertentu sudah mencerminkan budaya korupsi. Ditambah mentalitas bangsa Indonesia yang lemah, keadaan seperti itu semakin memupuk tumbuh suburnya korupsi diIndoesia.
Banyak kasus korupsi besar yang menjadi pekerjaan rumah untuk KPK agar diselesaikan, bahkan diisukan ada indikasi menyangkut pejabat tinggi negeri ini. Kasus nyata didepan mata, kasus Bank Century dan kasus Gayus. Secara nyata penanganan kasus tersebut seolah hanya sebuah permainan semata, mungkin karena back up yang besar dibelakangnya.
Dengan kepemimpinan Busro Muqoddas, hendaknya tidak tebang pilih dalam menangani perkara. Pada kasus Century, ada kalangan menganggap tidak terjadi apa-apa, padahal pada sidang paripurna DPR menyimpulkan terjadinya penyimpangan oleh otoritas moneter dan fiskal dalam pengucuran dana ke bank tersebut. Selain penyimpangan otoritas moneter dan fiskal, diindikasikan pula terjadi penyalahgunaan wewenang oleh mereka. Hal itu sudah dapat digolongkan kejahatan tipikor.
Meminjam istilah Belanda, Op da lange baan geschoven diartiakan urusannya sudah digusur kearah jalur lambat. Pengamatan sosiologis selama ini menunjukkan bahwa jalannya penegakan hukum di Indonesia sudah digiring masuk ke jalur lambat dan akhirnya bakal menguap. Dari jauh kelihatannya memang orang sibuk melakukan sesuatu, tetapi hasilnya tidak kunjung muncul. Sudah banyak pengalaman yang terjadi mencerminkan hal tersebut. Apalagi fokus masyarakat kita gampang digiring oleh kehendak kelompok tertentu melalui media informasi, misalnya berita televisi, koran, radio dsb.
Busro Muqoddas harus dapat menghadapi tantangan yang ada. Dengan menjunjung tingi asas equality before the law atau kedudukan setiap manusia sama didepan hukum, kasus-kasus yang ditangani harus tak pandang bulu. Sehingga rasa keadilan dalam masyarakat dapat terpenuhi. Dan budaya-budaya korupsi yang ada dalam masyarakat dapat terhapus. Bukankah tanpa korupsi kita akan menjadi bangsa yang bermartabat dan sejahtera?


Kamis, 02 Desember 2010 2 komentar

Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57 (WS.RENDRA)

Setiap ruang yang tertutup
akan retakkarena mengandung waktu yang selalu mengimbangi
Dan akhirnya akan meledak
bila tenaga waktu terus terhadang

Cintaku kepadamu Juwitaku
Ikhlas dan sebenarnya
Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa
Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada

Cintaku kepadamu Juwitaku
Kemudian meruang dan mewaktu
dalam hidupku yang sekedar insan


Ruang cinta aku berdayakan
tapi waktunya lepas dari jangkauan

Sekarang aku menyadari
usia cinta lebih panjang dari usia percintaan

Khazanah budaya percintaan…
pacaran, perpisahan, perkawinan
tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta

Dan kini syairku ini
Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu

Syair bermula dari kata,
dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu
lepas dari kamus, lepas dari sejarah,
lepas dari daya korupsi manusia

Demikianlah maka syairku ini
berani mewakili cintaku kepadamu

Juwitaku
belum pernah aku puas menciumi kamu
Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca
Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku

Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut,
gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi
Kamu sulit menghadapi diri sendiri

Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu
kamu takut kepada dunia

Juwitaku
Lepas dari kotak-kotak analisa
cintaku kepadamu ternyata ada

Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita
Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos
di dalam kalbuku

Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu
Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya
Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu :

Cintaku kepadamu telah mewaktu
Syair ini juga akan mewaktu
Yang jelas usianya akan lebih panjang
dari usiaku dan usiamu

Bojong Gede, 17 Juli 1992
Minggu, 28 November 2010 0 komentar

Kerinduan Terhadap Sisi Lain


Beberapa waktu terakhir ini saya kembali teringat perjalanan saya tentang jati diri. Ya, saya kembali teringat pada pendakian gunung. Sudah lebih dari dua tahun saya berada didalamnya. Proses yang pada awalnya hanya berawal dari inspirasi Soe Hok Gie dalam film Gie produksi Miles Productions, namun sekarang seolah sudah menjadi aliran dalam darah saya.
Jati diri menjadi adalah sesuatu yang berharga bagi saya. Mengutip buku 5 cm, “ada yang bilang kalo idealisme adalah kemewahan terakhir yang dimiliki generasi muda.. tapi, kita akan buktikan kalo itu salah !” Saya menganggap jati diri sama dengan idealisme. Sebuah gagasan fundamental yang dimiliki oleh manusia yang menginspirasi dalam segala tindakannya. Oleh karenanya jati diri adalah suatu hal yang penting karena berharga bagi saya.
Ketika banyak generasi jaman saya pergi menikmati kemudahan jaman, saya malah pergi menikmati sulitnya untuk berjung sekedar untuk hidup. Teman-teman saya pergi kemall degan segala fasilitas, saya malah pergi kegunung yang minim fasilitas. Teman-teman saya bermain didalam cahaya terang, saya berjalan menuju kegelapan. Disaat teman-teman saya berteduh menghindari air hujan, saya malah berjalan ditengah hujan. Ketika teman-teman saya merasakan kehangatan dibalik selimut berbenteng dinding kamar, saya meringkuk kedingingan ditengah badai. Mungin ada yang berubah dalam otak saya. Apa yang sebenarnya saya cari, mungkin terdengar gila namun saya menyukai hal-hal tersebut. Dan kalau ditanya mengapa saya melakukannya, saya pun tidak bisa menjawab. Alasan hanya karena suka pun bukan lah jawaban yang tepat.
Digunung, saya bertanggung jawab untuk semua secara penuh, untuk diri saya dan orang-orang disekitar saya serta orang-orang dibawah sana yang merindukan saya, keluarga maksudnya. Saya belajar tentang arti hidup. “Hidup adalah keberanian menghadapai tanda tanya, tanpa bisa menawar tanpa bisa memilih maka terimalah dan hadapilah” kata Soe Hok Gie. Kalimat itu yang menjadi inspirasi saya dalam hidup ini. Mungkin terdengar naif, namun itu pilihan saya.
Saya mendapatkan banyak hal dari semua itu. Selain keindahan kepada alam untuk mensyukuri dan melestarikan ciptaan Tuhan, saya mendapatkan sahabat, cerita, pengalaman ,dan bahkan ada kisah cinta saya berawal dari gunung (masa lalu). Saya yakin apa yang saya dapat dari gunung suatu saat menjadi cerita yang penuh kenangan dimasa depan. Saya membayangkan ketika sudah berumur saya menceritakan kepada keturunan saya bahwa saya pernah melakukan perjalanan gila. Dan mungkin mereka akan bilang, “sampeyan gendheng ya mbah”, kata itu sering saya gunakan kepada teman saya untuk meledek teman saya. Saat kehangatan dalam perjalanan itu pasti akan sangat saya rindukan.
Secara umum saya adalah orang yang suka kebebasan. Saya tidak suka kalau ada orang lain mencampuri urusan saya, atau malah seperti mensetir saya dengan segala alasannya. Saya tidak suka!!! Meski alasannya untuk kebaikan saya pun saya tidak suka, biarkan saya mencari apa yang baik untuk saya, karena ini hidup saya
Sedari kecil sampai SMA, tidak pernah terpikir oleh saya untuk bercinta dengan atap-atap dunia. Tidak pernah terpikir sedikitpun untuk melakukan perjalanan diluar kebiasaan itu. Berplesiran keluar kota, menginap dihotel mewah, menikmati beragam fasilitas kemewahan bukankah lebih enak daripada naik gunung? Namun selain juga saya tidak suka perilaku hedonis tersebut, saya juga tidak ada beayanya.
Terlepas dari itu semua, saat ini saya merindukan ransel segede menhir menempel mesra dipunggung. Bercengkerama menikmati malam dalam balutan tenda. Bercerita segala hal dengan sahabat saya. Menikmati pemandangan dari ketinggian. Bersahabat dengan dingin. Menyapa belaian dari angin yang berhembus. Berseloroh dalam tawa selama perjalanan. Saya merindukan hal itu, saya merindukan kalian kawan.

Surakarta, 28 Oktober 2010



Jumat, 26 November 2010 0 komentar
Yang mencintai udara jernih
Yang mencintai terbang burung-burung
Yang mencintai keleluasaan & kebebasan
Yang mencintai bumi

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka tergadah & berkata, kesanalah Soe Hook Gie & Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang

Sementara bunga-bunga negeri ini tersebar sekali lagi
Sementara saputangan menahan tangis
Sementara desember menabur gerimis

24 Desember 1969
Saneto Yuliman
0 komentar

MANDALAWANGI-PANGRANGO

Senja ini, ketika matahari turun ke dalam jurang - jurangmu
Aku datang kembali
Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

Walaupun setiap orang bicara tentang manfaat dan guna
Aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
Dan aku terima kau dalam keberadaanmu
Seperti kau terima daku

Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
Hutanmu adalah misteri segala
Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta

Malam itu ketika kebisuan menyelimuti Mandalawangi
Kau datang kembali
Dan bicara tentang kehampaan semua

Hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya
Tanpa kita bisa menawar
"Terimalah dan hadapilah"

Dan antara ransel ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima itu semua
Melampaui batas hutan hutanmu, melampaui batas batas jurangmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta keberanian hidup

-- Soe Hok Gie
Jakarta, 19 July 1966
Jumat, 12 November 2010 0 komentar

Antara Mentalitas, Sinergi, dan Kejayaan Masa Lalu

Pasca era reformasi, Bangsa Indonesia mengalami babak baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kejayaan dinasti orde lama yang telah bercokol selama 32 tahun dan dinilai penuh borok telah secara nyata berakhir berkat gerakan dari jalan yang dimotori oleh mahasiswa. Kehidupan bernegara mengalami transisi secara revolusioner. Keinginan membuat perubahan sangat besar, namun Bangsa Indonesia masih banyak mewarisi mentalitas orde baru yang bersifat negatif dalam setiap sisi kehidupan berbangsa dan bernegara. Mentalitas korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagai warisan dinasti terdahulu bahkan masih terasa kuat hingga 12 tahun setelah kehancuran dinasti tersebut.
 Semangat perubahan langsung menyentuh ranah kekuasaan negara. UUD 1945 mengalami beberapa kali amandemen. Hasil konkrit dari perubahan membagi kekuasaan negara menjadi MPR yang terdiri dari DPR dan DPD, DPR sebagai lembaga legislatif, Presiden sebagai lembaga eksekutif, Mahkamah Agung; Mahkamah Konstitusi; dan Komisi Yudisial sebagai lembaga Yudikatif ,dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
 Hasil pembagian tersebut menghasilkan lembaga turunan bentukan lembaga-lembaga tersebut untuk meyesuaikan kebutuhan dari kehidupan Bangsa Indonesia. Diharapkan melalui sistem pembagian kekuasaan, terjadi kesinergian antar lembaga yang ada guna mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera.
 Namun fakta berkata lain, banyak kebobrokan yang terjadi dalam lembaga pemegang tampuk kekuasan pemerintahan. Bobroknya lembaga lembaga eksekutif, yudikatif, eksekutif banyak menuai sorotan miring dan seolah sudah menjadi sarapan pagi Bangsa Indonesia. Contoh konkrit seperti dikebirinya institusi pemberantasan korupsi dengan cara dijatuhkannya piminan KPK dengan kasus-kasus yang mengganjal kinerjannya sebagai pimpinan KPK dan berakibat langsung maupun tidak langsung terhadap kekuatan institusi tersebut, mandulnya DPR dalam menelurkan undang-undang, dan yang paling hangat mengenai isu suap dalam tubuh Mahkamah Konstitusi yang diungkap oleh orang yang notabenya pernah menjadi orang dalam diinstitusi, tersebut serta masih banyak lagi borok-borok busuk yang terjadi diIndonesia.
 Beragam kebobrokan yang ada secara langsung menimbulkan kegoyahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesinergian yang diharapkan tejadi akibat adanya pembagian kekuasaan agak tersendat. Kenyataan yang terjadi, kehidupan berbangsa berjalan tidak kondusif dengan terjadinya kecurigaan, upaya menjatuhkan dan bahkan tebang pilih pengungkapan kasus yang secara otomatis menimbulkan tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat.
 Situasi dilapangan sangatlah kompleks untuk dirunut akar permasalahannya. Keadaan yang ada seolah dihadapkan kepada Indonesia secara frontal, mau atau tidak harus dihadapi. Namun jika ditelaah lebih mendalam yang menjadi awal mula kebobrokan ini adalah sisi mentalitas Bangsa Indonesia itu sendiri. Dibaratkan seperti bola salju, bola salju berukuran kecil pun bisa menjadi besar dan sulit dihentikan jika mengalami pembiaran. Analogi seperti itu kiranya cukup untuk meggambarkan kondisi Indonesia sekarang ini.
Kompleksitas permasalahan yang ada berawal dari hal kecil namun berdiri sebagai pondasi pertama yaitu mentalitas pelaku kehidupan berbangsa dan bernegara itu sendiri. Seandainya DPR berhasil memenuhi target pembuatan undang-undang tentunya legislasi diIndonesia berjalan lancar. Seandainya lingkungan peradilan bebas dari campur tangan pihak yang tidak berkepentingan, setidaknya keadilan dapat sedikit tercicipi meskipun keadilan tidak dapat diciptakan oleh manusia melainkan hanya Tuhan semata yang bisa melakukannya. Seandainya KKN tidak membudaya dalam masyarakat Indonesia maka kehidupan masyarakat indonesia dapat menjadi sehat.
Untuk saat ini, kebobrokan-kebobrokan yang ada dan dimungkinkan akan terjadi haruslah kita hentikan dan cegah sekarang juga. Sudah cukup Indonesia menangis, sudah saatnya senyuman Indonesia kembali mengembang. Indonesia dahulu pernah mengalami kejayaan pada jaman kerajaan dahulu khususnya Kerajaan Sriwijaya yang sangat sempat disegani sampai mancanegara. Oleh karenanya, kejayaan tersebut harus kembali ditegakkan, Indonesia bisa melakukannya.
Untuk mencapai keadaan tersebut, lembaga pemegang tampuk kekuasaan harus dapat menciptakan kondisi yang kondusif dalam kehidpan berbangsa dan bernegara sehingga terjadi kesinergian antar lembaga dan berakibat positif dalam pencapaian kesejahteraan Bangsa Indonesia itu sendiri. Akan tetapi, sebelum memasuki tahap tesebut, pondasi dalam berbangsa dan bernegara harus kuat terlebih dahulu. Mentalitas yang baik sebagai pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara harus dimiliki oleh Bangsa Indonesia, agar dalam berjalannya dapat menimbulkan kesinergian demi terwujudnya kesejahteraan bagi Indonesia. Tidak ada yang tidak mungkin didunia ini, jika Indonesia serius untuk berubah menjadi bangsa yang besar dan tercapai kesejahteraan rakyatnya, pasti ada jalan untuk itu, mengingat Indonesia dahulu pernah menjadi bangsa yang besar.


Kamis, 11 November 2010 2 komentar

Yang Terpinggirkan Dalam Penanggulangan Bencana

 Indonesia adalah negara yang memiliki keunikan yang luar biasa hebat. Secara geografis, Indonesia berada diwilayah katulistiwa dan wilayahnya terdiri dari puluhan ribu pulau-pulau, sehingga Indonesia sering disebut negara kepulauan. Selain hal itu, posisi Indonesia juga berada berada diatas cincin api Samudera Pasifik yang mempunyai 129 gunung berapi aktif yang secara tidak langsung berperan pada tingginya tingkat kesuburan tanah dan melimpahnya Sumber Daya Alam diIndonesia. Secara sosiologis masyarakat Indonesia pun mempunyai karakteristik yang khas. Dengan dipisahkan oleh lautan, masyarakat Indonesia berkembang dalam kebudayaannya masing-masing yang menimbulkan keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu sendiri.
Keunikan yang melekat pada Indonesia mempunyai risiko untuk terjadinya bencana yang relatif tinggi baik secara langsung atau pun tidak langsung. Berdasarkan UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana mengklasifikasikan bencana menjadi bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial.
Menurut UU No 27 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana diartikan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam diartikan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial diartikan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Dengan dibentuknya UU Penanggungan Bencana telah mengisyaratkan pemerintah telah tanggap terhadap bencana yang mengacam. Namun yang yang menjadi pertanyaan, seberapa seriuskah pemerintah mengatasi penanggulangan bencana tersebut?
Menilik fakta yang ada dilapangan, terlampau banyak kerugian yang jatuh akibat adanya bencana. Masih hangat dipikiran masyarakat Indonesia bencana sosial pada kasus konflik antaretnis yang dipicu oleh tewasnya ketua adat akibat melerai perkelahian anaknya di Tarakan,Kalimantan Timur pada 26-29 September 2010. Sementara banjir diWasior yang menghempas peradapan ditanah Papua, bagaikan petir disiang bolong bagi Indonesia. Meski pemerintah berdalih merupakan murni bencana alam, namun fakta dilapangan menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan dibeberapa lokasi hutan disekitar bencana yang mengalami kerusakan akibat adanya eksploitasi. Dari bencana alam, yang sedang dialami sekarang yaitu gempa dan tsunami dikepulauan Mentawai yang menyebabkan ratusan orang meninggal, hilang, dan mengungsi serta meletusnya Gunung Merapi yang menyebabkan puluhan meninggal dan ribuan orang mengungsi.
Didalam UU No 27 Tahun 2003 Tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Tapi yang menjadi ganjil, mengapa korban masih saja banyak yang berjatuhan?
Berdasar fakta dilapangan, perintah terkesan bingung serta lambat dalam menghadapi bencana. Bayangkan saja, orang yang berada dalam benua yang berbeda bertindak lebih cepat terhadap bencana diIndonesia daripada pemerintah Indonesia meskipun masih dalam taraf pemberian simpati. Kebingungan terjadi manakala pemerintah daerah kekurangan dana penanggulangan bencana dan harus meminjam dana kepada pihak ketiga. Aneh memang jika berpikir mengapa hal tersebut dapat terjadi padahal pemerintah sudah secara tegas menyiapkan persiapan menghadapi bencana yang diwujudkan dalam payung undang-undang.
Terjadi hal yang aneh setelah bencana terjadi, muncul wacana relokasi pemukiman di Mentawai untuk memobilisasi penduduk dari wilayah rawan tsunami (relokasi kewilayah kepulauan Mentawai yang menghadap kepulau Sumatera), muncul relokasi dusun Kinahrejo. Apakah harus menunggu korban baru menelurkan suatu wacana antisipasi meminimalisasikan korban? Pemikiran tersebut bukankah sudah muncul dalam mitigasi bencana?
 Hal tersebut mengundang ironi, dan menimbulkan kesan bahwa pemerintah hanya bertindak serius dalam teori namun dalam praktek ada hal yang sedikit terlupa, mitigasi bencana. Jadi sinkronisasi penanganan bencana berjalan timpang dan mengurangi tingkat minimalisasi jumlah korban yang diakibatkan oleh suatu bencana.
 Seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula, korban bencana semakin teriris lagi perasaannya setelah salah satu wakil rakyat berbicara kepada publik yang intinya mengatakan kalau tidak mau terkena bencana berarti jangan berada dalam wilayah rawan bencana. Terlepas hal apa yang melatarbelakangi ucapannya, tetap saja tidak pas untuk dikatakan untuk orang sekaliber wakil rakyat berucap seperti itu, mengingat Indonesia yang sedang berduka.
 Memperhatikan fakta-fakta yang ada, hendaknya pemerintah semakin membuka mata bahwa dalam menangani suatu bencana harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan dalam tiap-tiap tahapan penanggulangannya. Hal tersebut diperlukan guna meminimalisasi jumlah kerugian yang mungkin terjadi akibat timbulnya suatu bencana. Selain hal tersebut, para pemimpin juga harus menjaga perasaan para korban bencana. Dan janganlah melakukan tindakan yang dapat melukai perasaan mereka. Yang terpenting bagaimana korban bencana dapat tertanggulangi dan mengembalikan kehidupan mereka seperti sediakala. Tulisan ini bukan untuk mempersalahkan suatu pihak, namun untuk kebaikan dalam penanganan bencana dalam waktu kedepan mengingat wilayah Indonesia berada pada risiko terjadi bencana yang termasuk tinggi.
0 komentar

Menggugat terhadap perubahan

Membutuhkan Apa Yang Namanya “Perubahan”
Beberapa waktu terakhir ini, banyak ketimpangan yang terjadi didalam tubuh bangsa Indonesia. Muncul kompleksitas suatu permasalahan yang luar biasa dahsyatnya yang seakan-akan tidak ada ujung pangkalnya. Dari masalah penegakan hukum, perekonomian, stabilitas keamanan nasional, tantangan era globalisasi dsb. Yang mengherankan para aktor bangsa ini malah seakan-akan ingin berbicara tanpa adanya suatu kesamaan dalam arah perjuangan. Terkotak-kotaknya arah perjuangan tidak terlepas dari suatu latar belakang yang berbeda antara kaum pergerakan yang satu dengan yang lainnya. Bagi saya, tidak menjadi masalah jika para aktor perjuangan berasal dari latar belakang yang berbeda satu sama lainnya, namun dari perbedaan itu harus ada persamaan rasa dalam membawa bagaimana arah perjuangan ini akan dibawa. Kesan yang timbul malah menunjukan keinginan untuk menyelamatkan golongan kepentingannya dari arus percaturan perjuangan yang ada. Dan semua tersebut bakal kembali kembali pada kepentingan kelompoknya.
Yang membuat saya menjadi semakin miris, manakala kalangan kaum terpelajar melakukan aksi yang sangat melenceng dari apa yang seharusnya menjadi kewajibannya. Jargon yang selama ini terdengung “Mahasiswa sebagai agent of change” seakan mulai terkikis seiring dengan berubahnya pola kehidupan mahasiswa itu sediri. Suatu kondisi yang sangat parah telah terjadi didalam kehidupan kampus. Para mahasiswa banyak yang terbuai dengan keadannya sendiri, terbuai dengan kepentingan kelompoknya pula, dan cederung mencari amannya sendiri tanpa mecoba memikirkan apa yang seharusnya mereka perbuat demi bangsa dan negaranya sendiri. Patriotisme telah menjadi sampah, nasionalisme telah membusuk terkubur dalam-dalam. Jika keadaan seperti terus berlanjut, maka tidak dapat dipungkiri bangsa Indonesia lama kelamaan akan hancur oleh rong-rongan internnya sendiri. Semua itu harus segera diakhiri. Semua elemen harus segera menyamakan langkah dalam mengatasi masalah pokok yang dihadapi bangsa ini dan malah buakannya berlarut-larut terhadapa kepentingan. Mengingat bangsa Idonesia sekarang sudah tertinggal dari negara lain dalam banyak hal. Lalu apakah kita akan mengulur waktu lagi dengan percuma??
0 komentar

Jangan Lukai Nurani Kemanusiaan!!!

Cerita 2010 bakal tertulis dalam dalam buku perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Antara Wasior, Mentawai dan Merapi, antara air dan api, keduanya memaksa ribuan tetes air mata tertumpah pilu ditanah pertiwi ini. Bencana alam yang memaksa harta dan bahkan nyawa melayang pergi dari tanah Indonesia.
 Tidak perlu suatu komando terstruktur, manusia Indonesia lainnya bergerak untuk setidaknya membantu korban bencana tersebut. Birokrasi menjadi urutan kesekian. Semua unsur bergerak dalam bendera relawan, meskipun “baju” mereka bisa beraneka ragam. Tapi tidak menjadi soal tentang “baju” yang mereka kenakan, yang terpenting bagaimana meminimalisir korban, baik korban harta, benda maupun nyawa dalam rangka mengurangi beban penderitaan mereka.
Lepas dari konsep imbal balik atau pamrih, didalam batin saya berpikir, “Sungguh hebat bangsaku ini, masih mempunyai kepedulian terhadap sesamanya yang sedang mengalami musibah”. Seketika itu pula saya berteriak bangga, ”Inilah bangsaku yang sering diremehkan orang. Bangsaku masih memiliki rasa humanisme yang tinggi”
Ternyata masih ada manusia yang “masih” mempunyai rasa kemanusiaan diabad 21 ini. Latar belakang mereka pun bermacam-macam, berbeda generasi, instansi, suku, agama adalah hal yang biasa dalam cerita tentang kemanusiaan. Satu hal yang menyatukan mereka hanya dalam tataran nurani kemanusiaan. Namun, didalam kesamaannya pun masih dibedakan lagi. Pembedaan ini menghasilkan hasil yang sangat memprihatinkan.
Adapun unsur pembeda hanya ada satu, keikhlasan. Berbicara tentang ikhlas menurut pemahaman subyektif saya adalah konsep memberi tanpa mengharapkan imbal balik dalam bentuk apapun. Baik berwujud materi atau pun berwujud non materi dan bahkan menunjukkan kepada dunia baik secara eksplisit maupun implisit bahwa seorang manusia tersebut telah melakukan sesuatu terhadap sesamanya. Adapun konsep ikhlas yang saya utarakan tidak ada tendensi kepentingan apapun terhadap sesuatu bahkan terhadap agama sekalipun. Konsep ini timbul dari peikiran saya sebagai manusia biasa.
Belakangan ini ada hal yang mengusik pikiran saya, ketika seorang manusia menyebutkan dirinya sebagai relawan karena telah berperan dalam sebuah sistem kemanusiaan setelah terjadinya bencana. Banyak manusia mengekspose dirinya sendiri bahwa dia telah berbuat. Seolah mereka telah berjasa besar, namun apakah mereka tidak menyadari bahwa mungkin ada orang lain yang telah bergerak lebih cepat dan lebih besar dari mereka, bedanya mereka hanya diam.
Beragam media seiring pertumbuhan teknologi memudahkan mereka melakukan publisitas untuk menafsihkan dirinya sebagai relawan untuk dengan mudah diketahui orang lain, baik dilakukan ddengan sadar atau pun tidak sadar. Bukankah kalau niatnya ikhlas tidaklah diperlukan suatu publisitas? Diceritakan kepada orang lain atau pun tidak toh nantinya cepat atau lambat orang lain juga akan tahu dengan sendirinya. Bukankah seperti itu?
Mungkin mereka tidak sepenuhnya salah. Namun dengan memberi tahu kepada orang lain tentang apa yang dilakukannya bukankah hal tersebut tidak etis untuk dilakukan. Apakah mereka tidak malu, lebih-lebih bagi mereka yang mempunyai dasar rasa kemanusiaan, rasa berbagi, rasa senasib dan sepenanggungan.
Tindakan kemanusiaan bukan untuk dikonsumsi oleh publik, cukup diri sendiri dan Tuhan saja yang mengetahui. Hal tersebut untuk menjaga tidak tercederainya rasa kemanusiaan oleh pelaku yang mengagungkan rasa kemanusiaan itu sendiri. Sehingga tidak terjadi ironi yang menyedihkan dalam kemanusiaan.
Tulisan ini hanyalah pendapat saya pribadi, tidak ada maksud yang tidak baik seiring dituliskannya tulisan ini. Sekedar sharing saja. Didedikasikan untuk rasa kemanusiaan yang luhur.
 
;