Rabu, 25 Januari 2012 0 komentar

Panasnya Kursi Senayan

Lagi-lagi senayan kembali membara. Permainan politisi “terhormat” kali ini berjudul renovasi ruang Badan Anggaran atau Banggar DPR. Tidak tanggung-tanggung, proyek tersebut mengeruk anggaran dana sebesar Rp 20,3 miliar. Untuk sekedar renovasi, biaya Rp 20,3 miliar dianggap banyak pihak sebagai pemborosan. Agaknya kurang etis, ketika masih banyak rakyat kecil yang masih hidup menderita, masih adanya gedung sekolah yang sudah tidak layak pakai, justru para wakil rakyat menghamburkan uang rakyat. Pemborosan oleh DPR dianggap melukai hati rakyat.
Secara konsep, DPR adalah lembaga untuk mewakili kepentingan rakyat. Dikarenakan wilayah Indonesia yang sangat luas, maka diperlukan suatu lembaga yang  dapat menampung semua aspirasi. DPR adalah solusi terbaik mengatasi permasalahan tersebut. Melalui mekanisme pemilu, lembaga DPR diisi oleh orang-orang terpilih. Hanya peraih suara terbanyak dengan kualifikasi tertentu yang bisa duduk di kursi “mahal” DPR.
Berdasarkan UUD 1945, DPR mempunyai 3 (tiga) fungsi pokok: fungsi membuat perundang-undangan (legislasi), fungsi anggaran (budgeting), fungsi pengawasan (controlling). Tupoksi yang ada seharusnya dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Akan tetapi dalam perjalanannya, tupoksi tersebut tidak selalu berjalan mulus. Selalu ada “kerikil” dalam pelaksanaannya. Entah ada hambatan yang bersifat politis atau yang lain. Kebanyakan, hambatan yang ada tidak jauh dari kekuasaan.
Contoh kecil, banyaknya kasus hukum yang menyandera DPR rezim ini. Kasus Bank Century adalah salah satu kasus yang sangat menyita waktu, energi, dan pikiran DPR. Banyak persoalan lain yang terbengkalai akibat pembahasan kasus Century yang tidak jelas jluntrungannya. Sebagai wakil rakyat yang dipilih oleh rakyat, semua hal perbuatan anggota DPR harus bisa dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Termasuk persoalan renovasi ruang Bangar.
Jika kita jeli, permasalahan “ulah” DPR sebenarnya sesuatu yang wajar. Disetiap rezim penguasa di Indonesia, DPR pasti mendapat sorotan. Apa pun jenis persoalannya, bahannya masih tetap sama, aktornya tetap sama. DPR sebagai aktor permainan, kekuasaan dan uang menjadi komoditas permainan. Ditambah lagi bumbu reaksi keras masyarakat dan media yang semakin menambah cita rasa intrik kompleksitas permasalahan.
Revolusi DPR
            Berangkat dari kasus renovasi ruang Bangar, dapat dipakai sebagai momentum perubahan DPR secara mendasar. Persoalan DPR rasanya sudah mengakar. Jadi penyelesaiannya harus menyentuh akar persoalan. Paling tidak, kelembagaan DPR dan personal anggota DPR harus diurai dengan kritis.
Bobroknya moralitas kelembagaan dan personal DPR saat ini, hendaknya menjadi refleksi bagi rakyat Indonesia. Bagaimanapun juga, anggota DPR terpilih saat ini adalah hasil pilihan kita di pemilu kemarin (2009). Kebobrokan DPR saat ini berawal dari 5 (lima) menit di bilik suara di tahun 2009. Jadi, pemilih pun juga harus ikut bertanggung jawab atas kebobrokan DPR saat ini dan terlukainya hati nurani rakyat Indonesia akibat ulah DPR.
Berangkat dari analisis singkat tersebut menurut penulis mempunyai beberapa langkah untuk mengatasi kebobrokan DPR:
Pertama, perlunya pendidikan politik yang baik bagi rakyat Indonesia. Saat ini, Indonesia berada dalam era demokrasi. Sebuah era yang berisi kebebasan dalam segala hal, termasuk menjadi seorang anggota DPR. Adapun mekanisme untuk menjadi anggota DPR melalui pemilu. Pada tahapan pemilu ini lah titik rawan rakyat Indonesia. Banyak permainan-permainan nakal dari para calon legislatif, semisal serangan fajar, untuk meraih dukungan suara dari para pemilih. Kenyataan dilapangan, masih banyak rakyat Indonesia yang menggadaikan 5 tahun masa depan negaranya dengan sejumlah uang.  Sungguh ironis bukan?
Idealnya, jika sebuah negara berani masuk kedalam era demokrasi, harus disertai kesiapan mental dari rakyatnya. Rakyat dalam bingkai era demokrasi diibaratkan sebagai tanah. Demokrasi adalah pohonnya. Jika tanah sudah baik, maka pohon yang tumbuh pun dapat tumbuh dengan baik, meskipun angin kencangan menerpanya, pohon tersebut masih tetap kokoh. Mungkin Indonesia terlalu prematur masuk ke alam demokrasi.  Mungkin masih perlu waktu untuk benar-benar menjadi penganut demokrasi.
Kedua, harus ada kesadaran moral untuk mengabdi bagi rakyat dari para calon anggota DPR. Sebagai calon wakil rakyat, hendaknya terlebih dahulu menimbang kemampuan, kecakapan serta loyalitas dalam berjuang untuk rakyat. Proses ini penting, manakala anggota DPR sebagai penerima mandat rakyat harus berkomitmen tinggi terhadap amanah yang diberikan kepadanya.
Ketiga, ongkos pemilu harus murah. Unsur ini menjadi penting, ketika nominal uang mulai berbicara dalam pemilu. Uang sangat mungkin untuk membeli suara dalam pemilu. Jika itu terjadi, hasil pemilu pun tak ubahnya sebuah strategi matematis. Bahwa semuanya sudah diatur dengan uang.
Dengan pemilu yang murah, diharapkan dapat menekan calon anggota DPR untuk tidak melakukan tindakan korupsi seandainya dia menjabat kelak. Secara otomatis kecenderungan anggota DPR untuk berbuat “nakal “ dapat dikurangi. Potensi kerugian keuangan negara pun dapat dihindari.
Penulis sangat yakin, langkah-langkah nyentrik diatas akan mampu memperbaiki DPR secara efektif. Dengan catatan, terdapat komitmen kuat dari seluruh komponen bangsa untuk terus memperbaiki DPR dan harus ada politic will dari pemerintah untuk memperbaiki DPR.
Pemilu berikutnya akan dilangsungkan pada tahun 2014. Masih ada waktu sekitar 2 (dua) tahun untuk mempersiapkan pemilu. Calon wakil rakyat, para pemilih, serta pemerintah harus menyiapkan diri dengan baik agar out put pemilu nanti dapat lebih baik lagi. Pengalaman pemilu sebelumnya, hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi rakyat agar tidak salah pilih menentukan wakilnya di pemilu yang akan datang. Nasib 5 (lima) tahun Indonesia bakal kembali dipertaruhkan.



Senin, 09 Januari 2012 0 komentar

Memanusiakan Cara Berhukum Dengan Teks



Salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (Lex dura sed tamen scripta-hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, maka sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan lain-lain (Satjipto Rahardjo.2010:9)
Kutipan dari Prof.Tjip tersebut sangat pantas dipakai untuk menelaah kasus pencurian sendal jepit di Palu oleh AAL yang sedang hangat dibicarakan. AAL yang berusia 15 tahun, siswa SMK kelas I, didakwa atas tuduhan mencuri sandal jepit butut milik Brigadir Polisi Satu (Briptu) Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah. Jaksa memakai Pasal 362 KUHP, dengan ancaman hukuman sekitar lima tahun. Dalam putusan hakim, AAL dinyatakan bersalah karena mengambil barang milik orang lain namun tidak dijatuhi hukuman penjara, melainkan dikembalikan kepada orang tuanya. Vonis bersalah ini lah yang mengundang reaksi dari masyarakat luas.
Kasus pencurian oleh AAL masuk kedalam kategori hukum pidana. Sehingga mekanisme peradilannya memakai hukum acara pidana. Dalam menilai kasus AAL, kita tidak bisa langsung merujuk pada hasil akhir/putusan yang dibuat oleh hakim. Melainkan harus ada penilaian terhadap proses peradilan dari hulu sampai hilir. Kita tidak bisa melakukan penilaian secara sepotong, karena akan menghasilkan kesimpulan sepotong juga, bukan kesimpulan keseluruhan. Paling tidak ada 3 (tiga) aktor besar berkaitan dengan kasus AAL, kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung melalui hakim di pengadilan. Sebagai suatu proses peradilan, para aktor tersebut saling berkaitan ,berinteraksi dan bekerja sama satu dengan yang lain dalam menyelesaikan perkara.
mekanisme yang panjang
Kepolisian adalah awal mula proses peradilan pidana. Kepolisian bertugas melakukan tindakan polisional dengan mencari bukti permulaan yang cukup, mengumpulkan bukti, melakukan penyelidikan, penyidikan, melengkapi berkas hingga P21. Setelah berkas dinyatakan lengkap, maka tahapan selanjutnya melimpahkan berkas P21 ke jaksa penuntut umum. Oleh JPU, berkas yang didapat dari kepolisian diolah untuk dijadikan dakwaan bagi terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Setelah proses dakwaan maka hakim lah yang menjadi pemegang keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Hakim tidak dapat menolak perkara. Hakim terikat asas Ius curia novit bahwa hakim dianggap tahu hukumnya. Sehingga tidak ada sebuah alasan pun yang dapat dijadikan hakim untuk menolak suatu perkara. Proses yang rumit dan panjang dalam proses peradilan, menyebabkan masing-masing tahapan saling berpengaruh satu sama lain.
Mekanisme peradilan yang panjang, secara otomatis memakan biaya yang besar. Ironisnya, dengan biaya yang besar pun tidak serta merta menjamin terciptanya tujuan hukum yang hakiki. Perlu dketahui, tujuan hukum ada 3 (tiga) diantaranya keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum. Tujuan hukum yang hakiki adalah keadilan. Rasa keadilan inilah yang sering tidak dapat dicapai oleh hukum diIndonesia, termasuk dalam kasus AAL.
keadilan prosedural dan substansial
Panjangnya mekanisme peradilan akan menghasilkan keadilan yang jamak,  keadilan substansial dan keadilan prosedural. Keadilan prosedural berisi bahwa segala sesuatu telah sesuai dengan teks (undang-undang). Tidak peduli hasil akhir yang didapat seperti apa, yang jelas proses instrumen telah sesuai dengan teks (undang-undang). Cara berhukum dengan teks seperti ini menjadikan hukum sebagai mesin otomatis dan manusia sebagai “operatornya”. Seolah sisi manusia dalam keadilan prosedural telah tergadai dengan mekanisme. Nurani sebagai manusia sudah bertransformasi menjauh dari rasa humanis.
Keadilan substansial adalah keadilan yang sebenar-benarnya. Pada level ini, produk hukum yang dihasilkan sudah dapat diterima oleh semua pihak sebagai sebuah solusi untuk permasalahan yang ada. Permasalahannya, kadang kala keadilan substansial tidak mendapat dukungan oleh teks hukum itu sendiri. Sehingga dengan menerapkan keadilan substansial bisa menerabas kepastian hukum. Hal tersebut dkarenakan adanya keterbatasan kemampuan rumusan perundang-undangan tertulis untuk mendukung terciptanya keadilan substansial.
Terlepas dari polemik tentang keadilan prosedural dan substansial. Meminjam istilah Proft.Tjip, apapun yang dilakuan dalam hukum, tak boleh sekali-kali mengabaikan aspek manusia sebagai bagian yang sentral dari hukum itu, hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Tanpa hukum, manusia tetap bisa berjalan, akan tetapi tanpa manusia hukum tidak akan bisa berjalan. Jadi hukum yang ada harus bisa memanusiakan manusia. Sehingga hasil dari hukum adalah suatu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang dapat diterima oleh manusia.
Perlu ditegaskan lagi, doktrin hukum di Indonesia berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Tetapi ia tidak berhenti sampai disitu. Diatas perundang-undangan, lebih penting lagi adalah perilaku manusia yang memiliki komitmen terhadap kesusahan orang banyak, terutama rakyat kecil. Dalam hubungan ini diamini benar, bahwa hukum itu bukan sekedar pasal-pasal seperti buku telepon, tetapi adalah perjuangan, semangat dan komitmen (Satjipto Rahardjo.2006:19)..
Berangkat dari kasus AAL kita dapat menilai bahwa cara berhukum dengan teks tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada. Dikarenakan tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan. Alih-alih menyelesaikan permasalahan, justru menambah permasalahan baru. Sudah saatnya keadilan diIndonesia berani masuk kedalam keadilan subsansial. Unsur “manusia” harus senantiasa diterapkan dalam berhukum. Nurani sebagai seorang manusia harus dipakai dalam berhukum. Jika hal ini diterapkan secara benar, dapat dipastikan tidak akan ada AAL yang lain. 
Kamis, 05 Januari 2012 0 komentar

Menuntut Implementasi Pancasila Secara Efektif


Rabu, 1 Juni 2011, Pancasila genap berusia 66 tahun. Sejak dibacakan oleh Bung Karno tahun 1945, Pancasila mengalami berbagai macam tantangan dalam fluktuasi kehidupan berbangsa dan negara. Tantangan paling ekstrim adalah usaha menyingkirkan pancasila dan mengganti dengan ideologi lain. Namun, sampai saat ini, Pancasila masih tetap kokoh berdiri sebagai idiologi Bangsa Indonesia.
Pancasila adalah fondasi/dasar Indonesia, sekaligus norma dasar dalam bernegara. Oleh karenanya, Pancasila tidak boleh dan dapat diubah oleh pihak manapun dengan alasan apapun. Akan tetapi, Pancasila belum bisa diilhami oleh bangsa Indonesia sebagai ideologi yang luhur. Mengutip pidato mantan Presiden RI B.J Habibie, “secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini”. Terbukti banyak terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila.
Indonesia merupakan bangsa yang plural. Ada banyak perbedaan didalam Bangsa Indonesia. Mulai dari beda suka, bangsa, bahasa, budaya, agama, wilayah,dsb. Oleh founding fathers, dirasa perlu ada komitmen dalam idiologi agar perbedaan yang ada bukanlah penghalang untuk bersatu. Pancasila yang terdiri lima sila: sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ketiga Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dianggap paling representatif berdiri mengatasi keberagaman yang ada.
Namun saat mulai Pancasila kehilangan tajinya. Bagaimana tidak,  nilai-nilai mistis yang  terkandung dalam Pancasila cenderung disimpangi oleh segelintir rakyat Indonesia itu sendiri. Sila kesatu, Ketuhanan Yang Maha Esa, seolah tidak lagi membekas dikehidupan bernegara. Kekerasan antar umat beragama, golongan mayoritas-minoritas, perbedaan paham keagamaan, telah menjadikan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mudah marah. Seakan sudah menjadi “paling”, dengan semena-mena melakukan “penghakiman mandiri” terhadap kelompok lain. Dimanakah nilai-nilai Pancasila yang menghargai pluralisme kebebasan beragama?
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, pun tak lepas dari kritikan. Vonis lemah para koruptor harus segera dijawab sistem hukum di Indonesia. Harus ada gerakan revolusioner dalam menegakkan kasus hukum.  Kasus hukum nenek Minah yang dituduh mencuri kakao seolah menjadi pukulan besar terhadap hukum, dimana nurani hukum? Formulasi hukum yang tepat harus segera dibuat. Kombinasi hukum aliran sosiologis dari yuridis harus direalisasikan. Sehingga tujuan hukum keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dapat tercapai. Masih banyak PR bagi hukum di Indonesia.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, pun juga mendapat sorotan. Kekerasan antar kelompok menunjukkan masih lemahnya Bangsa Indonesia menghadapi perbedaan jati diri pribadi anggota antar kelompok tersebut. Konflik-konflik yang ada justru memperparah nilai persatuan dalam mewujudkan perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dinilai belum bisa memberikan makna dalam kehidupan sehari-hari. Banyaknya para wakil rakyat yang terjerat korupsi, baik anggota DPR, bupati/walikota, menunjukkan kepemimpinan yang ada di Indonesia belum sepenuhnya dijiwai oleh semangat Pancasila.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, juga harus berjuang menjawab tantangan ketimpangan sosial di Indonesia. Sebut saja ketimpangan ekonomi. Masih banyak pengangguran di Indonesia, disatu sisi ada warga negara yang begelimpangan kekayaan. Masih ada rakyat indonesia masih makan nasi aking. Menyedihkan bukan?
Belakangan ini isu idiologi mulai menghangat. NII KW9, penipuan berkedok agama menebar ancaman dimana-mana. Tak hanya kalangan biasa korbannya, mahasiswa pun ada yang terkena jaringan ini. Lemahnya  pemahaman idiologi dituding sebagai penyebab mudahnya menggaet para korban. Kasus teror bom juga banyak terjadi akhir-akhir ini. Jenis bom juga berinovasi, dan bahkan ada bom bunuh diri. Usaha mendirikan negara Islam oleh golongan garis keras diduga berada disebaliknya.
Sudah saatnya kita sebagai bagian Bangsa Indonesia, kembali memaknai dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tidak peduli siapa kita, profesi apa, suku apa pun. Keteladanan dalam menghayati dan melaksanakan Pancasila juga tidak kalah penting dilakukan. Aparatur negara harus bekerja sesuai dengan Pancasila. Tidak ada motivasi bekerja untuk kepentingan kelompok atau bahkan kepentingan pribadi. Yang jelas perbedaan yang ada tidak serta merta menghalangi Bangsa Indonesia untuk bersatu, hidup berdampingan dalam bingkai perbedaan. Jayalah Pancasila, jayalah Indonesiaku.


0 komentar

Mengurai Permasalahan Bima Berdarah


Desember 2011, dipenghujung tahun ini Indonesia kembali terhenyak oleh peristiwa unjuk rasa berdarah. Sebut saja unjuk rasa yang terjadi di Pelabuhan Sape, Bima, Nusa Tenggara Barat. Ironisnya pada bentrok kali ini menyebabkan jatuh korban. Mirisnya lagi, konflik terjadi antara aparat keamanan versus masyarakat sipil.
Dalam kasus Bima, aparat kepolisian menggunakan protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis terhadap pendemo. Polisi pun telah memakai senjata api. Dengan penggunaan senjata api dengan peluru (entah peluru timah atau pun peluru karet) dalam mengatur massa, maka dapat dikatakan keadaan saat itu sudah masuk tindakan anarki dan sudah termasuk kategori gangguan nyata (GN). Sehingga dimungkinkan untuk diambil tindakan berupa penggunaan senjata tumpul dan dapat ditindak lanjuti penggunaan senjata api sesuai standar polri. Mungkin, tindakan polri tersebut dikarenakan pendemo dinilai mengganggu kepentingan masyarakat luas. Terlebih lagi unjuk rasa dilakukan menjelang hari raya Natal serta menduduki pelabuhan.
protap Nomor 1/X/2010
Mengacu protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis terhadap pendemo, pengertian anarki adalah tindakan yang dilakukan dengan sengaja atau terang-terangan oleh seseorang atau kelompok orang yang bertentangan dengan norma hukum yang menyebabkan kekacauan, membahayakan keamanan umum mengancam keselamatan jiwa dan/atau barang, kerusakan fasilitas umum atau hak milik orang lain. Sedangkan ganguan nyata adalah ganguan keamanan berupa kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan menimbulkan kerugian bagi masyarakat berupa jiwa raga maupun harta benda.
Berdasarkan protap, penggunaan senjata api (entah peluru timah atau pun karet) maupun tumpul hanya bisa dilakukan polisi jika ada perlawanan secara fisik kepada petugas. Pertanyaannya, apakah unjuk rasa di Bima telah terjadi perlawanan secara fisik oleh pengunjuk rasa kepada aparat kepolisian? Toh jika ada perlawanan secara fisik kepada petugas harus dicari pula apa penyebab terjadi perlawanan tersebut, siapa yang memancing perlawanan tersebut. Semua rangkaian peristiwa dan pihak yang terlibat harus diurai secara detail sehingga dapat diketahui ujung pangkal dari peristiwa demo berdarah ini.
Mengutip protap Nomor 1/X/2010 tentang Penanggulangan Tindakan Anarkis terhadap pendemo, sekalipun ada perlawanan secara fisik urutan penindakannya dimulai dari 1.kendali tangan kosong, 2.kndali tangan kosong keras, 3.kendali senjata tumpul, senjata kimia antara lain gas air mata, atau alat lain sesuai standar Polri, 4.kendali dengan menggunakan senjata api atau alat lain untuk menghentikan tindakan yang dapat menyebabkan luka atau kematian anggota Polri atau anggota masyarakat. Apakah penembakan yang dilakukan oleh polri kearah kerumunan adalah tindakan yang tepat dan sesuai prosedur? Pertanyaan tersebut harus dijelaskan oleh kepolisian secara kritis.
Fakta yang ada dilapangan ada korban yang meninggal karena luka tembakan. Meskipun oleh polri mengklaim bahwa lokasi mayat berada diluar pelabuhan, namun siapa pelaku yang membunuh dengan menembak si mayat tersebu? Apakah karena unjuk rasa dipelabuhan atau tindak pidana pembubuhan biasa? Polri harus segera menyelesaikan kasus pembunuhan tersebut. Mengingat kewibawaan polri dipertaruhkan.
tentang polri
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 4, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Begitu mulianya tupoksi polri secara noratif ini, jangan sampai rusak karena setitik nila di Bima. Alih-alih kewibawaan yang dicari justru arogansi polri yang bakal muncul jika tidak mampu menyelesaikan persoalan Bima dengan tuntas.
Terlepas dari peristiwa teknis dilapangan yang menimbulkan korban jiwa., ada suatu akar masalah yang sebenarnya terjadi, konflik pemanfaatan sumber daya alam. Kerusuhan di Bima pecah ketika polisi membubarkan paksa warga yang memblokade jalan masuk Pelabuhan Sape. Blokade sudah berlangsung selama lima hari. Warga menolak melonggarkan blokade selama pemerintah tidak mencabut izin perusahaan tambang PT Sumber Mineral Nusantara. Tuntutan warga ini sudah diajukan sejak 2008, namun tidak pernah mendapatkan tanggapan memadai.
tentang peraturan
Regulasi tentang pemanfaatan sumber daya alam pun masih sangat absurd. Padahal pasal 33 UUD 1945 jelas ditulis bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Termasuk pengelolaan sumber daya alam harus dikelola untuk kemakmuran rakyat.
Jika membahas tentang pemanfaatan sumber daya alam tentunya kita bicara mengenai pemilik modal, pemerintah, serta masyarakat dilokasi sumber daya alam. Semua pihak mempunyai kepentingan yang harus diakomodir. Oleh karenanya pemerintah Indonesia harus tegas dalam membuat dan melaksanakan regulasi. Mengingat banyak pihak yang terlibat dan berpotensi menghadirkan konflik seperti di Bima ini.
mengupas pelaksaan peraturan
Untuk saat ini Indonesia memiliki Undang-undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Dan Batubara. Dikaitkan dengan PT Sumber Mineral Nusantara, harus diketahui terlebih dahulu ijin yang diberikan oleh pejabat terkait, dalam hal ini bupati. Harus ada kajian secara yuridis apakah ijin yang diberikan sesuai atau tidak dengan regulasi yang ada. Jika sesuai prosedur, lalu mengapa ada penolakan dari pihak masyarakat? Alasan apa yang dipakai oleh masyarakat untuk menentang PT Sumber Mineral Nusantara? Apakah ada prosedur yang tidak dipenuhi? Semua harus dikaji secara kritis dan mendalam oleh pihak-pihak yang berkompeten.
Berangkat dari kasus Bima, diharapkan semua pihak harus melakukan instrospeksi, koreksi serta pembenahan. Pihak kepolisian harus mengusut tuntas kasus yang ada. Pihak pemerintah musti juga melakukan pembenahan terkait regulasi dan pelaksanaan regulasi dibidang pertambangan. Cukuplah Bima menjadi kasus terakhir dalam konfik yang berasal sengketa sumber daya alam. Langkah yang cepat serta tepat harus diambil oleh pihak-pihak terkait. Mengingat potensi konflik sumber daya alam di Indonesia sangatlah besar.
 
;