Senin, 09 Januari 2012

Memanusiakan Cara Berhukum Dengan Teks



Salah satu sifat penting dari hukum tertulis terletak dalam kekakuannya (Lex dura sed tamen scripta-hukum itu keras/kaku, tetapi begitulah sifat tertulis itu). Begitu hukum itu dituliskan atau menjadi dokumen tertulis, maka perhatian bergeser kepada pelik-pelik penggunaannya sebagai dokumen tertulis. Apabila semula berhukum itu berkaitan dengan masalah keadilan atau pencarian keadilan, maka sekarang kita dihadapkan kepada teks, pembacaan teks, pemaknaan teks, dan lain-lain (Satjipto Rahardjo.2010:9)
Kutipan dari Prof.Tjip tersebut sangat pantas dipakai untuk menelaah kasus pencurian sendal jepit di Palu oleh AAL yang sedang hangat dibicarakan. AAL yang berusia 15 tahun, siswa SMK kelas I, didakwa atas tuduhan mencuri sandal jepit butut milik Brigadir Polisi Satu (Briptu) Ahmad Rusdi Harahap, anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah. Jaksa memakai Pasal 362 KUHP, dengan ancaman hukuman sekitar lima tahun. Dalam putusan hakim, AAL dinyatakan bersalah karena mengambil barang milik orang lain namun tidak dijatuhi hukuman penjara, melainkan dikembalikan kepada orang tuanya. Vonis bersalah ini lah yang mengundang reaksi dari masyarakat luas.
Kasus pencurian oleh AAL masuk kedalam kategori hukum pidana. Sehingga mekanisme peradilannya memakai hukum acara pidana. Dalam menilai kasus AAL, kita tidak bisa langsung merujuk pada hasil akhir/putusan yang dibuat oleh hakim. Melainkan harus ada penilaian terhadap proses peradilan dari hulu sampai hilir. Kita tidak bisa melakukan penilaian secara sepotong, karena akan menghasilkan kesimpulan sepotong juga, bukan kesimpulan keseluruhan. Paling tidak ada 3 (tiga) aktor besar berkaitan dengan kasus AAL, kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung melalui hakim di pengadilan. Sebagai suatu proses peradilan, para aktor tersebut saling berkaitan ,berinteraksi dan bekerja sama satu dengan yang lain dalam menyelesaikan perkara.
mekanisme yang panjang
Kepolisian adalah awal mula proses peradilan pidana. Kepolisian bertugas melakukan tindakan polisional dengan mencari bukti permulaan yang cukup, mengumpulkan bukti, melakukan penyelidikan, penyidikan, melengkapi berkas hingga P21. Setelah berkas dinyatakan lengkap, maka tahapan selanjutnya melimpahkan berkas P21 ke jaksa penuntut umum. Oleh JPU, berkas yang didapat dari kepolisian diolah untuk dijadikan dakwaan bagi terdakwa atas tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Setelah proses dakwaan maka hakim lah yang menjadi pemegang keputusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Hakim tidak dapat menolak perkara. Hakim terikat asas Ius curia novit bahwa hakim dianggap tahu hukumnya. Sehingga tidak ada sebuah alasan pun yang dapat dijadikan hakim untuk menolak suatu perkara. Proses yang rumit dan panjang dalam proses peradilan, menyebabkan masing-masing tahapan saling berpengaruh satu sama lain.
Mekanisme peradilan yang panjang, secara otomatis memakan biaya yang besar. Ironisnya, dengan biaya yang besar pun tidak serta merta menjamin terciptanya tujuan hukum yang hakiki. Perlu dketahui, tujuan hukum ada 3 (tiga) diantaranya keadilan, kemanfaatan serta kepastian hukum. Tujuan hukum yang hakiki adalah keadilan. Rasa keadilan inilah yang sering tidak dapat dicapai oleh hukum diIndonesia, termasuk dalam kasus AAL.
keadilan prosedural dan substansial
Panjangnya mekanisme peradilan akan menghasilkan keadilan yang jamak,  keadilan substansial dan keadilan prosedural. Keadilan prosedural berisi bahwa segala sesuatu telah sesuai dengan teks (undang-undang). Tidak peduli hasil akhir yang didapat seperti apa, yang jelas proses instrumen telah sesuai dengan teks (undang-undang). Cara berhukum dengan teks seperti ini menjadikan hukum sebagai mesin otomatis dan manusia sebagai “operatornya”. Seolah sisi manusia dalam keadilan prosedural telah tergadai dengan mekanisme. Nurani sebagai manusia sudah bertransformasi menjauh dari rasa humanis.
Keadilan substansial adalah keadilan yang sebenar-benarnya. Pada level ini, produk hukum yang dihasilkan sudah dapat diterima oleh semua pihak sebagai sebuah solusi untuk permasalahan yang ada. Permasalahannya, kadang kala keadilan substansial tidak mendapat dukungan oleh teks hukum itu sendiri. Sehingga dengan menerapkan keadilan substansial bisa menerabas kepastian hukum. Hal tersebut dkarenakan adanya keterbatasan kemampuan rumusan perundang-undangan tertulis untuk mendukung terciptanya keadilan substansial.
Terlepas dari polemik tentang keadilan prosedural dan substansial. Meminjam istilah Proft.Tjip, apapun yang dilakuan dalam hukum, tak boleh sekali-kali mengabaikan aspek manusia sebagai bagian yang sentral dari hukum itu, hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Tanpa hukum, manusia tetap bisa berjalan, akan tetapi tanpa manusia hukum tidak akan bisa berjalan. Jadi hukum yang ada harus bisa memanusiakan manusia. Sehingga hasil dari hukum adalah suatu keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum yang dapat diterima oleh manusia.
Perlu ditegaskan lagi, doktrin hukum di Indonesia berdasarkan pada peraturan perundang-undangan. Tetapi ia tidak berhenti sampai disitu. Diatas perundang-undangan, lebih penting lagi adalah perilaku manusia yang memiliki komitmen terhadap kesusahan orang banyak, terutama rakyat kecil. Dalam hubungan ini diamini benar, bahwa hukum itu bukan sekedar pasal-pasal seperti buku telepon, tetapi adalah perjuangan, semangat dan komitmen (Satjipto Rahardjo.2006:19)..
Berangkat dari kasus AAL kita dapat menilai bahwa cara berhukum dengan teks tidak serta merta menyelesaikan persoalan yang ada. Dikarenakan tidak semua permasalahan dapat diselesaikan dengan peraturan perundang-undangan. Alih-alih menyelesaikan permasalahan, justru menambah permasalahan baru. Sudah saatnya keadilan diIndonesia berani masuk kedalam keadilan subsansial. Unsur “manusia” harus senantiasa diterapkan dalam berhukum. Nurani sebagai seorang manusia harus dipakai dalam berhukum. Jika hal ini diterapkan secara benar, dapat dipastikan tidak akan ada AAL yang lain. 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;