Kamis, 05 Januari 2012

Menuntut Implementasi Pancasila Secara Efektif


Rabu, 1 Juni 2011, Pancasila genap berusia 66 tahun. Sejak dibacakan oleh Bung Karno tahun 1945, Pancasila mengalami berbagai macam tantangan dalam fluktuasi kehidupan berbangsa dan negara. Tantangan paling ekstrim adalah usaha menyingkirkan pancasila dan mengganti dengan ideologi lain. Namun, sampai saat ini, Pancasila masih tetap kokoh berdiri sebagai idiologi Bangsa Indonesia.
Pancasila adalah fondasi/dasar Indonesia, sekaligus norma dasar dalam bernegara. Oleh karenanya, Pancasila tidak boleh dan dapat diubah oleh pihak manapun dengan alasan apapun. Akan tetapi, Pancasila belum bisa diilhami oleh bangsa Indonesia sebagai ideologi yang luhur. Mengutip pidato mantan Presiden RI B.J Habibie, “secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam membangun bangsa yang penuh problematika saat ini”. Terbukti banyak terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai Pancasila.
Indonesia merupakan bangsa yang plural. Ada banyak perbedaan didalam Bangsa Indonesia. Mulai dari beda suka, bangsa, bahasa, budaya, agama, wilayah,dsb. Oleh founding fathers, dirasa perlu ada komitmen dalam idiologi agar perbedaan yang ada bukanlah penghalang untuk bersatu. Pancasila yang terdiri lima sila: sila kesatu Ketuhanan Yang Maha Esa, sila kedua Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, sila ketiga Persatuan Indonesia, sila keempat Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, sila kelima Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima sila tersebut dianggap paling representatif berdiri mengatasi keberagaman yang ada.
Namun saat mulai Pancasila kehilangan tajinya. Bagaimana tidak,  nilai-nilai mistis yang  terkandung dalam Pancasila cenderung disimpangi oleh segelintir rakyat Indonesia itu sendiri. Sila kesatu, Ketuhanan Yang Maha Esa, seolah tidak lagi membekas dikehidupan bernegara. Kekerasan antar umat beragama, golongan mayoritas-minoritas, perbedaan paham keagamaan, telah menjadikan Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang mudah marah. Seakan sudah menjadi “paling”, dengan semena-mena melakukan “penghakiman mandiri” terhadap kelompok lain. Dimanakah nilai-nilai Pancasila yang menghargai pluralisme kebebasan beragama?
Sila kedua, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, pun tak lepas dari kritikan. Vonis lemah para koruptor harus segera dijawab sistem hukum di Indonesia. Harus ada gerakan revolusioner dalam menegakkan kasus hukum.  Kasus hukum nenek Minah yang dituduh mencuri kakao seolah menjadi pukulan besar terhadap hukum, dimana nurani hukum? Formulasi hukum yang tepat harus segera dibuat. Kombinasi hukum aliran sosiologis dari yuridis harus direalisasikan. Sehingga tujuan hukum keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum dapat tercapai. Masih banyak PR bagi hukum di Indonesia.
Sila ketiga, Persatuan Indonesia, pun juga mendapat sorotan. Kekerasan antar kelompok menunjukkan masih lemahnya Bangsa Indonesia menghadapi perbedaan jati diri pribadi anggota antar kelompok tersebut. Konflik-konflik yang ada justru memperparah nilai persatuan dalam mewujudkan perdamaian dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sila keempat, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dinilai belum bisa memberikan makna dalam kehidupan sehari-hari. Banyaknya para wakil rakyat yang terjerat korupsi, baik anggota DPR, bupati/walikota, menunjukkan kepemimpinan yang ada di Indonesia belum sepenuhnya dijiwai oleh semangat Pancasila.
Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, juga harus berjuang menjawab tantangan ketimpangan sosial di Indonesia. Sebut saja ketimpangan ekonomi. Masih banyak pengangguran di Indonesia, disatu sisi ada warga negara yang begelimpangan kekayaan. Masih ada rakyat indonesia masih makan nasi aking. Menyedihkan bukan?
Belakangan ini isu idiologi mulai menghangat. NII KW9, penipuan berkedok agama menebar ancaman dimana-mana. Tak hanya kalangan biasa korbannya, mahasiswa pun ada yang terkena jaringan ini. Lemahnya  pemahaman idiologi dituding sebagai penyebab mudahnya menggaet para korban. Kasus teror bom juga banyak terjadi akhir-akhir ini. Jenis bom juga berinovasi, dan bahkan ada bom bunuh diri. Usaha mendirikan negara Islam oleh golongan garis keras diduga berada disebaliknya.
Sudah saatnya kita sebagai bagian Bangsa Indonesia, kembali memaknai dan mengimplementasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tidak peduli siapa kita, profesi apa, suku apa pun. Keteladanan dalam menghayati dan melaksanakan Pancasila juga tidak kalah penting dilakukan. Aparatur negara harus bekerja sesuai dengan Pancasila. Tidak ada motivasi bekerja untuk kepentingan kelompok atau bahkan kepentingan pribadi. Yang jelas perbedaan yang ada tidak serta merta menghalangi Bangsa Indonesia untuk bersatu, hidup berdampingan dalam bingkai perbedaan. Jayalah Pancasila, jayalah Indonesiaku.


0 komentar:

Posting Komentar

 
;