Kamis, 11 November 2010

Jangan Lukai Nurani Kemanusiaan!!!

Cerita 2010 bakal tertulis dalam dalam buku perjalanan sejarah Bangsa Indonesia. Antara Wasior, Mentawai dan Merapi, antara air dan api, keduanya memaksa ribuan tetes air mata tertumpah pilu ditanah pertiwi ini. Bencana alam yang memaksa harta dan bahkan nyawa melayang pergi dari tanah Indonesia.
 Tidak perlu suatu komando terstruktur, manusia Indonesia lainnya bergerak untuk setidaknya membantu korban bencana tersebut. Birokrasi menjadi urutan kesekian. Semua unsur bergerak dalam bendera relawan, meskipun “baju” mereka bisa beraneka ragam. Tapi tidak menjadi soal tentang “baju” yang mereka kenakan, yang terpenting bagaimana meminimalisir korban, baik korban harta, benda maupun nyawa dalam rangka mengurangi beban penderitaan mereka.
Lepas dari konsep imbal balik atau pamrih, didalam batin saya berpikir, “Sungguh hebat bangsaku ini, masih mempunyai kepedulian terhadap sesamanya yang sedang mengalami musibah”. Seketika itu pula saya berteriak bangga, ”Inilah bangsaku yang sering diremehkan orang. Bangsaku masih memiliki rasa humanisme yang tinggi”
Ternyata masih ada manusia yang “masih” mempunyai rasa kemanusiaan diabad 21 ini. Latar belakang mereka pun bermacam-macam, berbeda generasi, instansi, suku, agama adalah hal yang biasa dalam cerita tentang kemanusiaan. Satu hal yang menyatukan mereka hanya dalam tataran nurani kemanusiaan. Namun, didalam kesamaannya pun masih dibedakan lagi. Pembedaan ini menghasilkan hasil yang sangat memprihatinkan.
Adapun unsur pembeda hanya ada satu, keikhlasan. Berbicara tentang ikhlas menurut pemahaman subyektif saya adalah konsep memberi tanpa mengharapkan imbal balik dalam bentuk apapun. Baik berwujud materi atau pun berwujud non materi dan bahkan menunjukkan kepada dunia baik secara eksplisit maupun implisit bahwa seorang manusia tersebut telah melakukan sesuatu terhadap sesamanya. Adapun konsep ikhlas yang saya utarakan tidak ada tendensi kepentingan apapun terhadap sesuatu bahkan terhadap agama sekalipun. Konsep ini timbul dari peikiran saya sebagai manusia biasa.
Belakangan ini ada hal yang mengusik pikiran saya, ketika seorang manusia menyebutkan dirinya sebagai relawan karena telah berperan dalam sebuah sistem kemanusiaan setelah terjadinya bencana. Banyak manusia mengekspose dirinya sendiri bahwa dia telah berbuat. Seolah mereka telah berjasa besar, namun apakah mereka tidak menyadari bahwa mungkin ada orang lain yang telah bergerak lebih cepat dan lebih besar dari mereka, bedanya mereka hanya diam.
Beragam media seiring pertumbuhan teknologi memudahkan mereka melakukan publisitas untuk menafsihkan dirinya sebagai relawan untuk dengan mudah diketahui orang lain, baik dilakukan ddengan sadar atau pun tidak sadar. Bukankah kalau niatnya ikhlas tidaklah diperlukan suatu publisitas? Diceritakan kepada orang lain atau pun tidak toh nantinya cepat atau lambat orang lain juga akan tahu dengan sendirinya. Bukankah seperti itu?
Mungkin mereka tidak sepenuhnya salah. Namun dengan memberi tahu kepada orang lain tentang apa yang dilakukannya bukankah hal tersebut tidak etis untuk dilakukan. Apakah mereka tidak malu, lebih-lebih bagi mereka yang mempunyai dasar rasa kemanusiaan, rasa berbagi, rasa senasib dan sepenanggungan.
Tindakan kemanusiaan bukan untuk dikonsumsi oleh publik, cukup diri sendiri dan Tuhan saja yang mengetahui. Hal tersebut untuk menjaga tidak tercederainya rasa kemanusiaan oleh pelaku yang mengagungkan rasa kemanusiaan itu sendiri. Sehingga tidak terjadi ironi yang menyedihkan dalam kemanusiaan.
Tulisan ini hanyalah pendapat saya pribadi, tidak ada maksud yang tidak baik seiring dituliskannya tulisan ini. Sekedar sharing saja. Didedikasikan untuk rasa kemanusiaan yang luhur.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;