Kamis, 11 November 2010

Yang Terpinggirkan Dalam Penanggulangan Bencana

 Indonesia adalah negara yang memiliki keunikan yang luar biasa hebat. Secara geografis, Indonesia berada diwilayah katulistiwa dan wilayahnya terdiri dari puluhan ribu pulau-pulau, sehingga Indonesia sering disebut negara kepulauan. Selain hal itu, posisi Indonesia juga berada berada diatas cincin api Samudera Pasifik yang mempunyai 129 gunung berapi aktif yang secara tidak langsung berperan pada tingginya tingkat kesuburan tanah dan melimpahnya Sumber Daya Alam diIndonesia. Secara sosiologis masyarakat Indonesia pun mempunyai karakteristik yang khas. Dengan dipisahkan oleh lautan, masyarakat Indonesia berkembang dalam kebudayaannya masing-masing yang menimbulkan keanekaragaman kebudayaan Indonesia itu sendiri.
Keunikan yang melekat pada Indonesia mempunyai risiko untuk terjadinya bencana yang relatif tinggi baik secara langsung atau pun tidak langsung. Berdasarkan UU No 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana mengklasifikasikan bencana menjadi bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial.
Menurut UU No 27 tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana diartikan bahwa bencana alam adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam antara lain berupa gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, angin topan, dan tanah longsor. Bencana non alam diartikan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau rangkaian peristiwa non alam yang antara lain berupa gagal teknologi, gagal modernisasi, epidemi, dan wabah penyakit. Bencana sosial diartikan bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang diakibatkan oleh manusia yang meliputi konflik sosial antarkelompok atau antar komunitas masyarakat, dan teror.
Dengan dibentuknya UU Penanggungan Bencana telah mengisyaratkan pemerintah telah tanggap terhadap bencana yang mengacam. Namun yang yang menjadi pertanyaan, seberapa seriuskah pemerintah mengatasi penanggulangan bencana tersebut?
Menilik fakta yang ada dilapangan, terlampau banyak kerugian yang jatuh akibat adanya bencana. Masih hangat dipikiran masyarakat Indonesia bencana sosial pada kasus konflik antaretnis yang dipicu oleh tewasnya ketua adat akibat melerai perkelahian anaknya di Tarakan,Kalimantan Timur pada 26-29 September 2010. Sementara banjir diWasior yang menghempas peradapan ditanah Papua, bagaikan petir disiang bolong bagi Indonesia. Meski pemerintah berdalih merupakan murni bencana alam, namun fakta dilapangan menyebutkan bahwa telah terjadi kerusakan dibeberapa lokasi hutan disekitar bencana yang mengalami kerusakan akibat adanya eksploitasi. Dari bencana alam, yang sedang dialami sekarang yaitu gempa dan tsunami dikepulauan Mentawai yang menyebabkan ratusan orang meninggal, hilang, dan mengungsi serta meletusnya Gunung Merapi yang menyebabkan puluhan meninggal dan ribuan orang mengungsi.
Didalam UU No 27 Tahun 2003 Tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan penanggulangan bencana meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Tapi yang menjadi ganjil, mengapa korban masih saja banyak yang berjatuhan?
Berdasar fakta dilapangan, perintah terkesan bingung serta lambat dalam menghadapi bencana. Bayangkan saja, orang yang berada dalam benua yang berbeda bertindak lebih cepat terhadap bencana diIndonesia daripada pemerintah Indonesia meskipun masih dalam taraf pemberian simpati. Kebingungan terjadi manakala pemerintah daerah kekurangan dana penanggulangan bencana dan harus meminjam dana kepada pihak ketiga. Aneh memang jika berpikir mengapa hal tersebut dapat terjadi padahal pemerintah sudah secara tegas menyiapkan persiapan menghadapi bencana yang diwujudkan dalam payung undang-undang.
Terjadi hal yang aneh setelah bencana terjadi, muncul wacana relokasi pemukiman di Mentawai untuk memobilisasi penduduk dari wilayah rawan tsunami (relokasi kewilayah kepulauan Mentawai yang menghadap kepulau Sumatera), muncul relokasi dusun Kinahrejo. Apakah harus menunggu korban baru menelurkan suatu wacana antisipasi meminimalisasikan korban? Pemikiran tersebut bukankah sudah muncul dalam mitigasi bencana?
 Hal tersebut mengundang ironi, dan menimbulkan kesan bahwa pemerintah hanya bertindak serius dalam teori namun dalam praktek ada hal yang sedikit terlupa, mitigasi bencana. Jadi sinkronisasi penanganan bencana berjalan timpang dan mengurangi tingkat minimalisasi jumlah korban yang diakibatkan oleh suatu bencana.
 Seperti sudah jatuh tertimpa tangga pula, korban bencana semakin teriris lagi perasaannya setelah salah satu wakil rakyat berbicara kepada publik yang intinya mengatakan kalau tidak mau terkena bencana berarti jangan berada dalam wilayah rawan bencana. Terlepas hal apa yang melatarbelakangi ucapannya, tetap saja tidak pas untuk dikatakan untuk orang sekaliber wakil rakyat berucap seperti itu, mengingat Indonesia yang sedang berduka.
 Memperhatikan fakta-fakta yang ada, hendaknya pemerintah semakin membuka mata bahwa dalam menangani suatu bencana harus dilakukan secara serius dan berkelanjutan dalam tiap-tiap tahapan penanggulangannya. Hal tersebut diperlukan guna meminimalisasi jumlah kerugian yang mungkin terjadi akibat timbulnya suatu bencana. Selain hal tersebut, para pemimpin juga harus menjaga perasaan para korban bencana. Dan janganlah melakukan tindakan yang dapat melukai perasaan mereka. Yang terpenting bagaimana korban bencana dapat tertanggulangi dan mengembalikan kehidupan mereka seperti sediakala. Tulisan ini bukan untuk mempersalahkan suatu pihak, namun untuk kebaikan dalam penanganan bencana dalam waktu kedepan mengingat wilayah Indonesia berada pada risiko terjadi bencana yang termasuk tinggi.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

pemerintah ga peka og
butuh protes yg byk biar pemerintah lebih peka
mlh presiden ikt campur mslh gayus, g pntg kn?

Anonim mengatakan...

Menurut saya sih, kalau dibilang peka sih, pemerintah sudah peka. Hanya saja terlalu lamban dalam bertindak, sementara bencana tidak dapat diduga. Terbukti dikeluarkannya UU No 23 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. Terbukti setelah ada Tsunami Aceh, pembuatan UU trntang penanggulangan bencana langsung digeber. Semisal pemerintah cepat dalam bergerak, kan bisa jadi bahan evaluasi untuk perbaikan dalam bencana yang akan datang. Jadi tidak melulu keteteran dalam penanggulangan bencana.

Posting Komentar

 
;