Rabu, 14 Maret 2012

Pengetatan Remisi Napi korupsi (Dimuat dalam Solopos 13 Mret 2012 Naskah belum diedit)

Ketuk palu hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada rabu 7 Maret 2012 menyatakan membatalkan SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi. Putusan PTUN itu menyatakan bahwa SK Menkum HAM tidak berlaku lagi. Sehingga aturan pemberian remisi kembali diberlakukan. Alasan majelis hakim, SK tersebut ditetapkan berdasarkan PP Nomor 32 tahun 1999 yang sudah tidak berlaku lagi. Selain alasan tersebut SK tersebut bertentangan asas-asas pemerintahan yang baik, serta tidak dilakukan berdasar prosedur serta ketentuan yang berlaku di bidang permasyarakatan.
Oleh Widodo Ekatjahjana dalam Jurnal Konstitusi Volume 7 Nomor 5, Oktober 2010, Sengketa TUN merupakan sengketa hukum publik, maka putusan hakim PTUN pada dasarnya merupakan putusan yang memiliki sifat atau karakter hukum publik. Sifat atau karakter hukum publik pada putusan hakim PTUN inilah yang menyebabkan putusan hakim PTUN itu, tidak hanya berlaku dan mengikat pihak-pihak yang berperkara saja. Putusan hakim PTUN harus bersifat erga omnes – putusan hakim PTUN mengikat semua pihak, termasuk pihak-pihak yang tidak berperkara sekalipun. Dengan demikian pencabutan SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 tanggal 16 November 2011 tentang pengetatan remisi terhadap narapidana tindak pidana luar biasa korupsi berlaku juga bagi semua pihak (koruptor yang tak ikut menggugat juga tidak dikenai SK Menkum HAM tersebut).
Hal ini jelas merupakan tamparan keras bagi penegakan hukum di Indonesia, khususnya kasus korupsi. Jika diturut ke belakang, pemberian remisi sebenarnya adalah hak narapidana. Diatur didalam UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, bahwa salah satu hak narapidana adalah mendapatkan remisi. Diatur lebih lanjut bahwa seorang napi jika berkelakuan baik selama dipenjara dan sudah menjalani hukuman selama enam bulan bisa diberikan remisi terhadapnya.
Namun, untuk kasus korupsi diberi perlakuan khusus. Narapidana korupsi tunduk pada PP No 28 Tahun 2006 tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan bahwa remisi baru dapat dilakukan jika narapidan telah menjalani hukuman selama 1/3 masa tahanan.
 Dalam bingkai hukum, SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04  adalah sebuah bentuk terobosan hukum di Indonesia. Bentuk keluarbiasaan SK ini adalah berlaku surut. Sehingga banyak terpidana kasus korupsi “batal bebas” melalui pembebasan bersyarat. Sebut saja Ahmad Hafiz Zawai, BobbySuhardiman, Hengky Baramuli, Hesti Andi Tjahyanto, Agus Wijanto Legowo, Mulyono Subroto, H.Ibrahim, SH. Ketujuh orang tersebut “batal bebas” karena terbitnya SK Menkum HAM tentang pembatalan pembebasan bersyarat. Yang menarik, ditangan ketujuh orang tersebut pula lah SK Menkum HAM tentang pembatalan pembebasan bersyarat di kebiri melalui pengadilan PTUN Jakarta. Per tanggal 7 Maret 2012,  SK Menkum HAM tersebut dicabut. Sehingga pembebasan bersyarat kembali diberlakukan
Sejak awal terbitnya SK Menkum HAM telah menuai pro dan konntra. Legal standing SK ini banyak dipertanyakan. Bisa dikatakan bahwa SK ini adalah kontroversial. SK kontroversial ini dikeluarkan Menkum Ham saat dikomandoi Amir Syamsudin, politisi Demokrat. SK kontroversial ini sangat mendapat reaksi positif dari masyarakat. Bisa dikatakan SK ini adalah kebijakan populer.
Akan tetapi tanpa disadari, di dalam SK Menkum HAM Nomor M.HH-07.PK.01.05.04 secara otomatis merampas hak-hak warga negara yang lain. Hak seorang narapidana untuk mendapatkan remisi telah dijamin oleh undang-undang. Akan tetapi oleh SK Menkum HAM tersebut, hak narapidana untuk mendapatkan remisi telah dihilangkan. Secara otomatis, muncul ketidakteraturan dalam hukum.
 Secara hierarki peraturan, SK Menkumham berada dibawah undang-undang. Jadi, segala pokok materi yang tercantum di SK Menkum HAM seharusnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang. SK Menkum HAM yang ditetapkan dan dijalankan adalah bentuk pemaksaan kehendak dari penguasa tanpa mendasarkan dasar hukum yang jelas. Kita harus sepakat bahwa suatu peraturan-apapun bentuknya- tidak bisa dibuat tanpa adanya dasar hukum yang kuat.
Kepopuleran kasus korupsi memang seharusnya harus diikuti dengan aturan hukum yang populer juga. Namun bukan berarti harus melanggar prosedur yang ada. Memang, dunia hukum adalah dunia yang penuh dengan prosedur. Namun, prosedur yang ada, dibuat untuk menjamin tidak ada pihak yang dirugikan akibat munculnya hukum. Kalau sampai ada pihak yang dirugikan akibat munculnya hukum. Maka tujuan hukum mengenai keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum tidak dapat tercapai. Dengan adanya prosedur yang jelas, bertujuan dapat mewujudkan ketertiban dalam hukum.
Munculnya SK Menkum HAM justru secara otomatis akan mereduksi ketertiban dalam hukum. Karena SK Menkum HAM berproses tidak secara tertib!
Menurut alm Prof.Tijp, hukum dan ketidaktertiban itu tidak saling meniadakan begitu saja melainkan kita harus mengakui bahwa masyarakat itu menerima suatu margin of tolerance atau leeways dalam penegakan hukum. Artinya, penegakan hukum “berkompromi” dengan keadaan tidak tertib di masyarakat. Itu berarti, dalam keadaan tidak-tertib hukum juga dapat bekerja, seperti juga dalam “keadaan tidak tertib” hukum itujuga tetap bekerja.
Ketidaktertiban SK Menkum HAM dalam dimensi hukum di Indonesia nyatanya telah mampu bekerja, meskipun hanya dalam hitungan bulan (mulai dari 16 November 2012 sampai 7 Maret 2012). Dengan demikian sudah terbukti bahwa hukum yang tidak tertib pasti dapat dengan mudah dipatahkan. Tujuan untuk mewujudkan suatu ketertiban oleh hukum tidak bisa dilakukan diatas ketidaktertiban dari hukum itu sendiri. Prosedural dalam berhukum menjadi sangat penting di sisi ini!
Langkah pengetatan remisi oleh Menkum HAM harus diapresiasi tinggi. Bagaimana pun juga, kebijakan Menkum HAM mengenai penghentian remisi adalah keputusan yang berani. Niatan untuk “memberi pelajaran” kepada para koruptor adalah langkah yang sensasional. Akan tetapi bakal lebih elegan lagi jika diwujudkan dalam bentuk peraturan yang berproses berdasar peraturan yang berlaku.
Kita tentunya sangat sepakat jika korupsi harus hancur di negara ini dan para koruptor dikebiri dari bumi Indonesia. Akan tetapi kita tidak bisa melupakan aturan dan prosedur yang ada. Jangan sampai kita menegakkan hukum dengan melanggar hukum itu sendiri. Gagasan untuk mengetatkan remisi bagi para koruptor harus segera ditindak lanjuti oleh pihak terkait. DPR, pemerintah, masyarakat harus mendorong kosep pengetatan remisi ini menjadi peraturan yang berdasar hukum kuat. Jangan samapai, gagasan pengetatan remisi bagi para koruptor hanya sampai di ketuk palu hakim PTUN saja!

0 komentar:

Posting Komentar

 
;