Kamis, 03 Maret 2011

Gesekan Pers dan Media Diakhir Februari

 Menjelang berakhirnya bulan Februari 2011, permasalahan kembali melanda Indonesia. Kali ini melibatkan pers dengan pihak pemerintah melalui sekretaris kabinetnya. Pers seolah mendapat ancaman pengebirian dari Dippo Alam, sekretaris kabinet, mengancam media yang selalu mengkritik pemerintah tak akan mendapat iklan dari institusi pemerintah. Apakah ini bentuk otoriter baru dalam pengekangan kebebasan pers? Ataukah hanya kekecewaan terhadap ketidakprofesionalan kaum pers dalam melakukan pemberitaan yang obyektif?
 Pada persoalan kali ini, menghadapkan dua obyek perseteruan yang sangat menarik, antara “oknum” eksekutif dan “oknum’ media pers. Dan perseteruan yang ada membuat mereka untuk dipandang secara representatif mewakili pihaknya masing-masing secara otomatis.
  Terlepas dari benar atau salah para pihak tersebut, mengapa hal ini terjadi? Kita harus melihat pemberitaan media massa belakangan ini, semisal mengenai kasus Ahmadiyah, Bank Century, Gayus, Susno Duaji, hak angket. Rata-rata menunjukkan ketidakberesan yang terjadi di negeri ini. Aksi pers untuk mengulas tajam dan kritis justru harus diapresiasi tinggi, mengingat pada orde baru hal tersebut hanya angan semu saja. Terlepas adanya intrik politik kepentingan yang berada dibelakang kasus tersebut, kemerdekaan pers telah membuka borok negara ini.
 Pada Undang Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, pasal 3 menyebutkan “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”. Jika pers menkritisi pemerintah secara tajam tentunya hal tersebut memang tugas mereka sebagai lembaga kontrol sosial. Dalam mengkritisi tentunya terhadap hal-hal jelek, oleh pemerintah seharusnya menjadikannya sebagai bumbu-bumbu dalam meramu kehidupan bangsa Indonesia untuk menjadi lebih baik lagi. Reaksi pemerintah bernada ancaman tentunya tidak dapat dibenarkan, mengingat hal tersebut bisa mempengaruhi kemerdekaan pers dalam melaksanakan fungsinya.
 Disatu sisi pemerintah seharusnya perlu memperbaiki diri lagi dalam melakukan komunikasi ke publik terkait dengan kinerjanya. Pemerintah beserta seluruh jajarannya harus menjaga komunikasi terhadap publik demi menjaga wibawa pemerintah itu sendiri. Jangan sampai karena ulah oknum tertentu, berdampak menyeluruh kepada jajaran pemerintah yang lain. Namun untuk keadaan saat ini akibat pernyataan dari Sekretaris Negara, kesan yang muncul adalah pemerintah seolah tidak tahan kritik dan berusaha menunjukkan kekuasaannya untuk melawan dan menggertak pers itu sendiri. Sangat disayangkan hal ini bisa terjadi, seharusnya pers dijadikan kawan sebagai ajang pengkoreksian diri dari pemerintah tentang kinerja yang dihasilkannya sehingga benturan-benturan berekses negatif dapat dihindari, toh benturan tersebut juga tidak perlu terjadi asalkan para pihak berada dalam relnya masing-masing.
 Terkait dengan “ulah” sekretaris negara, seharusnya segera diadakan pengkoreksian dalam hal manajemen diri dari aparat pemerintahan dalam hal tata cara menghadapi media, perlu ada evaluasi mendalam dan lebih lanjut. Sekretaris negara tentunya hanya sebuah jabatan yang diemban manusia biasa. Oleh karenanya wajar jika ada reaksi yang agak keras akibat ada tekanan dari pihak luar, dalam hal ini media pers. Hanya saja caranya saja yang perlu mendapat koreksi untuk perbaikan. Terlebih lagi sekretaris negara adalah jabatan publik yang seharusnya menjadi panutan masyarakat luas. Sehingga dalam menjalankannya harus berhati-hati. Bukankah jabatan tersebut amanah?
 Pers sebagai corong berkebebasan dan keterbukaan informasi, harus melakukan koreksi mengenai kualitas berita dan profesionalisme masyarakat pers itu sendiri. Penting diketahui bahwa melalui pers, opini publik dapat diarahkan oleh pihak-pihak tertentu. Hal ini yang berbahaya, pers sebagai lembaga independen dalam memberitakan diharapkan dapat secara obyektif menilai suatu keadaan. Pemberitaan bukan hanya tentang benar atau pun salah melainkan harus mencerminkan bahwa pers bebas dari kepentingan manapun demi menjaga independenitas dan obyektifitasan dalam melakukan kontrol sosial. Pers tidak boleh dipengaruhi oleh pemerintah, pihak tertentu, dan bahkan pemilik modal. Mampukah pers melakukannya? Tentunya hal ini menjadi pertanyaan besar.
 Dalam struktur struktur ketatanegaraan, media menjadi bagian dari infrastruktr kenegaraan yang sangat penting kedudukannya. Bersamanya ditempatkan juga partai politik, tokoh, golongan penekan, serta golongan kepentingan. Oleh karenanya kedudukan pers tidak dapat dipandang sebelah mata. Dari kacamatanya lah diharapkan diberitakan suatu hal yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Tidak diperbolehkan suatu pihak menunggangi diatasnya untuk kepentingan tertentu. Semoga dinegeri ini masih ada kebebasan dan keberanian untuk kebenaran. Amin

0 komentar:

Posting Komentar

 
;