Jumat, 21 Oktober 2011

Berpikir Tentang Intelijen Kembali (dimuat di mimbar mahasiswa Solopos 24 April 2011)

Teror bom (lagi dan lagi), seolah semakin akrab ditelinga masyarakat Indonesia. Kejadian terakhir terjadi didekat jalur pipa gas, dekat Gereja Christ Cathedral, Serpong, Tangerang, Selatan, Banten, Kamis (21/4). Tak tanggung-tanggung, ukuran bom relatif besar dengan berat ± 100kg bahan peledak. Namun, masih “beruntung” Detasemen Khusus Anti Teror 88 Polri berhasil menjinakkannya. Bom tersebut disetting untuk meledak pada Jum’at keesokan harinya berbarengan dengan perayaan Paskah bagi umat Kristiani.
Bisa dibayangkan, efek yang ditimbulkan jika bom tersebut meledak tepat waktu. Tendensi agama akan meruncing lagi. Isu agama sangat menarik sebagai sarana merusak tatanan kehidupan diIndonesia. Dalam bingkai pluralitas, gesekan secara horisontal berbahaya bagi Bangsa Indonesia. Kekacauan besar akan menjadi risiko rasional. Jika konflik horisontal terjadi, Indonesia bisa mengalami chaos.
Berkaca dari kejadian tersebut, pemerintah harus segera bertindak mengatasi keadaan. Sebagai pemegang kekuasaan, langkah taktis cermat, cepat, dan tepat harus segera dilakukan. Tindakan preventif dan represif menjadi wajib hukumnya. Segala unsur yang berkaitan mencegah tindakan terorisme dan menjalankan keamanan negara harus dikerahkan.
Berangkat kejadian terorisme, intelijen menjadi isu paling hangat dalam menangani. Sampai saat ini, diIndonesia, RUU intelijen masih menjadi pro-kontra dan belum disahkan. Isu HAM dan keamanan negara menjadi buah segar, seolah menjadi dilematis untuk dipilih. Bagaimana pun juga, dengan intelijen yang kuat, stabilitas keamanan negara relatif lebih kuat. Bahwa dengan operasi intelijen dapat mencium gelagat ancaman terhadap negara sehingga dimungkinkan dilakukan tindakan yang tepat untuk mencegah ancaman.
Dalam bingkai Indonesia, Indonesia adalah negara hukum, pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Menurut Julius Stahl, konsep negara hukum disebut rechtsstaat. Adapun didalamnya ada empat elemen penting, diantaranya perlindungan hak asasi manusia, perradilan tata usaha negara, pemerintahan berdasarkan undang-undang, pembagian kekuasaan.
Berkaitan dengan RUU intelijen, banyak kalangan menilai bahwa RUU Intelijen mengesampingkan unsur hak asasi manusia. Sedikit contoh, penangkapan dilaksanakan paling lama untuk 7 x 24 jam berbeda dengan kuhap yang hanya 1x24 jam. Penahanan dalam rangka pemeriksaan intelijen berlaku paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Jangka waktu ayat (1) pasal ini, apabila diperlukan guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat diperpanjang paling lama 3 x 90 (tiga kali sembilanpuluh) hari. Penahanan dilaksanakan disuatu tempat yang ditentukan oleh Kepala Badan Intelijen Negara. Dalam pemeriksaan intelijen bagi tersangka; berlaku sistem inquisitor; tidak mempunyai hak untuk didampingi advokat; tidak mempunyai hak untuk diam atau tidak menjawab pertanyaan pemeriksa; tidak mempunyai hak atas penangguhan penahanan dengan jaminan orang ataupun uang; tidak mempunyai hak untuk dilakukan penahanan rumah maupun penahanan kota. tidak mempunyai hak untuk berhubungan dengan pihak luar, termasuk keluarganya. Sedemikian liarnya RUU intelijen sehingga dianggap mengebiri konsep hak asasi manusia. Point tersebut yang diperdebatkan sampai saat ini.
Waktu terus berjalan, ancaman terorisme semakin menghadang. Pemerintah harus segera memberikan legitimasi kepada intelijen untuk menjalankan fungsinya agar efektif. Penting untuk dipegang, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, maka konsep-konsep hak asasi manusia harus dijaga erat.
Negara berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dari berbagai ancaman yang mungkin muncul. Hal tersebut ditegaskan dalam alinea pembukaan UUD 1945 disebutkan; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta dalam memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Proporsionalitasan pemberian wewenang kepada intelijen dengan konsep menjunjung tinggi hak asasi manusia harus tetap dipilih. Diharapkan dengan adanya proporsionalitasan, akan mencegah kekuasaan yang berlebih menumpuk pada satu lembaga kekuasaan. Secara otomatis akan mencegah penyalahgunaan wewenang, detournement of depovoir, oleh penguasa. Hal tersebut dikarenakan dalam RUU intelijen Badan Intelijen Negara berada dibawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Sehingga dengan proporsionalitas akan menimbulkan check and balance, lalu risiko pemerintahan yang represif dapat ditekan.
Dewan Perwakilan Rakyat selaku lembaga yang berwenang untuk membuat undang-undang harus cepat bekerja dalam meramu RUU intelijen. DPR musti peka terhadap kondisi Indonesia, apalagi waktu sekarang sedang memasuki masa reses. Sangat mungkin anggota dewan terhormat menggali dan mengumpulkan materi untuk memecahkan persoalan intelijen. Gedung miring 7˚ saja mereka sangat peka, tentunya RUU Intelijen sudah dipikirkan oleh mereka bukan?. Wahai DPR RI buatlah Indonesia bangga, meski cuma satu kali.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;